Pertemuan antara Nikodemus dan Tuhan Yesus merupakan perwakilan pertemuan antara agama dan keselamatan. Manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa selalu beranggapan bahwa kalau aku sudah menjalankan syariat agama, Tuhan pasti akan berkenan kepada aku. Jika aku selalu berbuat baik seumur hidupku, pasti aku akan masuk ke sorga. Kerangka pikir religius seperti ini membuat hati nurani manusia masih dapat berfungsi dengan baik, berupaya membenahi diri, mencapai standar yang ditetapkan oleh agamanya, dan membuat jiwanya merasa tenang karena berharap Tuhan akan menerimanya.

Orang Kristen sering kali menghina orang Farisi, padahal hidupnya belum tentu lebih saleh dari orang Farisi. Mereka adalah para pemimpin agama yang bukan hanya mempelajari agama, tetapi juga menjalankan Taurat Musa secara giat. Mereka berdoa, tidak berzinah, tidak menipu uang orang, memberi perpuluhan, dan berpuasa dua kali seminggu. Banyak orang Kristen tidak berbuat seserius mereka. Masalahnya, apakah orang yang sesaleh itu dapat diperkenan Allah? Tidak!

Allah membuang orang-orang Farisi dengan alasan yang Tuhan Yesus nyatakan dengan keras, “Celaka engkau orang Farisi dan ahli Taurat yang munafik.” Tentu tidak semua orang Farisi munafik, masih ada orang-orang yang hati nuraninya masih bekerja. Kita melihat ada Nikodemus yang datang menemui Tuhan Yesus dengan begitu rendah hati. Sebaliknya Tuhan Yesus tidak menerimanya dengan ramah, malah dengan tegas berkata bahwa jika ia tidak diperanakkan pula, ia tidak akan melihat Kerajaan Allah. Artinya, orang yang demikian kerohaniannya buta. Ia juga berkata, “Jika engkau tidak diperanakkan pula oleh air dan Roh Kudus, engkau tidak masuk Kerajaan Allah. Angin bertiup seturut kemauannya… demikian pula orang yang diperanakkan pula oleh Roh Kudus.”

Nikodemus benar-benar tidak bisa mengerti. Ia berpikir bagaimana dia yang sudah begitu tua bisa masuk kembali ke rahim ibunya untuk bisa diperanakkan pula. Tuhan Yesus bukan memberikan jawaban, tetapi malah menegur lagi, “Engkau adalah guru orang Israel, mengapa engkau tidak mengetahui hal ini?” Ini suatu tamparan keras bagi Nikodemus. Tuhan Yesus tidak menghargai posisi dan kapasitasnya sebagai guru. Bagaimana orang yang tidak mengerti pedagogi berani menjadi guru, orang yang tidak mengerti firman dan kehendak Tuhan berani menjadi pendeta? Inilah tantangan Tuhan Yesus. Kemudian Tuhan Yesus bicara tentang perbedaan hal duniawi dan sorgawi.

Manusia pada umumnya begitu egois dan tidak mau sinkron dengan kehendak Tuhan. Maka Tuhan Yesus berkata, “Aku berbicara tentang hal duniawi saja engkau tidak mau percaya, bagaimana Aku berbicara tentang hal sorgawi?” Di sini Yesus memilah hal duniawi dan sorgawi. Dan memang, baik orang Kristen ataupun non-Kristen, yang hanya memikirkan hal duniawi, walaupun kelihatan secara luar begitu sorgawi, sama sekali tidak ada gunanya. Hanya orang yang hatinya sungguh-sungguh memikirkan perkara sorgawi, baru hidupnya berbeda dengan orang dunia. Ia akan menjauhkan diri dari perbuatan jahat dan pikiran yang najis, dan hanya ingin memperkenan Tuhan di sorga.

Yesus mengakhiri dialog-Nya dengan dua pernyataan yang mengejutkan. Pertama, tidak ada orang yang pernah naik ke sorga. Seolah pernyataan ini mengabaikan fakta Henokh dan Elia yang naik ke sorga. Mengapa Yesus berkata, “Tidak ada orang yang pernah ke sorga, kecuali Anak Manusia yang turun dari sorga dan tetap ada di sorga”? Sebenarnya pernyataan Yesus mengoreksi konsep yang salah di dalam agama. Henokh dan Elia memang naik ke sorga, tetapi mereka hanya sampai di wilayah yang dapat dicapai oleh manusia, bukan tempat asal Yesus, tempat Mahatinggi itu. Hal ini tidak menunjukkan bahwa Yesus adalah orang yang paling rohani di antara semua orang rohani, tetapi Dia adalah Allah yang datang dari tempat Mahatinggi. Alkitab dengan ini mengindikasikan tiga tingkatan pengertian yang diwakili oleh kata “langit”, yaitu lapisan pertama tempat yang kita kenal sebagai langit bumi kita, atau alam semesta ini; lapisan kedua tempat rohani yang Tuhan siapkan bagi manusia ciptaan-Nya; dan lapisan ketiga adalah tempat Mahatinggi di mana Allah bertakhta. Tempat ini tidak dimengerti oleh agama, namun sebenarnya sudah tersirat di Perjanjian Lama.

Di dalam doa Salomo, ia sudah menyebutkan tentang “langit dan langit di atas langit” yang mengungkapkan adanya dua lapisan langit. Tetapi di dalam ayat ini ditegaskan bahwa kedua lapisan langit itu tidak memadai untuk menjadi tempat tinggal Allah. Allah tinggal di tempat yang tertinggi, di atas kedua lapisan yang kita tahu. Namun, ketika orang yang sombong mendengar pernyataan Tuhan Yesus ini, pasti akan menyerang Dia. Itu sebabnya, pengajaran Tuhan Yesus diberikan kepada orang-orang yang mau belajar dengan rendah hati, bukan orang yang menganggap diri sudah tahu.

Kita melihat bahwa bagi Paulus, orang boleh saja menganggap diri sudah tahu, namun sesungguhnya, jika diukur dengan apa yang seharusnya dia tahu, ternyata dia belum tahu apa-apa. Inilah epistemologi yang paling tinggi di dalam tatanan filsafat. Tidak ada filsafat lain yang bisa berkata demikian. Pernyataan Paulus mengingatkan kita bahwa pengetahuan kita sangat terbatas. Pengetahuan Allah jauh tidak terbatas. Artinya, masih banyak hal yang kita tidak tahu. Itu sebabnya, saya merasa prihatin terhadap orang-orang yang belum belajar apa-apa sudah berani menyampaikan khotbah yang tidak bertanggung jawab.

Kedua, ular tembaga yang ditinggikan Musa di padang belantara adalah lambang Anak Manusia yang juga akan ditinggikan. Ini mengisyaratkan bahwa kedatangan-Nya ke dunia adalah untuk mati. Itu sebabnya Allah berinkarnasi dengan memakai tubuh manusia yang bisa mati. Allah Pencipta alam semesta rela mengenakan tubuh yang berdarah daging karena kasih-Nya kepada manusia. Inilah kasih sejati. Kasih yang bukan mencari kesenangan diri atau keuntungan diri, melainkan kasih yang rela berkorban, turun ke bawah, membatas diri di dalam keterbatasan ciptaan, menyatu dengan yang lebih rendah dari-Nya.

Setelah itu, Tuhan Yesus mengakhiri dialog-Nya dengan Nikodemus. Ini adalah pertemuan pertama dan satu-satunya, dan hanya dicatat di dalam Yohanes 3 saja. Oleh karena itu, kita sangat bersyukur kepada Tuhan, karena tanpa catatan Yohanes, kita tidak pernah tahu adanya dialog penting ini. Memang kita tidak tahu berapa lama Nikodemus berdialog dengan Tuhan Yesus, namun kita tahu pasti bahwa ia kebingungan karena tidak ada titik temu dalam dialog itu. Sepertinya, Yesus tidak menghargai dia. Yesus terus mengingatkan untuk dilahirkan kembali dan berbicara tentang bagaimana Anak Manusia akan ditinggikan bagaikan ular tembaga yang menjadi penolong bagi orang-orang yang dipagut ular berbisa. Secara tampak luar sama ular, tetapi esensinya berbeda, yang satu ular berbisa yang mematikan, sementara ular tembaga tidak berbisa dan menghidupkan. Demikian pula manusia, ketika dicipta menurut gambar dan rupa Allah, Yesus ketika berinkarnasi mengambil rupa manusia. Sekalipun secara tampak luar sama, tetapi secara   berbeda, manusia berdosa, Yesus tidak berdosa. Hanya dengan cara itu Kristus bisa menggantikan orang berdosa mati di kayu salib dan menyelamatkan orang yang percaya kepada-Nya, sementara yang tidak mau percaya telah binasa.

Inti pembicaraan Tuhan Yesus dengan Nikodemus sebenarnya adalah bahwa Yesus menyatakan bahwa sekalipun Nikodemus telah berusaha berbuat baik, mencoba menunaikan Taurat, tetap ia tidak akan bisa selamat. Ini bagai orang yang digigit ular berbisa. Ia tetap akan mati. Itu tidak ada hubungan dengan perbuatan orang itu. Kecuali ia memandang ular tembaga, maka ia baru bisa diluputkan dari maut. Demikian pula orang berdosa harus percaya kepada Yesus barulah ia tidak binasa. Jadi orang percaya tidak binasa bukan karena Tuhan memberi dia perlindungan khusus, melainkan karena Kristus telah mati menggantikan dia yang berdosa. Dengan kata lain, keselamatan bukan karena Taurat, melainkan karena anugerah. Bagi saya, pertemuan Yesus dan Nikodemus adalah pertemuan antara Taurat dan keselamatan, peralihan dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru. Oleh karena itu, kita perlu berseru kepada Tuhan Yesus, “Tuhan, aku tidak dapat menyelamatkan diriku sendiri, karena dosa bagaikan bisa yang menjalar dalam tubuhku membawaku kepada kematian. Aku hanya memandang kepada-Mu yang sudah mati menggantikanku, kalau tidak aku pasti binasa.”

Saya percaya malam itu Nikodemus pulang dan terus bertanya-tanya mengapa sampai setua itu dia baru tahu bahwa Taurat yang selama ini dia pelajari ternyata tidak terhitung apa-apa di mata Anak Allah yang berinkarnasi. Dia harus bergumul bagaimana bisa memutarbalikkan konsep yang selama ini dia pegang. Ada banyak orang yang selama ini memegang kepercayaan yang lain, ketika mendengar berita Injil tentang Yesus dan karya-Nya, mereka menjadi bingung bagaimana harus mengubah semuanya yang selama ini telah dia pegang, lalu masuk kepada kebenaran Tuhan yang terang. Nikodemus memikirkan hal ini mendalam tanpa berani mendiskusikannya dengan orang Farisi yang lain. Beberapa tahun kemudian dia memutuskan untuk percaya kepada Yesus dan akhirnya dikucilkan. Ia hidup miskin dengan mencari ranting dan menjualnya untuk mempertahankan hidup. Sangat berbeda dengan ajaran Theologi Kemakmuran yang mengatakan bahwa percaya Yesus hidupnya akan lancar dan menjadi kaya. Seperti Paulus, Nikodemus juga meyakini bahwa pengenalan akan Kristus jauh lebih mulia dan berharga dibandingkan dengan seluruh kekayaan dunia. Allah memperkenankan pertemuan ini dicatat di dalam Kitab Suci untuk dibaca dan dibahas dari zaman ke zaman.

Setelah dialog berakhir, Rasul Yohanes menyimpulkan dengan satu kalimat di ayat 16, yang menyatakan bahwa keselamatan bukan melalui perbuatan baik, melainkan karena percaya kepada Yesus. Inilah awal dari pengertian kehendak Allah di dalam Perjanjian Baru. Ayat ini merupakan ayat yang sangat penting dan merupakan salah satu mutiara yang paling digemari dan dihafal oleh orang Kristen dari zaman ke zaman.

Penjelasan berlanjut ke ayat 17, tentang apa itu Injil. Yesus datang ke dunia bukan untuk menghakimi melainkan untuk menyelamatkan. Ada orang yang tidak pernah mau mengerti jerih lelah orang lain dan cenderung selalu mengkritik atau menghakimi orang lain untuk menunjukkan kehebatan dirinya. Yesus datang bukan untuk menghakimi. Ia datang untuk menyelamatkan. Tetapi, bukankah Yesus juga menghakimi para pemimpin agama dan menghakimi Herodes? Di sini kita harus melihat bahwa Yesus menghakimi kepura-puraan dan ketidakjujuran mereka, bukan menjelekkan mereka.

Kita harus membedakan antara teguran yang jujur dan penghakiman yang bermotivasi merusak. Kita bisa mengoreksi orang, tetapi bukan berdasarkan kebencian atau iri hati. Iri hati sering kali merupakan ekspresi dari egoisme, keinginan menonjolkan diri, dan menunjukkan diri hebat. Kita harus belajar memelihara hubungan yang baik dengan orang lain. Ingat, Tuhan Yesus datang bukan untuk menghakimi, melainkan menyelamatkan. Ketika Tuhan Yesus melihat manusia jatuh ke dalam dosa, Dia tidak berkata, “Sudah berdosa, biar binasa saja sekalian.” Tetapi Ia berkata, “Dia masih bisa diperbaiki, Aku akan datang menyelamatkan orang berdosa ini.” Inilah pikiran positif, sebuah sikap mau berkorban demi membenahi dan memperbaiki orang lain.

Beberapa puluh tahun lalu saya pernah mendengar orang berkomentar, “Orang itu suka membeli mobil jelek, lalu memperbaikinya menjadi mobil yang enak dipakai. Keuntungan yang dia dapat memang tidak banyak, tetapi pembelinya selalu merasa puas.” Jadi, kalau anakmu nakal, jangan buang dia, tetapi perbaiki dia. Saat dia menyadari akan hal rohani, ia akan memiliki perilaku yang baik, bisa menjadi semakin pandai. Maka jangan menghina seorang anak. Jangan menganggap anak miskin tidak bisa apa-apa. Saya telah membuktikan itu tidak benar. Saya tidak pernah studi ke luar negeri, tidak pernah minta dana dari luar negeri, tetapi Tuhan beri kesempatan mengerjakan sesuatu yang besar. Dari kecil saya ingin agar boleh mengerjakan yang terbaik bagi Tuhan, bagi bangsa saya, bagi generasi saya dan generasi yang akan datang. Bagi orang Sparta, semua bayi yang panjangnya kurang dari enam puluh sentimeter dibunuh, karena dianggap tidak akan cukup besar dan kuat untuk menjadi tentara. Tetapi orang bertubuh besar belum tentu berotak. Kalau saja peraturan Sparta diberlakukan di dunia, maka dunia akan kehilangan Stephen Hawking, Sir Isaac Newton, dan banyak orang hebat di dunia. Oleh karena itu, janganlah kita membuang anak yang nakal dan dianggap tidak berguna.

Mengapa Tuhan tidak membuang manusia? Karena manusia dicipta menurut peta teladan-Nya. Mengapa Tuhan mengirim Yesus? Karena Ia ingin manusia bisa menikmati kekekalan bersama-Nya, nilai yang tidak mungkin digantikan dengan apa pun juga. Hanya orang yang menghina diri, membuang diri, bekerja sama dengan setan, dan membangkang kepada Tuhan akan dibuang ke neraka. Tuhan Yesus begitu mencintai engkau. Dia menyelamatkan orang yang percaya kepada-Nya, Roh Kudus akan mengubah engkau dan menggali potensimu. Selama dalam sejarah kita bisa hidup berproses dan terus memperkembangkan semua potensi yang Tuhan berikan untuk kemuliaan-Nya. Ada dalil hidup yang aneh, setiap barang yang terus dipakai akan rusak, tetapi otak manusia semakin dipakai akan semakin cemerlang. Maka saya bertekad akan mengerjakan apa pun yang memuliakan Tuhan. Setiap orang yang mau dikoreksi, digali potensinya sampai maksimal untuk Tuhan adalah pengikut-pengikut Kristus.

Allah tidak mengirim Yesus untuk membual, menikmati atau merusak dunia, tetapi untuk menyampaikan firman kebenaran, memberi pencerahan dan teguran. Dia sendiri menjadi teladan dalam mengorbankan diri demi menjadikan engkau seperti yang seharusnya, di mana engkau sendiri tidak mengetahuinya. Untuk itu Dia datang menggenapkan rencana Bapa. Maukah engkau menyerahkan diri ke dalam tangan-Nya, membiarkan Dia melengkapimu, mengubahmu, dan mengembangkan potensimu semaksimal mungkin sesuai kehendak-Nya? Amin.

Oleh : Pdt. Dr. Stephen Tong

Sumber : www.buletinpillar.org