Dalam sebuah media online (CNBC Indonesia, 25 Mei 2021) memberi judul “Gebrakan Sri Mulyani : Pajak Orang Kaya Naik jadi 35%.” terkesan sangat heroik dan luar biasa. Namun, sebenarnya berapa sih tarif PPh Orang Pribadi sejak Undang-Undang PPh pertama kali diberlakukan dan apa saja yang melatarbelakangi perubahan tarif tersebut.

Reformasi Perpajakan

Sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, aturan perpajakan selalu silih berganti sebagai upaya menyesuaikan dengan keadaan  dan keinginan rakyat sebagai suatu negara yang merdeka. Perubahan mendasar dimulai sejak UU Nomor 8 tahun 1967 tentang tata cara pemungutan pajak pendapatan, pajak kekayaan, dan pajak perseroan dimana sejak itu dikenal istilah Memungut Pajak Sendiri (MPS) dan Memungut Pajak Orang (MPO). MPS sekarang dikenal dengan self assessment system sementara MPO dikenal dengan withholding system

Reformasi pajak tahun 1983 merupakan upaya untuk mengubah berbagai peraturan sebelumnya secara fundamental, lebih spesifik dan berlandaskan pada falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana perean serta rakyat di bidang kenegaraan. 

Reformasi perpajakan pada tahun 1983 menghasilan Undang-Undang sebagai berikut : 

  • UU nomor 6 tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  • UU nomor 7 tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang Pajak Penghasilan
  • UU nomor 8 tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang PPN dan PPnBM

Dua tahun kemudian, kembali dikeluarkan Undang-Undang sebagai berikut : 

  • UU nomor 12 tahun 1985 tanggal 27 Desember 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  • UU nomor 13 tahun 1985 tanggal 27 Desember 1985 tentang Bea Meterai.

Sampai saat ini, hanya UU Nomor 13 tahun 1985 yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku yang diganti dengan UU Nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Meterai. 

Mengenal Tarif PPh Orang Pribadi 

Sebelum kita melihat berapa besaran tarif PPh Orang Pribadi sejak reformasi perpajakan 1983 diberlakukan, ada baiknya kita juga melihat ketentuan Pajak Penghasilan khususnya bagi Orang Pribadi sejak masa Ordonansi yang merupakan cikal bakal redormasi pajak 1983. 

A. Masa Ordonansi 

Sistem PPh 1920 

Cara perpajakan di zaman ini dikenal dengan asas unifikasi dimana pengenaan pajak tidak berdasarkan pada kebangsaan seseorang namun berlaku bagi semua penduduk baik pribumi maupun non pribumi serta berlaku bagi Orang Pribadi maupun Badan. Dalam sistem ini terdapat perbedaan tarif yang didasarkan domisili wajib pajak, serta juga menggunakan sistem worldwide income

PPh dikenakan atas penghasilan neto, dimana untuk menentukan penghasilan kena pajak menggunakan metode “kira-kira” atau taksiran jumlah penghasilan sebenarnya di tahun yang akan datang (perkiraan dilakukan pada awal tahun). Adapun tarif PPh Orang Pribadi bersifat progresid dari 1% hingga 25%, sedangkan tarif PPh Badan sebesar 6%. 

Sistem Pajak Perseroan 1925 

Pemberlakuan sistem Pajak Perseroan 1925 adalah hasil reformasi pajak yang dilakukan oleh Panitia Pajak Perseroan Hindia Belanda, yang mengubah beberapa ketentuan pada sistem PPh 1920. Perubahan meliputi : 

  • Untuk Badan dengan tarif proporsional sebesar 10%
  • Mengadopsi prinsip=prinsip akuntansi modern seperti taat asas, adanya metode penyusutan, dan penilaian aktiva.
  • Memperbaiki sistem worldwide income dengan memberi batasan jumlah hari untuk tetap disebut WPDN.
  • Terjadi beberapa kali perubahan tarif dimana tarif progresif dari 20% menjadi 45%. 

Sistem Pajak Pendapatan 1932 

Sistem ini merupakan reformasi ketentuan perpajakan 1920 yang diberlakukan bagi wajib pajak Orang Pribadi, dimana saat reformasi 1925 Wajib Pajak Orang pribadi masih ketinggalan sehingga WP OP tetap dikenai pajak dengan ketentuan PPh 1920. 

Pemberlakuan ketentuan PPh yang baru bagi WP OP ditandai dengan dikeluarkannya sistem Pajak Pendapatan 1932. Tidak banyak peruabhan perlakuan bagi WP OP hanya dalam sistem ini diperkenalkan asas sumber, jangka waktu untuk bisa disebut sebagai WPDN dan batasan PTKP. 

Sistem Pajak Upah 1935 

Sistem ini berlaku bagi Orang Pribadi yang memperoleh penghasilan dari berbagai sumber, dan diperkenalkan pajak penghasilan Orang Pribadi yang bekerja sebagai karyawan, dimana penerima penghasilan dipungut oleh pemberi kerja. 

Pajak Peralihan 1944 

Pasca kemerdekaan atas pajak-pajak tetap berlaku berdasarkan UUD 1945, Sistem Pajak Pendapatan 1932 diganti menjadi Pajak Perang 1944, perubahan nama dilakukan oleh NICA (Netherlands Indies-Civil Administration) dan berlaku di daerah-daerah yang diduduki NICA. 

Pajak Perang 1944 kemudian diubah menjadi Pajak Peralihan 1944. Pada dasarnya, Pajak Peralihan 1944 mengikuti Pajak Pendapatan 1932. Beberapa perubahan penjelasan tentang pembagian sumber penghasilan menjadi empat macam yaitu : 

  • penghasilan dari usaha dan pekerjaan
  • penghasilan dari barang bergerak,
  • penghasilan dari barang tidak bergerak dan
  • penghasilan dari pembayaran atas hak-hak. 

Serta perubahan lainnya adalah pengenaan pajak tidak lagi di awal tahun melainkan di akhir tahun dengan cara diterbitkan surast ketetapan pajak sementara. Pengenaan pajak ini dihitung dengan membandingkan pajak tahun sebelumnya, dari pajak tahun sebelumnya kemudian ditetapkan pajak untuk tahun berjalan secara sementara. 

Sistem Pajak Pendapatan 1944 

Ketentuan Pajak Pendpaoatan 1944 lahir pada tahun 1957, merupakan peleburan dari ketentuan Pajak Bumi, Pajak Peralihan 1944, dan Pajak Upah 1925. Maka sejak 1957 berlaku dua UU PPh yaitu Pajak Perseroan 1925 dan Pajak Pendapatan 1944. 

Pada ketentuan baru ini, sistem pembayaran pajak diubah yang semula ditetapkan menjadi mekanisme menghitung dan Membayar Pajak Sendiri (MPS) dan Memungut Pajak Orang Lain (MPO). Dasar pengenaan MPS adalah penjualan bruto atau penerimaan bruto atau jumlah lain yang ditetapkan. Tarif umum MPS adalah sebesar 1% dan tidak bersifat final artinya pembayaran pajaknya dapat diperhitungkan pada saat pelaporan pajak untuk seluruh tahun pajak. 

B. Masa Reformasi Perpajakan 

UU No 7 Tahun 1983 

Dalam pasal 17 disebutkan tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak, adalah : 

Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
0 s.d. Rp. 10.000.000,- 15%
diatas Rp. 10.000.000 s.d. Rp. 50.000.000,- 25%
di atas Rp. 50.000.000,- 35%

Penerapan tarif Orang Pribadi dengan Badan sama bertujuan untuk mengurangi pengalihan penghasilan dari Badan kepada Orang Pribadi atau sebaliknya, sebab pengalihan semacam itu tidak memberikan manfaat kepada Wajib Pajak. 

UU No 10 Tahun 1994 (Perubahan II) 

Terdapat perubahan, dalam pasal 17 disebutkan tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak, adalah : 

Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
0 s.d. Rp. 25.000.000,- 10%
diatas Rp. 25.000.000 s.d. Rp. 50.000.000,- 15%
di atas Rp. 50.000.000,- 30%

Penerapan tarif Orang Pribadi dengan Badan termasuk Bentuk Usaha Tetap, melalui Peraturan Pemerintah tarif tertinggi dapat diturunkan menjadi serendah-rendahnya 25%. 

UU No 17 Tahun 2000 (Perubahan III) 

UU perubahan ke III ini disahkan dan diundangkan tanggal 2 Agustus 2000, dan berlaku mulai tanggal 1 Januari 2001. Tarif dibedakan antara Orang Pribadi dan Badan, dimana tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi : 

a. Orang Pribadi 

Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
0 s.d. Rp. 25.000.000,- 5%
diatas Rp. 25.000.000 s.d. Rp. 50.000.000,- 10%
di atas Rp. 50.000.000,- s.d. Rp. 100.000.000,- 15%
di atas Rp. 100.000.000,- s.d. Rp. 200.000.000,- 25%
di atas Rp. 200.000.000,- 35%

b. Badan dan Bentuk Usaha Tetap 

Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
0 s.d. Rp. 50.000.000,- 10%
diatas Rp. 50.000.000 s.d. Rp. 100.000.000,- 15%
di atas Rp. 100.000.000,- 30%

Penerapan tarif Badan termasuk Bentuk Usaha Tetap, melalui Peraturan Pemerintah tarif tertinggi dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% dan besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.

UU No. 36 Tahun 2008 (Perubahan VI) 

UU perubahan ke IV ini disahkan dan diundangkan tanggal 23 September 2008, dan berlaku mulai tanggal 1 Januari 2009. Tarif dibedakan antara Orang Pribadi dan Badan, dimana tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi : 

a. Orang Pribadi 

Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
0 s.d. Rp. 50.000.000,- 5%
diatas Rp. 50.000.000 s.d. Rp. 250.000.000,- 15%
di atas Rp. 250.000.000,- s.d. Rp. 500.000.000,- 25%
di atas  Rp. 500.000.000,- 30%

Tarif tertinggi dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun, sampai dengan tulisan ini diturunkan terdapat pengenaan tarif berbeda untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dengan jumlah peredaran tertentu yaitu :

  • Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Adapun jumlah peredaran bruto tertentu adalah tidak melebihi Rp. 4,8 Milyar dalam satu tahun pajak.  Untuk Jumlah peredaran bruto tertentu ini dikenakan tarif 1%  dari peredaran bruto dan bersifat Final. (Periode berlaku 1 Juli 2013 s.d.  1 Juli 2018).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Adapun jumlah peredaran bruto tertentu adalah tidak melebihi Rp. 4,8 Milyar dalam satu tahun pajak.  Untuk Jumlah peredaran bruto tertentu ini dikenakan tarif 0.5%  dari peredaran bruto dan bersifat Final. (Periode berlaku 1 Juli 2018 s.d. dengan jangka waktu tertentu paling lama tujuh tahun).

b. Badan dan Bentuk Usaha Tetap

Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah 28%,  dan sejak tahun 2010 tarif menjadi 25 % yang diatur melalui Peraturan Pemerintah. Untuk tarif Badan yang berlaku dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :

  • (Periode 1 Januari 2009 s.d 31 Desember 2010) tarif 28 % (UU PPh)
  • (Peridoe 1 Januari 2010 s.d. 31 Desember 2019) tarif 25% (UU PPh)
  • (Periode 1 Januari 2020 s.d. 31 Desember 2021) tarif 22% (Perpu 1 tahun 2020 (UU No 2 Tahun 2020))
  • (Periode 1 Januari 2022 seterusnya) tarif 20% (Perpu 1 tahun 2020 (UU No 2 Tahun 2020))
  • Tarif Khusus WP DN  dapat memperoleh tarif 3% lebih rendah dari tarif sebagai mana diatur dalam Perpu 1 Tahun 2020 dengan syarat sebagai berikut :
    • berbentuk Perseroan Terbuka;
    • dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40%; dan
    • memenuhi syarat tertentu.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Adapun jumlah peredaran bruto tertentu adalah tidak melebihi Rp. 4,8 Milyar dalam satu tahun pajak.  Untuk Jumlah peredaran bruto tertentu ini dikenakan tarif 1%  dari peredaran bruto dan bersifat Final. (Periode berlaku 1 Juli 2013 s.d.  1 Juli 2018).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Adapun jumlah peredaran bruto tertentu adalah tidak melebihi Rp. 4,8 Milyar dalam satu tahun pajak.  Untuk Jumlah peredaran bruto tertentu ini dikenakan tarif 0.5%  dari peredaran bruto dan bersifat Final. (Periode berlaku 1 Juli 2018 s.d. dengan jangka waktu tertentu paling lama 3 tahun untuk PT dan 4 tahun untuk selain PT).

Wacana Kenaikan Tarif PPh OP

Adalah dokumen kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM-PPKF) 2022 dimana di dalamnya terdapat penambahan lapisan Penghasilan Kena Pajak (Tax Bracket) baru yaitu penghasilan lebih dari Rp. 5 Miliar/tahun dengan tarid sebesar 35%. Sehingga jika ini berlaku tanpa ada perubahan lapisan lain, maka tarif PPh OP akan menjadi sebagai berikut :

Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
0 s.d. Rp. 50.000.000,- 5%
diatas Rp. 50.000.000 s.d. Rp. 250.000.000,- 15%
di atas Rp. 250.000.000,- s.d. Rp. 500.000.000,- 25%
di atas  Rp. 500.000.000,- s.d. Rp. 5 Milyar 30%
di atas Rp. 5.000.000.000,- 35%

Harus diakui, walaupun tarif PPh Orang Pribadi sampai saat ini sesuai UU PPh (2009) belum mengalami perubahan signifikan, maka akan wajar jika ada wacana menaikan pajak untuk orang kaya yaitu dengan membuat lapisan sebagaimana amanah UU PPh yaitu pasal 17 ayat (3) dinyatakan besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan. Namun, perubahan UU perlu dilakukan karena otoritas Peraturan Pemerintah terkait dinamisasi tarif hanya sampai batas tertinggi tarif sebesar 30%. 

Beberapa pendapat menyatakan bahwa penyesuaian lapisan dan struktur tarif PPh OP memang harus dilakukan secara berkala dengan dua tujuan :

  • Mempertahankan progresivitas sistem pajak secara keseluruhan;
  • Mengoptimalkan penerimaan dengan memperhatikan perilaku ekonomi dan stabilitas pertumbuhan.

Melihat hal tersebut dan membandingkan kondisi Indonesia saat ini maka:

a. Inflasi

Inflasi adalah kondisi dimana harga-harga barang atau jasa mengalami kenaikan dalam periode tertentu secara terus menerus. Maka tarif pajak akan menyasar masyarakat Orang Pribadi  yang memiliki penghasilan rendah,  penyesuaian dibutuhkan untuk mengembalikan sifat progresif pajak dan prinsip keadilan bagi Orang Pribadi. Kondisi seperti ini sering dipraktekkan oleh beberapa negara seperti Italia, Korea Selatan, dan Turki.

b. Kemampuan Membayar

Sebagaimana kita ketahui penrtumbuhan penghasilan dari kalangan kaya ketimbang kelompok masyarakat lain, ketimpangan ini sangat tajam terjadi oleh karena itu, upaya optimalisasi penerimaan pajak sangat diperlukan khususnya kepada kelompok masyarakat yang paling banyak menerima bagian dari total pendapatan masyarakat.

Penutup

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka wacana kenaikan lapisan dan tarif bagi Orang Pribadi bukanlahlah suatu gebrakan apalagi ditujukan kepada kemampuan seorang individu yang nyata-nyata bagian dari tanggungjawab amanah yang diberikan, walaupun bukan juga suatu kemunduran, melainkan sesuatu yang perlu disikapi melihat kondisi penerimaan negara dibandingkan pengeluaran negara dalam kemandirian suatu bangsa.

Akhirnya kembali kepada satu kesimpulan, seberapa besar dan kecil pun tarif yang diberlakukan khususnya Pajak Penghasilan Orang Pribadi, apakah kepatuhan perpajakannya sudah baik. Jangan sampai yang disasar adalah orang itu-itu juga, mengingat kuantitas Orang pribadi yang sudah memiliki NPWP dan aktif (penghasilan diatas PTKP) cukup besar, bahkan suara masyarakat menyatakan diluar sana masih banyak orang yang penghasilan di atas PTKP namun belum pernah melakukan pembayaran pajak. Dan secara khusus pembenahan administrasi pemajakan atas orang kaya (High Net-Worth Individual) melalui data yang terintegrasi. Maka sudah selayaknya, negara dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak memaksimalkan tugas inklusi, diseminasi, sosialisasi perpajakan secara masif dan terstruktur melalui tenaga fungsional penyuluh pajak yang telah dibentuk sebagaimana amanah dari  Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 49 tahun 2020 tentang jabatan fungsional penyuluh pajak.

Artikel Terkait :