Jauh-jauh hari kami memang sudah merencanakan untuk berkunjung ke rumah keluarga Kompol Palma Fitria Fahlevi yang berada di Sumenep, namun baru terealisasi sekarang. Dengan menggunakan kendaraan Rush Ultimo yang selalu setia mengiringi setiap perjalanan, kami berangkat dari kota Karawang pada hari Sabtu Pukul 09:20 WIB dan tiba di Sumenep Minggu pagi pukul 02:10 WIB. Agak lama memang, karena kami memang menikmati perjalanan seperti mampir makan di Kota Tegal untuk menikmati sate sekedar makan siang dan masuk rest area untuk sekedar minum kopi. Kali ini supir sudah tidak sendiri lagi sebagaimana perjalanan sebelumnya dalam “Pekanbaru Bersama” karena anak Sulungku kini sudah mahir dan teruji dalam berkendara. Perjalanan kali ini kami sebut “Sumenep Bersama : 04 – 09 Desember 2021. “

Sekilas Tentang Sumenep

Secara administratif Kabupaten Sumenep termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Timur. Wilayah Kabupaten Sumenep berada diujung timur Pulau Madura dimana terdapat 27 Kecamatan, 19 Kecamatan daratan dan 8 Kecamatan kepulauan. Kabupaten Sumenep memiliki 126 pulau (sesuai dengan hasil sinkronisasi luas Kabupaten Sumenep Tahun 2002), tersebar membentuk gugusan pulau-pulau baik berpenghuni (48 pulau) maupun tidak berpenghuni (78 pulau). Pulau paling utara adalah Pulau Karamian yang terletak di Kecamatan Masalembu dengan jarak ±151 mil laut dari Pelabuhan Kalianget, dan pulau yang paling timur adalah Pulau Sakala dengan jarak ±165 miI laut dari Pelabuhan Kalianget. Pusat pemerintahan kabupaten berada di Kota Sumenep tepatnya di Kecamatan Kota Sumenep.

Ternyata Sumenep banyak daerah wisata yang wajib dikunjungi untuk menambah wawasan dan pengalaman, setelah cukup lama mengurung diri akibat Pandemi Covid 19. Salah satu pulau dari sekian banyak pulau yang kami kunjungi adalah Pulau Gili Iyang, karena sebelumnya saya telah mendengar cerita dan melihat IG @palma_fahlevi yang sepertinya prioritas untuk dikunjungi.

Pulau Gili Iyang

Dengan dibersamai oleh Qolbi, hanya 20 menit dari Kota Sumenep kami sudah tiba di Dermaga Dungkek. Keramahan anggota Polsek Dungkek sangat kental terasa, dengan menawarkan kami sarapan terlebih dahulu sebelum menyeberang ke Gili Iyang. Sesuai jadwal kapal yaitu sekitar pukul 09:00, kami berangkat bersama dengan warga setempat yang hendak ke Pulau Gili Iyang, suasananya mengingatkan saya ketika menyeberang dari Dermaga kecil Sorong ke Pulau Doom ketika berdinas di Sorong Papua.

Hanya membutuhkan waktu sekitar 25 menit kami tiba di dermaga Pulau Gili Iyang, dan disana kami langsung didatangi dan disambut oleh Bapak Nyhrawi (sebelah Kanan) dan Bapak Muret (sebelah kiri), sepertinya mereka telah mengenal ciri-ciri kami.

Sebagai alat transportasi, kami juga telah disediakan dua unit motor Reyhan dengan Mario, saya dengan Pramudya. Perjalanan ke Pulau ini kami memang tidak full team, karena “ssst…. istri saya takut naik kapal kecil.” Setelah memberikan briefing ringan di rumah Keluarga Bapak Nyhrawi tentang Pulau Gili Iyang kami diantar langsung ke titik kadar oksigen terbaik didunia setelah Jordania, kami dipersilahkan untuk istirahat disitu sambil menikmati sajian teh dan kopi tubruk sementara mereka izin pergi sebentar untuk mengambil ikan.

Pulau Gili Iyang merupakan tempat terbaik merasakan kesegaran udara di Indonesia, di mana kadar oksigennya 20,9 persen melebihi daerah lainnya. Adapun parameternya adalah Air Visual yaitu aplikasi pencatat kualitas udara dan menempatkan Air Quality Index (AQI) Gili Iyang hanya satu tingkat di bawah kadar oksigen Laut Mati Jordania.

Menurut Mertua dari Bapak Nyhrawi yang ikut menemani kami berbincang-bincang, Gili Iyang memiliki luas sekitar 9 KM2 yang didiami sekitar 10 ribu jiwa yang menghuni dua desa yaitu desa Bancamara dan Banraas. Dan penduduk dari dua desa ini cukup antusias dalam mengikuti vaksin covid 19, semakin meyakinkan kami atas kemanan pandemi selama di Gili.

Melihat situasi Gili Iyang mengingatkan saya ketika mengunjungi Gili Trawangan “Lombok Bersama,” harus diakui bahwa Gili Iyang butuh “sentuhan profesional” untuk bisa menjadi seperti Gili Trawangan. Pada titik oksigen memang telah disediakan tempat untuk sekedar istirahat, sayangnya dilokasi dan waktu yang sama warga setempat sedang memperbaiki motor dan mengeber-ngeber motornya yang memang sepertinya businya bermasalah sehingga asap dan bau bensin cukup pekat terasa menghilangkan keasrian titik oksigennya.

Setelah menikmati suasana titik oksigen, sekitar 50 menit kami diarahkan oleh Bapak Muret dengan mengajak untuk mengunjungi lokasi wisata Batu Cangga. Dengan mengendarai motor dan lika-liku jalan setapak menuju Wisata Batu Cangga yang cukup menantang, karena jalan yang dilalui hanya setapak dan berbatu sehingga hampir beberapa kali hampir jatuh. Akhirnya saya menyerah, dan menyerahkan setir motor kepada anak saya yang nomor dua Mario sehingga posisi beralih Mario dengan saya dan Pram dengan Reyhan.

Sekitar 15 menit kami tiba disebuah komplek yang diportal, ternyata ada sebuah bangunan induk dan beberapa bangunan kecil masih dalam tahapan konstruksi, bangunan utama langsung menghadap laut nan indah (berpotensi ekonomi tinggi). Kami berfoto disekitaran komplek tersebut yang memang agak curam dan harus berhati-hati. Sekitar sepuluh menitan, kami lanjut kembali perjalanan dengan motor ke tujuan awal yaitu Wisata Batu Cangga.

Hanya butuh waktu sekitar lima menit dari komplek tadi, menggunakan motor dengan jalan yang berlika-liku kami tiba di depan Gerbang Wisata Batu Cangga, di lokasi wisata batu cangga ini sudah ada sedikit sentuhan dari pemerintah setempat sehingga tidak terlalu beresiko untuk menikmati panorama yang ada karena telah dipagar agar tidak jatuh ke karang yang ada di bawah. Masyarakat sekitar menyebut sebagai Betoh Cangge atau batu yang menyanggah tebing.

Di setiap sisi jalan menuju batu cangga terbentang lahan tanah kering yang ditumbuhi pohon-pohon jati. Lahan itu bercirikan tanah grumusol yang terbentuk dari batuan induk kapur dan tuffa vulkanik berwarna kelabu dan cenderung sedikit hitam. Lahan jenis ini mewarnai mayoritas permukaan tanah di Gili Iyang serta sebagian besar daratan di Pulau Madura.

Objek wisata  ini telah dipagari berbentuk rongga menyerupai lorong sepanjang sekitar 30 meter (batas wilayah aman), sementara deburan ombak terdengar sekitar 100 meter dibawah tebing rongga tempat kami berada. Saat kami berkunjung tidak ada wisatawan lain di lokasi tersebut, karena kami memang datang di hari kerja, hanya ada seorang wanita setengah baya yang memiliki kunci di pintu masuk dan berkenan mengantar dan mengambilkan gambar kami. Menurut legenda, Batu Cangga diduga bagian dari proses peristiwa letusan gunung purba bawah laut pada masa Tersier atau sekitar 50 juta tahun lampau. Batuan pada lorong dan kontur tebing menyiratkan aliran lava gunung api purba yang bersusun dan membentuk batuan andesit, tuffa, dan breksi. Patut diduga lorong tersebut terbentuk akibat adanya abrasi air laut sejak ribuan tahun lampau sehingga menyebabkan munculnya runtuhan tebing (rock fall). Demikian seperti dikutip dari laman milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral.

Karena waktu Kapal kembali ke Dermaga Dungkek adalah pukul 12:00 WIB, maka setelah 30 menit menikmati panorma di Batu Cangga, kami segera bergerak kembali ke rumah Bapak Nyhrawi bersama dengan Bapak Muret yang setia menemani kami berkeliling. Kami disambut oleh Bapak Nyhrawi dan diajak makan siang bersama di teras rumah yang indah dan asri, dengan menu Ikan Bakar dan bumbu sambalnya, saya sendiri menghabiskan dua ekor ikan, “sangking lahapnya, sampai lupa kalau kami juga membawa bekal dari rumah.”

Kami sudah ada di Dermaga pukul 12:45, ada keterlambatan akibat proses penurunan barang-barang belanjaan warga sekitar. Saat kami berpamitan, saya ingin sekali memberikan sekedar terima kasih atas keramahan Bapak Nyhrawi dan Bapak Muret, namun ditolak sangat halus, saya sungguh melihat ketulusan yang ada, kami hanya bisa mengucapkan terima kasih dan berdoa semoga Bapak Nyhrawi dan Bapak Muret serta semua warga yang ada di Gili Iyang diberi kesehatan dan kebahagiaan selalu.

Sepanjang perjalanan pulang, saya berbincang dengan kapten kapal bernama Warti yang asli Gili Iyang, dia menceritakan bahwa waktu kecil sering pergi untuk memancing dan berenang di Gua yang berada dekat pantai ropet. Dengan berbekal obor (jika kemalaman dalam perjalanan), Warti bersama teman-temannya sering bermain di dalam gua, menurutnya yang menarik adalah didalam gua terdapat genangan air yang memiliki dua rasa yaitu asin (air laut) dan rasa tawar yang mengasikkan apabila berenang, bahkan sering memancing dengan mendapat ikan yang besar, “gumannya, sambil tetap fokus mengendalikan perahu agar stabil bila diterjang ombak”.  Tentang gua, memang saya tidak mendapat informasi sebelumnya sehingga tidak masuk list untuk dikunjungi. Dia juga bercerita dan cukup mengenal Bapak Nyhrawi, seorang yang baik dan ramah, serta sering disinggahi oleh Pejabat Sumenep apabila hendak berwisata di Pulau Gili Iyang. Pun menurutnya, dulu sekali Bapak Nyhrawi pernah menebang satu pohon yang dikenal angker karena ditantang warga. Lucunya, saat ditantang jika berani menebang akan dihadiahi uang Rp. 50 ribu dia malah menawar, cukup Rp. 5 ribu saja.

Pohon angker tersebut benar-benar roboh ditebang, tapi…. Menurut Warti, setelah menebang pohon itu, tiga hari tiga malam Bapak Nyhrawi demam tinggi, “mungkin penunggu pohon itu marah, “celetuknya”, keberaniannya menebang pohon tersebut membuatnya disegani. Dan tak terasa kami telah tiba di dermaga dungkek, dan cerita tentang Gili Iyang pun berakhir, semoga dalam kunjungan berikutnya di Gili Iyang sudah dibuatkan track jalan keliling sepanjang pantai dan objek wisata sebagaimana Gili Trawangan sehingga bisa dikelilingi dengan sepeda atau Cidomo (kereta kuda), semoga….

Daftar Biaya (Versi kapten Kapal) :

  • Dari Dermaga Dungkek tiket Kapal Per Orang Rp. 10.000,- (Transportasi Umum)
  • Tiket untuk Wisata Titik Oksigen (Tidak ada, hanya membayar kopi atau makanan ringan saja)
  • Tiket untuk Wisata Batu Cangga Per Orang Rp. 5.000,-
  • Menuju lokasi bisa menyewa motor atau Dorkas

Artikel Sejenis Menarik Lainnya :