Dengan adanya harmonisasi perubahan ke lima UU KUP, dimana di dalamnya terdapat juga perubahan UU PPN, UU KUP, dan Cukai maka jika sudah disahkan dapat disimpulkan bahwasanya UU KUP tidak lagi hanya mengatur tentang hukum acara perpajakan melainkan  lebih kepada UU Harmonisasi Aspek Perpajakan dan Cukai. Dalam tulisan terdahulu telah diulas sari dari perubahan masing-masing yang dapat dibaca pada tulisan berikut : 

Dalam momen kali ini, penulis mencoba mensarikan perubahan UU PPh yang masuk dalam rencana perubahan ke-5 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), semoga memberikan informasi yang bermanfaat. 

Rencana Perubahan UU PPh 

Dalam perubahan ke-5 UU KUP khususnya Pasal 44D bagian dari BAB IXA yaitu Ketentuan Terkait Undang-Undang Lainnya tentang perubahan ketentuan dalam UU PPh, perubahannya meliputi : 

a. Perubahan Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh 

Sebelum rencana perubahan ke-5 UU KUP 

“Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15”. 

Setelah rencana perubahan ke-5 UU KUP 

Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, meliputi : 

  • 1. makanan dan/atau minuman bagi seluruh pegawai;
  • 2. natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;
  • 3. natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan; atau
  • 4. natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan batasan nilai tertentu;

yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. 

Perspektif 

Berkaca dari tahun 2016 s.d. 2019 rata-rata biaya pengeluaran pajak (tax expenditure) PPh Orang Pribadi atas penghasilan dalam bentuk natura (benefit in kind) mencapai Rp. 5,1 triliun (pernyataan Sri Mulyani.red), hal ini sebagai dasar pengaturan kembali bentuk tunjangan yang melengkapi atau di luar upah/gaji normal (fringe benefit). Sehingga berdasarkan kondisi ini atas pemberian natura merupakan penghasilan bagi penerima dan menjadi biaya bagi pemberi kerja. 

Jika hal ini diberlakukan, maka pengertian ketentuan sebelumnya bahwa natura yang bukan merupakan objek pajak dan biaya yang dikeluarkan dalam bentuk natura tidak boleh dibebankan sebagai biaya (pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh) menjadi merupakan penghasilan (taxable) dan dapat dibebankan sebagai biaya (deductable). 

b. Perubahan Pasal 6 ayat (1) UU PPh 

Sebelum rencana perubahan ke-5 UU KUP 

Pasal 6 ayat (1) hanya sampai huruf m 

Setelah rencana perubahan ke-5 UU KUP 

penambahan huruf n, yaitu 

biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. 

Perspektif 

Hal ini berkaitan erat dengan perubahan perubahan pasal 4 ayat (3) huruf d, sehingga perlu pengaturan lebih lanjut karena banyak tunjangan disamarkan sebagai penggantian atau pengeluaran lain-lain sehingga memungkinkan karyawan untuk ‘melarikan diri’ dari kewajiban pajak mereka. 

c. Perubahan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh 

Sebelum rencana perubahan ke-5 UU KUP 

“penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”. 

Setelah rencana perubahan ke-5 UU KUP 

Dihapus 

Perspektif 

Akibat perubahan atas Natura (Fringe Benefit) maka prinsip dasar (taxable-deductible) yaitu  apabila suatu penghasilan dapat dipajaki bagi pihak yang menerimanya maka atas pengeluaran penghasilan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya oleh pihak yang mengeluarkannya. 

d. Perubahan Pasal 17 ayat (1), (2), (2b), dan (3) UU PPh 

Sebelum rencana perubahan ke-5 UU KUP

Ayat (1) 

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:

a. Orang Pribadi 

Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
0 s.d. Rp. 50.000.000,- 5%
diatas Rp. 50.000.000 s.d. Rp. 250.000.000,- 15%
di atas Rp. 250.000.000,- s.d. Rp. 500.000.000,- 25%
di atas  Rp. 500.000.000,- 30%

b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen). 

Ayat (2)  

Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

ayat (2a) 

Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010. 

ayat (2b) 

Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 

Setelah rencana perubahan ke-5 UU KUP 

Ayat (1) 

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi: 

a. Orang Pribadi 

Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
0 s.d. Rp. 50.000.000,- 5%
diatas Rp. 50.000.000 s.d. Rp. 250.000.000,- 15%
di atas Rp. 250.000.000,- s.d. Rp. 500.000.000,- 25%
di atas  Rp. 500.000.000,- s.d. Rp. 5 Milyar 30%
di atas Rp. 5.000.000.000,- 35%

b.  Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. 

ayat (2) 

Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

ayat (2a) 

Dihapus 

ayat (2b) 

Wajib Pajak badan dalam negeri : 

  • berbentuk perseroan terbuka;
  • dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40% (empat puluh persen); dan
  • memenuhi persyaratan tertentu, 

dapat memperoleh tarif sebesar 3% (tiga persen) lebih rendah dari tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. 

penambahan ayat (2e) 

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2b) huruf c diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 

Perspektif 

Perubahan tarif dan penggolongan (bracket) PPh Orang pribadi bisa dibaca dalam tulisan “mengenal tarif PPh Orang Pribadi dan Wacana Penyesuaian“. 

e. Perubahan Pasal 18 ayat (1), (3e), UU PPh 

Sebelum rencana perubahan ke-5 UU KUP 

ayat (1) 

Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini. 

ayat (3e) 

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 

Setelah rencana perubahan ke-5 UU KUP 

ayat (1) 

dihapus

ayat (3e) 

dihapus

penambahan ayat (1a), ayat (1b), ayat (1f) dan ayat (6) 

ayat (1a) 

Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang, dalam hal Wajib Pajak melakukan satu atau gabungan transaksi yang bertujuan: 

  1. mengurangi;
  2. menghindari; dan/atau
  3. menunda

 pembayaran pajak yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan. 

ayat (1b) 

Ketentuan mengenai penentuan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

ayat (3f)

Menteri Keuangan berwenang mengatur batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-Undang ini. 

ayat (6) 

Ketentuan lebih lanjut mengenai: 

  • a. penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
  • b. pelaksanaan perjanjian pembentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3a);
  • c. penetapan pihak yang sebenarnya melakukan pembelian saham atau aktiva melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company) sebagaimana dimaksud pada ayat (3b);
  • d. penetapan penjualan atan pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3c);
  • e. penentuan kembali besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3d); dan
  • f. kriteria hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (4),

 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 perspektif 

Penambahan ini sebagai instrumen pencegahan penghindaran pajak, merupakan landasan untuk melakukan koreksi apabila terdapat penghindaran, pengurangan, dan atau penundaan pembayaran pajak yang bertentangan dengan ketentuan. 

f. Penghapusan Pasal 31 E UU PPh

Sebelum rencana perubahan ke-5 UU KUP

ayat (1) “Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).”

ayat (2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.”

Setelah rencana perubahan ke-5 UU KUP

Dihapus

g. Penambahan Pasal 31F UU PPh

ayat (1)

Wajib Pajak badan yang pada suatu tahun pajak memiliki Pajak Penghasilan terutang berdasarkan Pasal 17 tidak melebihi 1% (satu persen) dari penghasilan bruto, dikenai Pajak Penghasilan minimum.

ayat (2)

Pajak Penghasilan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan tarif 1% (satu persen) dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto.

ayat (3)

Pajak Penghasilan minimum yang dihitung berdasarkan ayat (2) merupakan Pajak Penghasilan terutang pada tahun pajak dikenakannya Pajak Penghasilan minimum.

 

Loading…