Manusia dicipta Allah menurut peta teladan-Nya, lebih tinggi dari semua makhluk karena manusia memiliki sifat-sifat Allah sendiri. Di dalam dasar hati manusia ada sifat keadilan, kebenaran, dan kasih. Tetapi semua akhirnya menyeleweng dan tercemar oleh dosa. Distorsi atau pencemaran ini sudah masuk ke dalam agama, kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, keuangan, masyarakat, dan segala aspek kehidupan manusia. Maka para politisi salah menjalankan keadilan, para pendidik salah mengajarkan kebenaran, para agamawan salah melaksanakan kehendak Allah.

Ketika menghakimi Yesus, Pilatus bertanya, “Jadi Engkaukah raja?” Yesus menjawab, “Engkau yang mengatakan Aku raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, agar Aku memberi kesaksian tentang kebenaran.” Maka Pilatus terkejut dan berkata, “Apa itu kebenaran?” Sesudah berkata demikian, keluarlah ia menemui massa Yahudi itu. Sikap ini mencerminkan kerusakan sifat manusia. Tentang kebenaran, manusia sebenarnya mempunyai konsep, keinginan mengenal, dan pertanyaan tentang kebenaran. Namun sayang, manusia tidak menginginkan jawaban yang benar. Pilatus tidak siap untuk menerima kebenaran.

Setiap orang menganggap dirinya benar dan tidak siap mendengarkan jawaban dari Sang Kebenaran itu sendiri. Yesuslah satu-satunya manusia di sepanjang sejarah yang pernah berkata, “Akulah Jalan, dan Kebenaran, dan Hidup.” Tidak ada filsuf yang pernah berkata, “Akulah kebenaran.” Jika Pilatus sungguh mengerti makna ucapan Yesus, “Akulah kebenaran,” Pilatus tentu akan berlutut dan berkata, “Jika demikian, berilah aku jawaban.” Yang berdosa berdiri di hadapan dan mengadili Sang Kebenaran, Yang Tidak Berdosa. Ini suatu perlawanan dan penghinaan terhadap kebenaran. Yang seharusnya menghakimi, sekarang dihakimi; yang seharusnya dihakimi, sekarang menghakimi. Tuhan Yesus telah melakukan suatu keharusan, yaitu Ia diadili dan dihina oleh para pendosa.

Ketika Pilatus bertanya, “Apa itu kebenaran?” Pilatus bersikap menghina kebenaran, karena ia tidak bersedia mendengar jawabannya. Di dalam sejarah Yunani dan Romawi, ada tiga aliran filsafat yang terpenting dan meluas di dalam dunia cendekiawan, yaitu: StoicismEpicureanism, dan ScepticismEpicureanism mencari segala kebahagiaan yang bisa diterima manusia. Stoicism mencari kebajikan melalui penyiksaan diri (asceticism) yang berusaha agar tubuh ditekan dan jiwa dilepaskan; melalui kebajikan mereka mengikuti perjalanan yang ditunjuk dalam ajaran Stoicism. Kaum Stoa mencari kebajikan, Kaum Epikurean mencari kesukaan. Dan ada satu lagi di era yang sama, yaitu sekitar tahun 400 SM sampai sekitar tahun 400 M, yang berkembang pesat dengan mengatakan, “Aku tidak tahu apa itu kebenaran, keadilan, kesukaan, dan kebajikan,” yaitu ajaran ScepticismScepticism meragukan segala sesuatu. Mereka hanya memiliki keinginan tanpa jawaban. Saya menduga Pilatus selalu skeptis, tidak memiliki kepastian. Itu sebab, perkataan Pilatus, “Apa itu kebenaran?” mencerminkan kebiasaan pendosa yang tidak sungguh-sungguh mau mencari kebenaran.

Kita mempunyai kebutuhan dan keinginan, tetapi tidak memiliki kepastian dan keseriusan menantikan jawaban. “Saya tahu di dunia ada dan perlu kebenaran, tetapi saya tidak sanggup mengatasi kesulitan di dalam sifat diri saya sendiri.” Misalnya semua orang yang merokok tahu bahwa rokok tidak baik, tetapi tahu tidak baik hanya satu fungsi dari hidup, yaitu fungsi tahu, fungsi rasio. Fungsi rasio selalu lebih tinggi dari fungsi melaksanakan. Yang tahu rokok tidak baik, tidak memiliki kekuatan mentransformasi dari pengetahuan bahwa dosa itu tidak baik menjadi suatu kemampuan untuk melawan dosa. Inilah kelemahan dunia. Kita semua mengerti secara rasio apa itu baik dan jahat, tetapi tidak mampu mengubah pengertian tersebut menjadi suatu kekuatan untuk menolak yang tidak baik dan melakukan yang baik. Ada orang yang sadar dan menyesali dosanya. Ada yang sadar dan menyesal karena ditangkap, bukan karena dosanya.

Ada beberapa dasar keberadaan dan tingkat pengertian setiap pendosa: (a) Instinctive understanding, secara naluri saya tahu apa itu baik dan tidak baik; (b) Educational understanding, karena dididik maka saya tahu apa itu baik dan tidak baik; dan (c) Religious understanding, dari khotbah dan pengajaran agama saya tahu apa itu baik dan tidak baik. Tetapi pengetahuan saja tidak cukup. Pengetahuan masih membutuhkan pekerjaan penerangan Roh Kudus. Ini hal yang sangat penting. Roh Kudus datang untuk menyadarkan manusia akan dosa, keadilan, dan penghakiman (Yoh. 16:8). Dalam terjemahan lain, Roh Kudus mengakibatkan pendosa menegur diri akan dosa yang ia perbuat, keadilan yang ia tolak, dan penghakiman Tuhan yang seharusnya ia terima.

Pada saat Pilatus menghakimi Tuhan Yesus, ia menjadi seorang yang melawan, karena seharusnya Yesuslah yang menghakimi dia. Kelahiran Tuhan Yesus adalah fakta sejarah yang membuktikan bahwa Allah mewujudkan kasih-Nya kepada manusia dan hadir dalam kesengsaraan dan kesulitan hidup manusia. Ia turun ke dunia agar kita mengerti betapa dalam kasih-Nya di dalam kerelaan-Nya datang dan mengalami penderitaan. “Engkau mau datang bersimpati dan berbagian di dalam kesengsaraanku. Aku bersyukur kepada-Mu karena kasih-Mu.” Simpati berarti memiliki perasaan bersama. Itu menjadikan yang menderita tahu bahwa ia tidak sendiri. Yesus sama seperti kita, pernah diumpat, ditolak, difitnah, disingkirkan, dan dijadikan marginal (orang buangan) dalam masyarakat. Ketika memikirkan tentang apa yang pernah dialami Yesus, kita bersyukur ada Tuhan yang mau seperasaan dengan kita, pernah masuk ke dunia mengalami apa yang kita alami. Inilah kasih Tuhan yang menghibur kita.

Pada saat diadili Pilatus, Tuhan Yesus tenang dan tidak membalas, seperti domba yang dibawa ke pembantaian, dengan tenang menyerahkan diri di hadapan Allah. Tuhan Yesus lahir di masa Maria dan mati di masa Pilatus. Ini adalah fakta sejarah. Ini perbedaan iman Kristen dari semua mitologi. Alkitab berkata bahwa dalam segala hal Ia sama seperti kita. Dalam segala hal, Yesus masuk ke dunia ciptaan, hidup di tengah manusia, dan dicobai dalam segala hal. Ibrani 4:15 mengatakan, “Sama seperti kita, Ia telah dicobai hanya tidak berbuat dosa.” Frasa ini menjadi Pembeda Kualitatif (qualitative difference) antara Yesus dan semua manusia lain di sepanjang sejarah sejak penciptaan hingga Hari Tuhan. Tuhan Yesus sama seperti kita, dicobai Iblis. Pekerjaan Iblis ada tiga yang terbesar, yaitu: (a) melawan Tuhan; (b) menjatuhkan manusia dalam dosa; dan (c) menuduh umat suci agar dibenci Allah.

Alkitab berkata, semua kelemahan manusia akibat jatuh dalam dosa, dapat disimpulkan hanya ke dalam tiga wilayah, yaitu: (a) keinginan daging, (b) keinginan mata, dan (c) keangkuhan hidup (1Yoh. 2:16). Ketiga hal ini dilakukan Iblis untuk mencobai Yesus. Pada saat Yesus dicobai, roti mewakili keinginan daging. Jika seseorang sudah sangat kelaparan, makanan menjadi pencobaan yang sangat besar. Selama empat puluh hari Yesus tidak makan, sekalipun kemungkinan besar Ia tetap minum. Karena Alkitab berkata, “Akhirnya laparlah Yesus.” Tidak dikatakan, “Hauslah Yesus.” Artinya, mungkin Ia minum. Alkitab tidak mengajarkan, bahwa berpuasa tidak boleh makan dan minum. Musa, Elia, dan Yesus berpuasa 40 hari dan tidak dikatakan selama 40 hari itu mereka tidak minum. Juga ditulis, “Sesudah itu mereka lapar,” tidak dicatat mereka haus. Seluruh pikiran berdasarkan prinsip Alkitab: hidup manusia bukan bersandarkan roti saja, tetapi bersandarkan pada setiap firman yang keluar dari mulut Tuhan. Berpuasa karena kita mau lebih banyak berdoa, lebih dekat kepada Tuhan, lebih bersandarkan kuasa dari atas, maka tidak bersandar pada dunia. Berpuasa berarti bersandar pada Tuhan. Yesus juga menjadi teladan bagi kita.

Yesus berpuasa selama 40 hari. Setelah Ia lapar, Iblis langsung datang. Banyak orang setelah terjepit, sampai tidak ada jalan keluar, baru mulai memikirkan tentang Allah. Ini tidak benar. Kerohanian seseorang itu baik jika dalam kecukupan, kesukaan, kekayaan, dan kelancaran, selalu bersyukur kepada Tuhan. Kita harus selalu mengucap syukur, maka setiap Minggu kita bisa memuji, “Puji Tuhan! Haleluya!” Pada saat kita menderita kelaparan, kemiskinan, dan sakit penyakit, Iblis akan berkata, “Di mana Tuhan? Jika Tuhan mengasihimu, kenapa Ia membiarkan engkau menderita?” Iblis membuatmu meragukan keberadaan Allah dan tidak lagi percaya kepada-Nya. Dalam kesendirian dan kesakitan, akankah kita langsung berpendapat setan penyebabnya? Protestan tidak demikian. Jika sakit, mungkin karena dosa, mungkin karena latihan dari Tuhan. Dengan demikian, kita tidak sembarangan mengambil keputusan memvonis dari Tuhan atau setan. Dengan perasaan takut kepada Tuhan, engkau berkata, “Susah, senang, sakit, sehat, mati, dan hidup, seluruh hidupku milik Tuhan. Aku tetap percaya dan taat kepada Tuhan.” Tuhan terkadang memimpinmu melampaui fenomena dan dunia yang tampak, maka sekalipun tidak tampak kita mesti tahu ini. Tuhan membiarkanmu susah bukan berarti Tuhan membuangmu, tetapi Tuhan sedang melatihmu agar dalam kesusahan engkau bisa bangkit berdiri. Tuhan mampu dan berhak melakukan apa pun atas hidup kita, karena Ia Pemilik kita, tetapi Ia juga ingin kita belajar berdiri bertahan di tengah angin topan dan ombak besar.

Seorang jenderal terkenal abad ke-20, Douglas MacArthur—yang memimpin pasukan AS melawan Jepang pada PD II—menulis suatu doa, A Father’s Prayer (Doa Seorang Ayah), yang isinya, “Tuhanku, aku berdoa bagi anakku. Jangan biarkan ia lancar, senang, enak, dan penuh kedamaian. Sebagai seorang ayah, aku mendoakan ya Tuhan, berilah anakku ombak besar dan angin topan yang menakutkan dalam hidupnya. Tetapi, aku berdoa, jangan biarkan ia jatuh dan tenggelam dalam ombak dan angin topan. Berilah ia kekuatan agar bisa tetap berdiri dengan teguh dan menolong temannya yang sedang tenggelam.” Ketika saya berusia 18 tahun membaca doa agung Jenderal MacArthur ini, saya sangat terharu dan terpengaruh, karena saat membacanya, saya merefleksikannya pada hidup saya sendiri. Akhirnya saya mendapatkan kesimpulan, “Puji Tuhan! Ketika kecil, hidupku tidak terlalu enak, tidak terlalu kaya, tidak terlalu lancar, tidak terlalu sehat, selalu sakit dan lemah. Tetapi melalui kesulitan, sakit penyakit, kemiskinan, dan kesengsaraan, aku dapat berdiri dan bersandar pada Tuhan untuk teguh, menjadikanku seorang yang kuat, tahan banting, tahan lapar, dan tahan susah.”

Di usia muda, saya tidak mengerti makanan bergizi. Saat itu jika bisa hidup satu hari, sudah bersyukur kepada Tuhan. Jika makan, saya maunya cepat-cepat, sup dituang ke nasi, lalu dituang ke mulut, lalu pergi berkhotbah ke sana sini. Makan enak kita hidup, tetapi makan tidak enak pun kita tetap hidup. Saya berusaha bekerja terus lebih berat daripada orang lain. Pada usia 77 tahun, saya masih berkhotbah sekitar tiga ratus kali setahun dan tetap tampak sehat. Saya jarang sakit. Kemarin malam saya baru berpikir, sedari umur 16 sampai sekarang sudah memimpin ratusan konser, tetapi tidak pernah satu kali pun memerlukan conductor cadangan. Baru saya sadar, betapa besar pemeliharaan Tuhan bagi orang yang lemah ini. Pernah beberapa kali saya harus berhenti berkhotbah karena sakit keras, tidak bisa naik mimbar, maka orang lain yang naik menggantikan saya. Mencari orang menggantikan saya berkhotbah mungkin lebih mudah daripada mencari orang menggantikan saya sebagai conductor. Tetapi sekarang ada rekan Pdt. Dr. Billy Kristanto, Rebecca Tong, dan Eunice Tong, lalu masih ada para musikus yang lain, sehingga jika diperlukan ada orang lain yang bisa menggantikan. Sampai saya sudah tua, baru Tuhan siapkan orang lain menggantikan saya. Dari masa ke masa, Tuhan membangkitkan lagi lebih banyak orang.

Tuhan Yesus di bawah Pontius Pilatus sengsara dan dijatuhi hukuman, Ia harus disalibkan dan mati. Kematian bagi manusia itu wajar, karena semua manusia berdosa. Sekalian kita telah berdosa dan kekurangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Roma 6:23 menyatakan, “Upah dosa adalah maut, tetapi anugerah Allah adalah hidup yang kekal dalam Yesus Kristus, Tuhan kita.” Lalu, Ibrani 9:27 menyatakan bahwa setelah mati kita akan dihakimi. Inilah tiga kalimat yang penting. Semua orang berdosa, harus mati, dan dihakimi. Penginjilan memberi tahu bahwa kita orang berdosa, harus mati dan dihakimi, tetapi Yesus datang ke dunia, mati bagi kita, agar kita mendapat hidup kekal. Kematian itu hal yang umum. Tetapi Yesus satu-satunya yang tidak berdosa namun harus mati. Alkitab berkata, Ia mati menggantikan kita. Yang mati untuk menggantikan orang lain hanya satu, Yesus Kristus. Semua manusia lain mati, karena semua memang berdosa sehingga semuanya harus mati. Yesuslah satu-satunya yang mati sekalipun tidak berdosa.

Paulus berkata, “Ia yang tidak berdosa dimatikan ganti kita yang berdosa.” Petrus berkata, “Ia yang benar menggantikan kita yang tidak benar.” Mereka mengerti, bahwa Kristus mati sebagai substitusi (pengganti). Yesus tidak berdosa, menggantikan kita yang berdosa, maka Ia mati di atas salib. Ini melawan dalil yang biasa, ini paradoks. Dalil biasa berkata, “Yang berdosa harus mati.” Paradoks berkata, “Mati sekalipun tidak berdosa.” Yesus yang tidak berdosa harus mati, karena penggantian. Ia mewakili dan menggantikan kita. Ia menempati kematian kita karena Ia tidak berdosa dan rela mengasihi kita. Keselamatan yaitu Yesus mati menggantikan dan menempatkan diri di tempat kita, sehingga hukuman itu tiba ke atas-Nya dan tidak tiba atas kita. Lihatlah Anak Domba Allah yang mengangkut dan menanggung dosa seluruh dunia. Inilah kematian Yesus. Itu alasan di Alkitab ada berita salib, karena orang Kristen tahu, tidak ada yang dapat kembali kepada Bapa, diperdamaikan dengan Allah, jika Yesus tidak mati di atas salib.

Status kematian Yesus berbeda dari kematian semua manusia. Yesus berbeda dari semua manusia, karena mereka semua sudah berbuat dosa, maka mereka harus mati. Tuhan Yesus satu-satunya yang tidak berdosa tetapi rela mati karena menggantikan kita. Ada Allah yang begitu mengasihi kita, yang bersedia mati menggantikan kita. Ia menerima hukuman, murka, dan penghakiman Allah. Ketika Yesus mati di atas salib, ucapan yang paling mengerikan Ia teriakkan kepada Allah, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Allah dan para malaikat di sorga pun tidak menjawab. Meninggalkan satu pertanyaan tanpa jawaban dalam sejarah. Sebenarnya Allah mau Tuhan Yesus yang mengeluarkan kalimat itu lalu kita yang menjawabnya. Jawabannya harus dari kita, “Allah meninggalkan Engkau, karena Engkau telah menggantikanku memikul dosaku.” Amin.

Sumber : https://www.buletinpillar.org/transkrip/pengakuan-iman-rasuli-bagian-18-butir-kedua-12-yang-menderita-sengsara-di-bawah-pemerintahan-pontius-pilatus-disalibkan

Artikel Terkait :