Akhirnya dipenghujung September ini tepatnya tanggal 29 September 2012, saya, istri dan 3 (tiga) jagoanku merealisasikan untuk mengunjungi salah satu lokasi tempat bersejarah di kota Jakarta yaitu Museum Fatahillah. Tujuan utama kami adalah rekreasi murah dan mengenalkan tempat bersejarah kepada ketiga anak-anakku yang sedang dicecar berbagai informasi dan ilmu dalam benak mereka untuk bekal menghadapi hari-hari depan mereka. Dalam kunjungan ini start Pukul 07:30 WIB dari Istana kami di  Karawang kami menuju Stasiun Kereta Api di bekasi menggunakan Kia Carens II yang selalu setia menemani kami, sengaja kami untuk naik kereta karena disamping praktis dan kebetulan mobil ini butuh sedikit perbaikan jadi sekalian masuk bengkel dulu yang kebetulan dekat dengan stasiun, sementara kami tetap bisa memulai petualangan.

Stasiun Bekasi

Walau menurut saya stasiun ini sangat memiliki kemampuan yang lebih baik dan indah namun keadaan sekarang cukup baik dan nyaman keadaan stasiunnya. Apalagi sejak Maret  2012 kereta api jarak jauh tidak berhenti di tempat ini. Sekarang stasiun ini hanya melayani KRL Commuter Line, dan KRL Ekonomi tujuan Stasiun Jakarta Kota via  Stasiun Manggarai,dan Kereta api patas Purwakarta tujuan Satsiun Cikampek sampai dengan  Stasiun Purwakarta.

Kami membeli 5 (lima) tiket dengan harga per tiket hanya Rp. 6.500,- dengan tujuan Stasiun Kota. Ssssst…. Naik Commuter Line adalah yang kali pertama buat saya :D,  sayangnya walau tidak terlalu penuh sesak namun kami harus berdiri, suasana di dalam sangat nyaman dan sejuk apalagi etika penumpang sangat baik hal ini terbukti salah satu penumpang pria mempersilahkan saya (bukan istri saya :D) untuk duduk mungkin karena dia melihat saya menggendong anak saya Pramudya Roderic Pakpahan (3 tahun). Berdiri tidak terlalu lama karena  begitu distasiun Jatinegara  banyak para penumpang yang keluar.

Stasiun Kota

Dengan lama perjalanan yang hanya kurang lebih 40 Menit, kami tiba di Stasiun Kota dan kereta berhenti persis diujung jalur. Ada nuansa sedikit berbeda dengan stasiun ini, yang secara jujur juga, ini kali yang pertama saya berada didalam staisun :D.

Stasiun ini dikenal dengan nama Stasiun Beos (Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij /Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur) adalah stasiun kereta api yang berusia cukup tua di Kelurahan Pinangsia, Kota Tua Jakarta dan ditetapkan oleh Pemerintah Kota sebagai cagar budaya. Stasiun ini adalah satu dari sedikit stasiun di Indonesia yang bertipe terminus (perjalanan akhir), yang tidak memiliki kelanjutan jalur.

Stasiun ini dibangun tahun 1870, dan ditutup tahun 1926 untuk direnovasi seperti sekarang ini. Direnovasi dengan seorang arsitek Belanda kelahiran Tulungagung yang bernama Frans Johan Louwrens Ghijsels dan selesai serta dipergunakan sejak tanggal 8 Oktober 1929 oleh Gubernur Jendral jhr. A.C.D. de Graeff yang berkuasa di Hindia Belanda pada 1926-1931.

Perjalanan Menuju TKP

Dengan bermodalkan petunjuk dan informasi yang ada kami berjalan kaki menuju Museum Fatahillah, dan perjalanan ini sangat mengasyikan karena hanya berjarak kurang lebih 300m dari Stasiun kota. Dengan menelusuri sebuah terowongan yang cukup apik dan keberadaan tukang ngamen yang modern di dalamnya, lumayan juga pegelnya saya jalan karena harus menggendong Pramudya :(. Saat memasuki kawasan museum kami disambut dengan sajian mobil antik dan para penjual yang tertata rapi.

Saat sampai di lapangan Museum kami disambut oleh Jasa Ojek Sepeda, awalnya ogut bingung mau ngapain… oh ternyata setelah dijelaskan bahwa jika kita menyewa dan mengendarai sendiri sepeda Rp. 20.000,- kalau dibonceng oleh pemandu Rp. 30.000,- lengkap dengan topi gaya Mener Belandanya pula :D. Onthel Wisata Kota Tua ini mengantarkan ke tempat-tempat yang bernilai sejarah dengan urutan yang kami jalani yaitu Ke Toko Merah, Jembatan Kota Intan, Museum Bahari, Menara Syah Bandar dan Pelabuhan Sunda Kelapa. Akhirnya kami memutuskan 2 Sepeda, istri saya dan Pram dibonceng Pemandu, dan saya naik sepeda doubel yang dikayuh oleh saya dan anak tertua saya Reyhan Audric (10th), sementara Mario Theodoric (8th) duduk kursi penumpang.  Dan alangkah kagetnya karena untuk menuju tempat-tempat tersebut kamu harus menelusuri jalan umum yang padat kendaraan, untung anak-anak tidak pakai sepeda sendiri.

Toko Merah

Setelah cukup lelah mengayuh sepeda double dan mengikuti kecepatan pemandu akhirnya kami tiba disebuah bangunan yang serba merah, yang bernama Toko Merah. Tanpa ditanya sang pemandu menceritakan sejarah Toko Merah, diawali dengan cerita saat dipugar ditemukan banyak tengkorak dan gedung yang memiliki arsitektur perpaduan budaya negeri Belanda dan China itu. Persis pada tahun 1740, di depan gedung pernah terjadi peristiwa kelam. Huru hara suram pernah terjadi. Dan, yang menjadi korban adalah orang-orang Tionghoa yang dibantai habis-habisan. Peristiwa miris bagi siapa pun.
… entah kenapa anak-anakku kok enggan masuk kedalamnya dan hal yang sama istriku juga hanya celinguk-celinguk aja melihat dari luar… akhirnya saya masuk kedalam hanya liat-liat sebentar.

Gedung ini dibangun pada tahun 1730 (abad ke 18), pernah menjadi tempat tinggal Gustaf Baron Von Imhoff (1705-1743) Sang reformis yang kerap memiliki ide-ide  fenomenal itu adalah salah seorang pendiri gedungnya.  Selain itu pernah digunakan sebagai : Akademi Angkatan Laut (1743-1755), Guest House para pejabat (1787-1808). Sebelum Perang Dunia II diperbaiki oleh Bank Voor Indie yang kemudian berkantor disini. Bangunan ini semula bernama Hoofd Kantoor Jacobson (P.N. Setia Negara). Nama Toko Merah didasarkan pada warna interior dari bangunan tersebut yang berwarna merah. Bangunan ini terdiri dari 2 (dua) gedung.  Sempat beberapa kali berpindah kepemilikan antara lain :

  • Anak Gubernur Jenderal Jacob Mossel yang bernana Phillippene Theodore Mossel.
  • Janda Gubernur Jenderal P.A. Van der Parra.
  • Reynier de klerk.
  • Dimiliki oleh P.T. Dharma Niaga Ltd. (1977 s.d 2003).
  • Sampai pada  akhirnya gedung diambil alih oleh PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero).

Jembatan Kota Intan

Hanya mengayuh  sekitar  kurang lebih 15 menit (Lama berhenti karena susah nyebrangnya) tibalah kami di sebuah jembatan yang bernama Jembatan Kota Intan. Dengan sigap tanpa bertanya pula sang pemandu bercerita kembali.. begini ceritanya :

Jembatan tersebut dibangun pada tahun 1628, dengan nama Engelse Brug (Jembatan Inggris), karena dibuat untuk menghubungkan antara kastil Belanda (VOC) dan kastil Inggris (EIC) yang wilayahnya dipisahkan oleh Kali Besar. Tahun 1629, jembatan ini rusak akibat serangan Sultan Agung ke Batavia pada tahun 1629. Baru 26 tahun kemudian jembatan ini diperbaiki, dan diberi nama Het Middelpunt Brug atau Jembatan Pusat. Namun masyarakat lebih mengenalnya sebagai Hoender Pasar Brug (Jembatan Pasar Ayam), karena di tempat ini sering dilakukan transaksi jual beli ayam. Tahun 1938, jembatan ini diperbaiki kembali dan diberi nama Ophaalsburg Juliana (Jembatan Ratu Juliana).

Di masa kemerdekaan, jembatan ini diberi nama resmi Jembatan Kota Intan, karena di kawasan ini pernah berdiri bastion (menara pertahanan) Kastil Batavia yang bernama diamant (intan). Bastion ini adalah salah satu dari 4 bastion Kastil Batavia, masing-masing bernama diamant (intan), robijn (batu delima), de parel (mutiara), dan safier (batu nilam). Kala itu Kastil Batavia merupakan pusat kegiatan dagang VOC di Asia, dan menjadi cikal bakal Kota Batavia Lama. Saat ini tidak terdapat lagi sisa bangunan kastil tersebut, karena sudah dimusnahkan Gubernur Jendral Daendels saat memindahkan pusat pemerintahan kolonial Belanda ke Weltevreden (sekarang wilayah sekitar Monas) di tahun 1808, sehingga jembatan ini menjadi satu-satunya saksi keberadaan kastil tersebut di masa lalu.

Jembatan Kota Intan memiliki panjang 38,6 meter dengan lebar 4 meter, dan membentang di atas Kali Besar sepanjang 27,75 meter. Di masa lalu, Kali Besar merupakan bagian dari jaringan kanal yang menghubungkan pelabuhan Sunda Kelapa dengan Kota Batavia Lama, sehingga jembatan ini dilengkapi pengungkit untuk menaikkan badan jembatan setiap kali ada kapal yang akan lewat. Namun saat ini karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan, sistem pengungkit tersebut tidak dipergunakan lagi. Kondisi jembatan saat kami kunjungi cukup baik dan kuat karena menurut pemandu baru selesai diperbaiki. Untuk biaya disini tidak ada hanya memberikan sekedarnya kepada seorang yang katanya merawat tempat itu.

Museum Bahari , Menara Syahbandar dan Pelabuhan Sunda Kelapa

Sekitar kurang lebih 15 menit dari Jembatan Kota Intan, kami tiba di Museum Bahari. Walau sedikit terlewat karena dengan percaya diri saya melambung sepeda Onthel Pemandu :D. Kesan yang saya lihat adalah museum ini bersih namun bangunan sepertinya sudah tidak kokoh lagi. Seperti sebelum-sebelumnya pemandu bercerita dengan semangatnya atas bagian2 didalamnya begini ceritanya :

Bangunan berlantai tiga ini didirikan tahun 1652 oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Batavia. Tepatnya di jalan Pasar Ikan Jakarta Utara, menghadap Teluk Jakarta. Disebelah kanan tak jauh dari gudang induk dibangun menara. Sekarang dikenal dengan nama Menara Syahbandar dibangun tahun 1839 untuk proses administrasi keluar masuknya kapal sekaligus sebagai pusat pengawasan lautan dan daratan sekitar.

Museum ini diresmikan menjadi Museum Bahari pada 7 Juli 1977 oleh Ali Sadikin, Di antara materi sejarah bahari yang dipajang antara lain perahu tradisi asli Lancang Kuning (Riau), Perahu Phinisi Bugis (Sulawesi Selatan), Jukung Karere (Irian) berukuran panjang 11 meter. Miniatur Kapal VOC Batavia, miniatur kapal latih Dewa Ruci, biota laut, foto-foto dan sebagainya.

Pemandu mengatakan ada satu perahu tradisional dari papua yang terbuat dari satu pohon, serta menceritakan cara pembuatan perahu. Tak lupa beliau mempersilahkan anak-anakku untuk berfoto terutama di atas sebuah ikan duyung yang diawetkan.

Sayangnya kami tidak bisa mampir ke Menara Syahbandar karena sedang dipugar, sehingga kami lanjut menyusuri Pelabuhan Sunda Kelapa yang sedang sibuk dan padat saat kami lalui dan kembali ke tempat tujuan utama yaitu Museum Fatahillah.

Untuk masuk ke Museum Bahari dikenakan biaya Rp. 2.000,- rupiah untuk dewasa dan Rp. 600 untuk anak-anak.

Museum Fatahillah

Setelah kurang lebih 1, 5 jam berkeliling dengan sepeda bersama pemandu tibalah kami di Museum Fatahillah. Kami pun mengakhiri kontrak dengan sang pemandu dengan tidak lupa mengucapkan terima kasih dan sedikit tips diluar biaya yang sudah disepakati :D.

Karena waktu sudah menunjukan pukul 11:45 WIB dan rasa lapar terasa kamipun mampir ditempat penjual makanan yang banyak disekitar museum. Dan sempat tersenyum ketika ada pengamen (bukan orang papua) yang menyanyikan lagu-lagu papua serta atribut papua, hal ini mengingatkan pertemuan saya dengan istri saat dinas di Kota Sorong Papua 13 tahun yang lalu, tapi tetap aja istri saya ngasihnya cuman Rp. 2000,- kepada itu pengamen :D… (sa maitua memang, skakar skali ooo kasih goceng kaah…)

Museum ini sangat terkesan buat saya pribadi, karena terakhir saya kunjungi adalah saat seusia anak tertua saya :D. Teringat dulu saat sekolah saya mengunjungi tempat ini, segar terbayang ketika saya sibuk menulis-nulis setiap pemandu bercerita tentang sejarah meriam, penjara bawah tanah dan lain-lain… hmmm… 🙂

Baiklah karena tanpa pemandu saya ceritakan sedikit tentang sejarah museum ini yang saya copas dari dari blog museumindonesia.com  begini isinya :

Museum Sejarah Jakarta yang terletak di Taman Fatahillah No. 1 Jakarta Barat merupakan sebuah lembaga museum yang memiliki sejarah cukup panjang yang memiliki perbendaharaan koleksi mencapai jumlah lebih dari 23.000 buah.

Museum Sejarah Jakarta pada mulanya digunakan sebagai gedung Balaikota (Stadhuis). Gedung ini merupakan gedung Balaikota kedua yang dibangun pada masa pemerintahan VOC di Batavia. Pada tanggal 27 April 1626, Gubernur Jenderal Pieter de Carpentier (1623-1627) memutuskan untuk menbangun gedung balaikota yang baru ini kemudian direnovasi pada tanggal 25 Januari 1707 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn dan selesai direnovasi pada tanggal 10 Juli 1710 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck. Selain sebagai Balaikota, gedung ini juga berfungsi sebagai Pengadilan, Kantor Catatan Sipil, tempat warga beribadah di hari Minggu, dan Dewan Kotapraja (College van Scheppen). Pada tahun 1925-1942 gedung ini juga dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pada tahun 1942-1945 dipakai untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Tahun 1952 dipakai sebagai Markas Komando Militer Kota (KMK) I yang kemudian menjadi Kodim 0503 Jakarta Barat. Setelah itu pada tahun 1968 gedung ini diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta dan kemudian dijadikan sebagai Museum pada tahun 1974.

Sekali lagi sayang karena kami tidak dapat mengunjungi doncker gat atau lubang gelap karena sedang dilakukan perbaikan, begitu menurut pedagang yang berada di dalam gedung di dekat sumur tua. Akhirnya kami hanya bisa memasuki penjara-penjara  yang berada halaman belakang dengan ditemani bola-bola besi yang  yang biasanya diikat ke pergelangan kaki para tahanan.

Salah satu tawanan yang pernah ditawan di penjara tersebut adalah Untung Suropati, seorang budak belian pedagang Pieter Cnoll. Ia adalah salah satu dari sedikit orang yang berhasil meloloskan diri dari penjara ini pada sekitar tahun 1670. Kemudian ia memberontak dan melawan orang belanda. Juga terlibat dalam pembunuhan Captain Tack pada tahun 1686 di Kraton Kartosuro. Kemudian ia mempertahankan diri di kerajaan kecil di daerah pasuruan hingga akhir hayatnya tahun 1706.

Setelah puas mengunjungi beberapa lokasi di dalam museum kami pun berjalan-jalan di taman fatahillah, dimana terdapat acara seni kuda lumping, badut sponge bob, dan patung manusia batu.

Setelah puas kami pun berencana pulang, namun tepat di depan Bank Indonesia entah ide dari mana istri saya menukar uang kepada inang-inang, uang baru Rp. 100.000,- ditukar dengan Rp. 105.000,- :D, sambil bercerita waduh pah..  itu didalam tasnya inang itu uang semua apa dia nggak takut ya?.

Museum Bank Mandiri

Tanpa sengaja karena letih menggendong Si Pram saya kami istirahat tepat di depan sebuah gedung, saya melihat dan berfikir  apa di dalamnya ya? dan secara spontan satpam yang berjaga mempersilahkan kami masuk dan gratis. Ternyata tempat itu adalah Museum Bank Mandiri. Kami masuk kedalamnya dan menambah kekaguman saya akan sebuah institusi perbankan. Karena di dalamnya terdapat semua hal yang berhubungan dengan bank, semuanya deh.

Gedung Museum Bank Mandiri (ex-Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM)) dirancang oleh 3 orang arsitek belanda yaitu J.J.J de Bruyn, A.P.Smits dan C. Yan De Linde. Gedung ini mulai dibangun tahun 1929 dan pada tanggal 14 Januari 1933dibuka secara resmi Oleh C.J Karel Van Aalst, Presiden NHM ke-10. Gedung ex-NHM ini tampak kokoh dan megah dengan arsitektur Niew Zakelijk atau Art Deco Klasik

Museum ini memiliki lahan seluas 10.039 m2 dengan luas bangunan keseluruhan 21.509m2,  awalnya merupakan gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda tapi kemudian berkembang menjadi perusahaan perbankan. NHM ini menjadi salah satu cikal bakal bank ABN Amro. Gedung ini dirancang oleh arsitek dari Belanda, yaitu J.J.J. de Bruyn, A.P. Smits, dan C. Van de Linde. NHM dinasionalisasi pada tahun 1960 dan gedung ini menjadi salah satu gedung kantor Bank Koperasi Tani & Nelayan (BKTN) Urusan Ekspor Impor. Kemudian beralih menjadi kantor pusat Bank Export import (Bank Exim) pada 31 Desember 1968, dan akhirnya Bank Exim, Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilebur menjadi Bank Mandiri pada tahun 1999.

Kunjungan ini adalah tempat terakhir dalam acara kami dalam rangka mengenalkan tempat-tempat bersejarah dengan biaya murah untuk kami sendiri dan anak-anak :). Tak lupa kami mengucap syukur pada kasih-Nya karena perjalanan kami tanpa ada halangan dan kendala apapun.

Dalam perjalanan pulang di KRL Commuter Line, saya bertanya kepada anak-anak tentang kesan mereka atas kunjungan ini, Reyhan menjawab dengan pertanyaan… pah kapan kita mengunjungi Museum Satria Mandala? :D, Mario menjawab… iya pah kapan? hanya Pram yang menjawab… aku senang pah….. 😀

(Untuk berikutnya sesuai janji kami dengan anak-anak, kami akan mengatur jadwal ke Museum Satria Mandala…. kita ketemuan di sana yoook).