Butir kedua Pengakuan Iman Rasuli merupakan bagian yang terpanjang dan terpenting dari seluruh Pengakuan Iman Rasuli dan yang membedakan agama Kristen dari agama-agama lainnya, yakni iman kepada Allah Tritunggal. Kita masih secara khusus memperhatikan kalimat “menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus”.

Pontius adalah kota asal Pilatus. Menurut catatan, Pilatus akhirnya tinggal di Switzerland, yang sekarang kita kenal sebagai negara Swiss, negara Protestan, penghasil arloji, tape recorder, dan kamera terbaik. Negara ini kecil, tetapi mementingkan mutu lebih daripada jumlah. Selain meniru Jerman, Jepang pun meniru Swiss. Jerman, Swiss, dan negara-negara Skandinavia (Denmark, Finlandia, Norwegia, dan Swedia) semuanya merupakan negara-negara Protestan yang sangat penting. Swiss menuntut kualitas, maka arloji terbaik dan mesin yang sangat baik berasal dari Swiss. Negara-negara Reformasi dan Pasca reformasi telah menghasilkan hal-hal yang sangat bermutu berdasarkan satu ayat, bahwa mengerjakan apa pun adalah di hadapan dan dilihat Tuhan. “Saya melihat segalanya dari takhta Tuhan dan akan mengerjakannya seperti dilihat Tuhan dari takhta-Nya.” Jika ini menjadi pedoman hidup setiap kita, maka hidup kita menjadi hidup yang bermutu. Pada saat Tuhan melihat kita mengerjakan segalanya sesuai kehendak-Nya, maka ketika kita berjumpa dengan-Nya, Ia akan berkata, “Engkau hamba-Ku yang baik dan setia, masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan Tuanmu.”

Saat Yesus diadili, ini merupakan sindiran yang sangat menempelak kebudayaan manusia, karena Yesus diadili dalam pengadilan, yang seharusnya merupakan tempat manusia mewujudkan dan melaksanakan keadilan bagi seluruh masyarakat. Manusia mewujudkan keadilan dengan mendirikan suatu lembaga, yaitu pengadilan. Pengadilan, mulai dari desa, kota, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, sampai mahkamah agung, adalah perwujudan keadilan. Tetapi, sejarah membuktikan bahwa tempat yang paling melecehkan dan menghujat keadilan adalah pengadilan tertinggi. Tuhan dari sorga melihat.

Manusia dicipta menurut peta teladan Allah, manusia diberi konsep tentang sifat Allah yang suci, adil, dan bajik adanya. Ketiga hal inilah intisari hukum Taurat yang tercantum dalam Sepuluh Hukum. Maka, melalui hukum Taurat, kita tahu bahwa Allah itu suci, adil, dan baik. Manusia diciptakan menurut peta teladan Allah, sehingga manusia dapat membayangkan peta teladan Allah dan merenungkan sifat ilahi. Tetapi, agama tidak terlalu banyak mengajarkan tentang ketiga sifat ilahi seperti yang tercantum dalam Taurat. Di dalam surat Roma, Paulus mengatakan bahwa di dalam Taurat tersimpan ketiga sifat ini: Allah adil, suci, dan baik adanya. Maka, manusia yang diciptakan menurut peta teladan Allah seharusnya juga melaksanakan ketiga sifat ini, yang membuktikan bahwa kita dicipta oleh Tuhan.

Manusia harus menjalankan keadilan, kesucian, dan kebajikan. Keadilan berarti sama rata terhadap diri dan sesamanya. “Saya tidak lebih baik, lebih tinggi, lebih pintar darimu, saya tidak boleh punya hak istimewa yang melebihimu.” Superioritas melanggar keadilan. Inferioritas juga melawan keadilan, tetapi menganggap sama terhadap diri dan sesama, tidak menganggap diri sebagai penguasa atas sesama kita, tidak menganggap sesama sebagai budak kita, karena itu semua melawan keadilan dalam interaksi antar pribadi. Barang siapa sama terhadap diri dan sesama, ia seorang yang manusiawi.

Pengadilan diperlukan karena negara mau melaksanakan keadilan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Tanpa keadilan, masyarakat akan kacau, kejahatan tidak ada hukuman, orang baik tidak dapat hidup aman dan mendapat pujian yang selaras atau dorongan yang seharusnya. Maka, melalui pengadilan melaksanakan keadilan, masyarakat menjadi tertib dan baik. Tetapi justru di sinilah sindiran terbesar, di mana ada pengadilan tertinggi, di sana ada pelanggaran keadilan yang terjahat. Maka, Alkitab berkata, tidak seorang pun yang tidak berdosa, karena sekalian kita sudah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Keadilan, kesucian, kebaikan, dan kasih merupakan perwujudan kemuliaan Allah. Seorang yang adil, baik, dan suci, saat melakukan keadilan, kebajikan, dan kesucian, ia memuliakan Tuhan. Tuhan dimuliakan melalui sifat-sifat ilahi yang dilaksanakan manusia. Namun, pada saat Pilatus mengadili Yesus, ini merupakan sindiran terbesar, suatu refleksi yang memancarkan ketidakadilan yang terkejam dan paling menakutkan yang pernah terjadi dalam sejarah manusia. Saat di mana manusia melakukan keadilan, hal yang paling mustahil dicapai dan yang dinyatakan sebagai kerusakan terbesar, penghinaan, dan pelecehan keadilan yang terkejam terjadi, yaitu saat Yesus diadili Pilatus.

Sejarah mencatat, Socrates dituduh dengan dua kesalahan: 1) atheis dan 2) penghasut atau perusak moral pemuda. Socrates divonis sebagai orang atheis karena ia tidak percaya kepada para dewa Yunani. Saat ia menyatakan diri tidak lagi percaya para dewa Yunani, karena sesungguhnya ilah itu seharusnya hanya satu, tidak tampak, dan di sorga, maka mereka menyatakan ia atheis. Bagi Yunani, ilah yang tertinggi namanya Zeus (atau Jupiter). Sedangkan, bagi Socrates, ilah tertinggi itu roh, tak tampak, esa adanya, dan ada di tempat Mahatinggi (yaitu sorga). Saya percaya Socrates dipengaruhi para pedagang Yahudi yang merantau ke Yunani. Saat mereka pergi berdagang ke berbagai negeri, mereka sekaligus memperkenalkan Allah Yehovah di sorga, yang adalah Roh, dan Pencipta langit dan bumi.

Kalimat “Pencipta langit dan bumi”, pertama kali diperkenalkan oleh orang Kristen melalui Pengakuan Iman Rasuli. Tanpa Pengakuan Iman Rasuli pengertian “penciptaan” tidak jelas dan kacau balau. Dalam Pengakuan Iman Rasuli, penciptaan mencakup segala sesuatu: langit, bumi, dan segala isinya. Dalam Pengakuan Iman Nicea lebih lengkap lagi, yaitu dengan menambahkan yang tampak dan yang tidak tampak, yang berwujud sebagai pribadi atau benda, semua yang tampak dan tidak tampak sama-sama diciptakan Allah. Inilah perbedaan kebudayaan Yunani dengan konsep iman Kristen. Dalam kebudayaan Yunani, dunia memang begitu dari dahulu sampai selamanya tidak berubah. Tetapi orang Kristen pertama kali berkata, “Tidak, ini dahulu tidak ada, tetapi Allah menciptakan dari tidak ada menjadi ada, barulah ada langit dan bumi.” Allah Pencipta langit dan bumi. Dengan konsep yang revolusioner ini, iman Kristen bersumbangsih di dalam konsep penciptaan.

Konsep penciptaan ada dalam Perjanjian Lama. Kejadian 1:1 berkata, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” Lalu, dikembangkan dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus berdoa, “Tuhan dari langit dan bumi.” Ia bukan saja menciptakan, juga menjadi Tuhan. Jadi, sekarang kita melihat: ciptaan itu dunia fisika dan Pencipta itu metafisika. Pencipta bukan ada dalam dunia ciptaan, tetapi melampaui segala ciptaan-Nya. Allah itu transenden. “Dunia” di atas dunia, di balik dunia, melampaui dunia yang tampak, itulah tempat Tuhan. Demikianlah, pertama kali “dipisahkan” yang tampak dan yang tidak tampak, sehingga manusia harus memiliki iman terbuka untuk menuju kepada dunia yang tidak tampak. Namun, yang disebut tidak tampak justru tampak bagi orang Kristen, karena orang Kristen melihat melalui iman. Iman melihat melalui roh. Maka, melalui iman kita menerobos batasan fisika yang menutup kita di dalam dunia materi, menuju dunia yang tidak tertutup, tidak terbatas, yaitu dunia roh. Allah ada dalam dunia roh. Ia adalah Allah yang hidup. Maka, kita memiliki open system, sistem terbuka iman Kristen.

Ketika Allah menyatakan diri melalui Sepuluh Hukum Taurat, dari dunia yang tampak kita mulai melihat dunia yang tidak tampak, bahwa dunia yang tampak memerlukan keadilan, karena Allah itu adil. Kita bermoral, perlu kesucian, karena Allah suci. Dalam dunia tampak, kita memerlukan kebajikan, karena Allah bajik. Semua sifat ilahi yang dinyatakan dalam dunia tampak, kita menjadi wakil Tuhan, karena kita peta teladan Tuhan yang melaksanakan sifat-sifat moral Tuhan dan menyatakan kemuliaan Tuhan dalam dunia. Tuhan Yesus lahir di zaman Maria dan mati di zaman Pilatus. Ini membuktikan Kristus adalah manusia dalam sejarah, berkurun waktu dan tempat. Kelahiran, kehidupan, kematian,  dan kebangkitan Kristus bukanlah cerita mitos Yunani, tetapi merupakan fakta sejarah yang konkret. Yesus benar-benar hidup sebagai manusia. Inilah inkarnasi. Tuhan Yesus pernah datang memasuki sejarah dan melalui hidup-Nya, Kristus mengubah sejarah, agar melalui diri-Nya manusia bertemu dengan Allah yang tidak tampak. Inkarnasi Kristus menjadi titik temu antara Allah yang tidak tampak dan manusia yang tampak; antara kekekalan dan kesementaraan; antara anugerah Allah yang kekal dan manusia yang berdosa. Melalui kelahiran-Nya, Firman ada di tengah kita. Melalui kematian-Nya di atas salib, dosa diselesaikan dengan menggantikan kita yang seharusnya mati.

Pada saat Pilatus mengadili Tuhan Yesus, terjadi ketidakadilan yang paling puncak dan kejam dalam sejarah. Ketika Tuhan Yesus diadili Pilatus, Allah turun sampai titik terendah dan pendosa naik sampai ke puncak tertinggi. Ini adalah dua arah yang berbeda: Yang di atas bersedia turun ke bawah, dan yang di bawah mau naik ke atas setinggi-tingginya. Pilatus dengan gengsi dan angkuh mengadili Yesus yang rendah hati dan rela berkorban. Yang tertinggi turun ke titik terendah dan yang terendah naik ke titik tertinggi. Yesus dari sorga berinisiatif turun ke dunia; Pilatus pendosa yang memberanikan diri berinisiatif naik ke takhta untuk menghakimi Yesus. Sama-sama berinisiatif, tetapi Pilatus menganggap dirinya utusan dan wakil Kekaisaran Romawi yang lebih tinggi dari semua kerajaan lain, sehingga ia merasa berhak mengadili dan menghakimi siapa pun, sementara Yesus berinisiatif merendahkan diri-Nya. Di sini kita melihat kontras dari kedua orang ini.

Dengan melihat kepada Yesus, belajar kebenaran dan sifat ilahi-Nya, yaitu merendahkan, mengosongkan, dan menyangkal diri, kita belajar untuk melihat Yesus sebagai teladan manusia. Ia berhak dan patut berkata, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah kepada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan; sebab kuk yang Kupasang itu enak, dan beban-Ku pun ringan.” Tetapi Pilatus telah mengangkat diri lebih dari yang seharusnya, sehingga ia berani menjatuhkan hukuman kepada Tuhan Yesus. Padahal, sebelum ia menjatuhkan hukuman, ia sudah merasa bahwa tidak seharusnya Tuhan Yesus dihukum, karena:

  • 1) Ia tidak menemukan kesalahan apa pun yang Yesus perbuat. Sampai tiga kali ia berkata, “Aku tidak menemukan kesalahan apa pun pada orang ini.” Namun, mereka berteriak, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” Di tengah keadaan terjepit dan terkunci, ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena ia mewakili Romawi harus menyelesaikan semua pengaduan yang tidak adil, yang harus ia adili.
  • 2) Malam sebelumnya, Tuhan sudah memberikan mimpi kepada istri Pilatus, maka istrinya mengutus seorang untuk membawa berita kepada Pilatus, “Jangan engkau mengurus Yesus, karena tadi malam aku bermimpi orang ini benar, jangan jatuhkan hukuman atas-Nya.” Dalam dua keadaan yang sulit ini, ia tidak tahu harus berbuat bagaimana. Akhirnya, ia memakai caranya sendiri. Pilatus berkata, “Hari ini Hari Paskah, rakyat banyak ada di Yerusalem. Izinkan aku melepaskan satu orang. Kalian mau siapa yang kulepaskan: Barabas atau Yesus?” Ia berpikir, meskipun mereka membenci Yesus, mustahil mereka membenci Yesus lebih daripada mereka membenci penyamun sekelas Barabas.

Richard Niebuhr pernah berkata, “Yesus terlalu mementingkan kemanusiaan, seperti belas kasihan dan keadilan, tetapi tidak mau menjalankan Taurat, maka Pilatus hanya menjadi alat untuk menyingkirkan dan membantai Tuhan Yesus.” Pilatus sendiri tidak ada niat seperti itu. Ketika ia terjepit di tengah situasi seperti itu, ia pikir ia cukup pandai dengan membawa Barabas keluar. Pasti mereka lebih membenci Barabas. Tetapi di luar dugaannya, semua orang berteriak, “Barabas! Kami mau Barabas! Lepaskan Barabas!” Pilatus tercengang, ia kaget dan tidak menyangka, manusia lebih suka perampok dibandingkan Yesus yang melakukan banyak kebajikan, menyembuhkan orang, dan ke mana-mana memberitakan Kerajaan Sorga. Maka Pilatus terpaksa berkata, “Jika demikian, apa yang harus kulakukan kepada Yesus orang Nazaret ini?” “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” Pilatus melihat tidak ada kemungkinan melawan massa yang sedemikian radikal dan ekstrem. Maka ia mengeluarkan surat berkata, “Sekarang aku setuju apa yang kalian mau. Ambillah surat ini, lakukan, cambuklah, dan salibkan Yesus.” Lalu Pilatus mencuci tangannya, “Dosa ini tidak ada padaku.

” Tetapi bisakah? Tidak. Ia mengambil keputusan saat menjabat sebagai gubernur Romawi. Maka, Pengakuan Iman Rasuli menulis, “Ia menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus.” Sebagai orang berdosa yang tidak takluk kepada Tuhan, dirinya sudah masuk ke dalam jebakan dan masih tidak sadar. Sejak awal ia menginginkan kedudukan yang tinggi. Secara inisiatif ia mau menjadi seorang yang bisa memerintah dan mengadili Yesus. Alkitab berkata, “Berbahagialah mereka yang merendahkan diri, celakalah mereka yang meninggikan diri.” Bagaimanapun setan meninggikan diri, akhirnya dicampakkan turun dari sorga. Sejak awal Yesus merendahkan diri, maka akhirnya diberikan nama di atas segala nama.
Setelah Pilatus menyerahkan Yesus untuk disalibkan, Yesus dicambuk, lalu memikul salib menuju Golgota. Kayu yang dipakai itu kasar dan berat. Seturut peraturan bahwa yang memikul harus orang yang divonis mati, Yesus dianggap sebagai pendosa besar, maka Ia pun disuruh memikul salib-Nya. Sebelumnya, Yesus pun sudah dicambuk hingga darah-Nya terus mengalir di sekujur tubuh-Nya, lalu kini ditimpa salib kayu yang berat. Menurut legenda, Yesus berjalan ke Golgota dan sampai separuh perjalanan Ia sudah tidak kuat dan terjatuh dan salib itu menimpa diri-Nya. Menurut legenda, Yesus jatuh tujuh kali. Baru setelah itu mereka menyuruh seorang memikul salib-Nya, namanya Simon dari Kirene. Legenda berkata Yesus jatuh tujuh kali, karena terlalu berat.

Di bawah pemerintahan Pontius Pilatus dan Romawi, yang ada hanya kekejaman, bukan perikemanusiaan. Maka Simon Kirene terpaksa memikul salib, mungkin dalam hatinya ia benci sekali, “Karena Engkau aku sampai tidak bisa mengerjakan yang lain, mesti memikul salib-Mu menggantikan-Mu.” Tetapi catatan sejarah ada kalimat seperti ini, “Sambil memikul salib, sambil memandang Yesus yang seluruh badan-Nya penuh dengan luka, wajah-Nya penuh dengan sukacita, damai, dan kasih. Meski seluruh badan-Nya terluka, Yesus dengan tenang rela menanggung dosa manusia, rela menanggung murka Tuhan, menggantikan kita untuk Tuhan adili.” Ada juga yang berkata, “Setelah Simon melihat Yesus dipaku, ia begitu sedih dan menangis, karena ia tahu bahwa orang ini baik.” Ada juga yang mencatat bahwa akhirnya ia menjadi Kristen.

Tuhan memakai segala cara menobatkan manusia. Ada yang awalnya membenci Yesus, termasuk perampok yang ada di atas salib, memaki-maki Tuhan Yesus, tetapi akhirnya Tuhan Yesus bekerja. Setelah mendengar kalimat pertama, “Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka kerjakan.” Maka perampok yang satu ini mulai sadar. “Apa yang saya buat saya tidak tahu.” Lalu ia mengingat, “Apa Tuhan mau mengampuni saya?” Ia mulai merasa Injil dan kuasa Kristus membawanya kembali. Kalimat kedua Tuhan Yesus menjawab pertanyaannya, “Yesus, pada hari Engkau kembali menggenapi Kerajaan-Mu, ingatlah aku.” Yesus menjawab, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, bukan hari itu, tetapi hari ini. Aku berkata kepadamu, hai perampok, hari ini juga engkau dan Aku ada dalam perjamuan bersama dalam Kerajaan Allah di Firdaus.” Inilah penghiburan terbesar bagi seorang pendosa. Karena Yesus dipaku di atas salib, maka titik temu sorga dan bumi menjadi titik temu kebahagiaan dengan penderitaan. Yesus memberikan kebahagiaan terbesar bagi dunia, dan Ia sendiri harus menerima penderitaan terberat di atas salib. Ini paradoks yang secara lahiriah kita tidak mengerti, tetapi secara batiniah kita tahu. Alkitab berkata, melalui Dia, yang membelah tirai yang memisahkan antara Ruang Suci dan Ruang Mahasuci dalam Bait Allah, maka jalan yang baru, yang benar, dan yang hidup bagi kita telah Yesus tempuh. Melalui tirai yang diwakili tubuh-Nya, tubuh yang terpaku dan mengalirkan darah. Tirai yang penuh dengan darah domba yang disembelih menjadi korban menggantikan dosa, membuat tirai itu robek menjadi dua dari atas sampai bawah. Di saat itu tercatat memerlukan 300 orang baru bisa memasang tirai dalam Bait Allah. Pemisahnya yaitu dosa kita dan pemecahnya yaitu tubuh Kristus. Karena dosa, kita ditolak dan diceraikan Allah, tetapi karena kematian Kristus kita semua diterima Allah. Inilah Injil, inilah Kerajaan Allah, keselamatan, anugerah pengampunan dosa yang sudah direncanakan dan ditetapkan Bapa, digenapi Yesus, dan disodorkan Roh Kudus dalam hati setiap kita. Kiranya Tuhan memberkati dan menjadikan kita orang-orang yang sungguh mengasihi Tuhan. Amin.

Sumber  : https://www.buletinpillar.org/transkrip/pengakuan-iman-rasuli-bagian-17-butir-kedua-11-yang-menderita-sengsara-di-bawah-pemerintahan-pontius-pilatus#hal-1

Artikel Terkait :