Akhirnya pada hari Sabtu tanggal 7 Maret 2015 saat tidak ada jadwal mengajar, kami menuntaskan janji yang pernah kami ungkapkan dalam tulisan yang berjudul “Tamasya Sejarah Nan Murah“, ya “janji kepada ke tiga putra kami untuk mengunjungi Museum Satriamandala” dan kami berikan bonus juga mengunjungi “Monumen Nasional” :D, tentang seperti apa kisah perjalanan tersebut sehingga pembaca setia nusahati dapat mengagendakan kunjungan yang sama kepada anak-anak yang dicintai, simaklah kisah perjalanan kami sebagai berikut.

Museum Satriamandala

Halaman Depan Museum

                  Halaman Depan Museum

Ada satu stiker yang diberikan saat kami membeli tiket masuk Museum Satriamandala dengan bertuliskan “Anda belum berada di Jakarta jika belum mengunjungi Museum Satriamandala” dan memang betul apa yang disebutkan dalam tulisan tersebut dan Puji Tuhan anak-anak kami pun sudah mengunjunginya.

Dari Karawang kami berangkat pukul 10:45 WIB dengan mengendarai Mobil Carens II yang selalu setia mengantarkan kami dengan prima. Jadwal kunjungan masuk Museum Satriamandala adalah pukul 09.00 WIB sampai dengan 15.30 WIB dan selalu buka kecuali hari Senin.

Kami tiba pukul 12:45 WIB, saya salah mengira seharusnya saya keluar tol mampang tetapi saya keluar tol sebelumnya sehingga mengalami kemacetan sehingga perjalanan dari Karawang- Museum Satria Mandala mencapai sekitar 2 (dua) jam.

Dengan biaya yang hanya Rp. 12.500,- kami sudah dapat memasuki Museum Satriamandala dengan rincian harga tiket anak-anak sebesar Rp. 1.500,-, harga tiket dewasa sebesar Rp. 2.500,- dan parkir kendaraan sebesar Rp. 3.000,- .

Apa sih yang kita dapat dengan mengunjungi museum Satriamandala ini? begini…

Audric Dan Anti Tank-nya

                  Audric Dan Anti Tank-nya

Museum Satriamandala terletak di Jalan Jenderal Gatot Subroto no.14, Jakarta Selatan. Gedung museum ini sebelumnya dikenal sebagai Wisma Yaso yaitu tempat kediaman Ratna Sari Dewi Soekarno dan tempat Bung Karno disemayamkan sebelum dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.

Di museum ini tersimpan berbagai benda sejarah yang berkaitan dengan perjuangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari tahun 1945 sampai sekarang, seperti aneka senjata berat maupun ringan, atribut ketentaraan, panji-panji dan lambang-lambang di lingkungan TNI, kendaraan perang seperti tank dan panser, berbagai jenis pesawat terbang peninggalan masa lalu. Satu diantaranya adalah pesawat Cureng yang pernah diterbangkan oleh Agustinus Adisutjipto serta tandu yang dipergunakan Panglima Besar Jenderal Sudriman saat bergerilya melawan penjajah.

Remapra Bergaya

                        Remapra Bergaya

Di dalam museum terdapat 74 diorama yang menggambarkan peranan TNI dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Satu diantaranya adalah diorama yang menggambarkan tentang Pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945.

Masih dalam kompleks Museum Satriamandala terdapat Gedung Waspada Purbawisesa menyajikan diorama yang menggambarkan perjuangan TNI bersama-sama rakyat menumpas gerombolan separatis DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi pada tahun 60-an.

Bergaya di Gannet : Pesawat AKS TNI AL Tempoe Doeloe

Bergaya di Gannet : Pesawat AKS TNI AL    Tempoe Doeloe

 

Selain diorama, dipamerkan pula dokumen, peta operasi, dan benda-benda relik lainnya. Fasilitas lain di museum ini adalah Taman Bacaan Anak, kios cenderamata, kantin, serta gedung serbaguna yang berkapasitas 600 kursi untuk berbagai kegiatan dan pertemuan.

Tidak dapat kami pungkiri, ke tiga putra kami begitu antusias untuk menikmati dan mencoba semua mulai dari senjata berat, tank-tank baja, pesawat tempur. Karena memang tidak ada larangan bagi yang mencoba untuk naik tank, pesawat dan lain-lain disepanjang Museum Satriamandala.

Tak terasa 1,5 (satu setengah) jam kami habiskan waktu di Museum Satriamandala, rencana kami berikutnya adalah menuju puncak Monumen Nasional (Monas).

Monumen Nasional

Bergaya Di Cawan

         Bergaya Tepat Di Atas Cawan

Dengan hanya membutuhkan waktu sekitar 30 Menit perjalanan dari Museum Satriamandala ke Monumen Nasional, saat memasuki pintu parkir saya sempatkan untuk bertanya jadwal tutup puncak Monumen Nasional, jawab petugas tersebut demikian, “Ayo mas cepat!  penjualan tiket tutup sampai pukul 15:00 WIB namun bagi yang sudah memiliki tiket batas masuknya sampai pukul 16:00 WIB.” Begitu saya lihat jam tangan, saya hanya punya waktu 20 menit untuk mendapatkan tiket, maka segera saya parkirkan mobil dan segera berlari menuju Pintu Utara, sementara anak istri dapat lebih santai menyusul.

Saya berlari ditemani Mario anak nomor 2 (dua) menuju pintu utara diiringi hujan yang cukup lebat, dan Puji Tuhan kami tiba di tempat pembelian tiket 5 menit sebelum tutup.

Di Payung Pelangi Dalam Rintik Hujan

Di Payung Pelangi Dalam Rintik Hujan

Adapun harga tiket untuk anak-anak sebesar Rp. 2.000,- dan Dewasa sebesar Rp. 5.000,- (saya “asli” tidak memperhatikan jika tiket tersebut hanya untuk kunjungan ke pelataran cawan, padahal saya ingin ke Puncak Monas). Saya juga tidak memperhatikan berapa jumlah kembalian uang, karena sangking lelahnya berlari-lari.

Ada yang aneh, saya melihat petugas menutup pintu masuk, “bukankah tadi petugas tiket parkir mengatakan bagi pemilik tiket diperkenankan sampai jam 16:00 WIB.”. Saya mencoba menghubungi istri dan anak-anak yang ternyata terhalang hujan yang lebat… wah, bagaimana ini sementara saya melihat petugas mengunci semua pintu masuk…

Segera saya minta tolong kepada petugas,  bahwa keluarga sedang dalam perjalanan dari tempat parkir menuju kesini namun terhalang hujan untuk tidak segera menutup pintu, tapi petugas tetap memaksa untuk tetap menutupnya. Wah… cilaka gumanku…. Kali ini terpaksa kukedipkan mata bahwa ada “upah” untuk menunggu… dan Jiaaah…. wajahnya pun berubah menjadi baik, weleh… weleh… dan benar dari kejauhan saya lihat anak istri saya tergopoh-gopoh karena hujan masih lebat, dan akhirnya kami pun berhasil kumpul di dalam pelataran Cawan.

Bergaya Dipuncak Monas

                 Bergaya Dipuncak Monas

Dengan polosnya kami ikut antri untuk menuju puncak monumen… dan… petugas mengatakan bahwa tiket kami hanya untuk sebatas pelataran cawan saja (saya kesal sekali karena petugas loket tiket tidak bertanya sedikitpun kecuali menanyakan jumlah orang yang masuk). Untungnya dengan muka yang polos dan penuh santun … akhirnya kami pun diizinkan menuju puncak… Puji Tuhan….

Apa sih nikmatnya menuju puncak monas, paling hanya sekedar melihat pemandangan kota Jakarta, begitu kan? Tidak, perlu kita mengetahui sejarahnya demikian…

Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah presiden Sukarno, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala. Monumen Nasional terletak tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat.

Menuju Pelataran Cawan

                 Menuju Pelataran Cawan

Setelah pusat pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Jakarta setelah sebelumnya berkedudukan di Yogyakarta pada tahun 1950 menyusul pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, Presiden Sukarno mulai memikirkan pembangunan sebuah monumen nasional yang setara dengan Menara Eiffel di lapangan tepat di depan Istana Merdeka. Pembangunan tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme generasi saat ini dan mendatang.

Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Terdapat 51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad. Sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tapi sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Silaban untuk menunjukkan rancangannya kepada Sukarno. Akan tetapi Sukarno kurang menyukai rancangan itu dan ia menginginkan monumen itu berbentuk lingga dan yoni. Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik. Sukarno kemudian meminta arsitek R.M. Soedarsono untuk melanjutkan rancangan itu. Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu. Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80 hektare. Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R. M. Soedarsono, mulai dibangun 17 Agustus 1961.

Ruang Kemerdekaan berbentuk amphitheater

                     Ruang Kemerdekaan

Di bagian dalam cawan monumen terdapat Ruang Kemerdekaan berbentuk amphitheater. Ruangan ini dapat dicapai melalui tangga berputar di dari pintu sisi utara dan selatan. Ruangan ini menyimpan simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia. Diantaranya naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disimpan dalam kotak kaca di dalam gerbang berlapis emas, lambang negara Indonesia, peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlapis emas, dan bendera merah putih, dan dinding yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Di dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional ini digunakan sebagai ruang tenang untuk mengheningkan cipta dan bermeditasi mengenang hakikat kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia. Naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia disimpan dalam kotak kaca dalam pintu gerbang berlapis emas. Pintu mekanis ini terbuat dari perunggu seberat 4 ton berlapis emas dihiasi ukiran bunga Wijaya Kusuma yang melambangkan keabadian, serta bunga Teratai yang melambangkan kesucian. Pintu ini terletak pada dinding sisi barat tepat di tengah ruangan dan berlapis marmer hitam. Pintu ini dikenal dengan nama Gerbang Kemerdekaan yang secara mekanis akan membuka seraya memperdengarkan lagu “Padamu Negeri” diikuti kemudian oleh rekaman suara Sukarno tengah membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945.

Pada sisi selatan terdapat patung Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia terbuat dari perunggu seberat 3,5 ton dan berlapis emas. Pada sisi timur terdapat tulisan naskah proklamasi berhuruf perunggu, seharusnya sisi ini menampilkan bendera yang paling suci dan dimuliakan Sang Saka Merah Putih, yang aslinya dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi karena kondisinya sudah semakin tua dan rapuh, bendera suci ini tidak dipamerkan. Sisi utara diding marmer hitam ini menampilkan kepulauan Nusantara berlapis emas, melambangkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Sumber informasi wikipedia).

Setelah puas keliling-keliling di dalam pelataran cawan tersebut kami pun keluar karena memang disuruh keluar oleh petugas sekuriti karena jam kunjungan sudah selesai :D. Diluar begitu ramai dan dalam sore yang indah itu, kami pun menyewa 2 (dua) sepeda listrik dengan harga @ Rp. 25.000,- selama 20 menit disepanjang taman Monumen Nasional tersebut, dan setelah puas bermain-main disekitar monas…  kami pun kembali menuju kota Karawang, namun kami menyempatkan diri mampir ke Sarinah sekedar melengkapi jalan-jalan di kota Jakarta.

Puji Tuhan, dengan penyertaan dan perlindungan-Nya kami tiba di istana kami tanpa kurang suatu apapun sekitar pukul 21:00 WIB dan kami pun semua menuju tempat tidur, tersenyum puas dan zzzz….

Artikel-Artikel Terkait :