Mengapa frustasi? Mengapa putus asa? Karena asa-nya putus, atau karena terlalu banyak asa yang asalnya tidak berfondasikan kebenaran Tuhan. Siapa yang tidak mempunyai konsep kesempurnaan akan membayangkan “alangkah baiknya jika saya mempunyai rumah yang begini, mobil yang begitu, mempunyai ini dan itu.” Semua orang mempunyai konsep demikian, termasuk saya, apalagi saya adalah orang yang sangat mengerti apa yang disebut mutu yang tinggi. Semua orang memiliki tuntutan, ide yang tinggi, angan-angan, cita-cita, dan semua itu lumrah, karena kita dicipta menurut peta dan teladan Allah. Orang yang merasa puas akan apapun tidak ada bedanya dengan babi. Bagi babi, ke istana atau ke kubangan sama saja, sama-sama puas. Namun manusia bisa tidak puas, bisa mulai mengkritik, dan bisa memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik. Bahwa manusia mempunyai satu tuntutan, standar dan penilaian, itu merupakan implikasi dari peta dan teladan Allah. Pembahasan konsep peta dan teladan Allah yang paling dangkal di dalam Theologi Reformed tetap masih jauh lebih baik daripada theologi lainnya yang hampir tidak pernah membahas peta dan teladan Tuhan. Alkitab mengajarkan banyak hal yang masih belum digali dan belum dinyatakan oleh tradisi Theologi Reformed. Manusia mempunyai konsep kesempurnaan, ini adalah aspek peta dan teladan Allah yang tidak pernah dibicarakan oleh tradisi theologi sistematik.
Dari konsep kesempurnaan menjadi tuntutan, dari tuntutan menjadi ide, cita-cita atau sasaran. Paulus berkata bahwa dia tidak menganggap dirinya sudah sempurna atau sudah memperoleh; dengan kata lain, dia belum puas. Itu lumrah. Tidak puas berdasarkan konsep kesempurnaan. Paulus yang begitu sempurna mengatakan dia tidak menganggap dirinya sempurna, dia tidak menganggap dirinya sudah memperoleh kesempurnaan. Inilah sikap yang benar. Lalu dia berkata bahwa dia hanya sedang menuju kepada sasarannya, yaitu Kristus: ”Targetku adalah Kristus, dan aku berusaha mendapatkan yang telah dijanjikan Tuhan yang sudah memanggil aku dengan panggilan sorgawi.” Jadi, mempunyai target atau ambisi itu tidak salah. Yesus tidak pernah berkata tidak boleh mempunyai ambisi. Yesus tidak pernah berkata,”Kamu tidak boleh berkeinginan menjadi besar.” Sebaliknya Dia justru mengatakan:”Silahkan menjadi besar, tetapi jika kamu ingin menjadi besar, jadilah hamba orang lain dahulu.
Bolehkah berambisi? Boleh! Bagaimana mencapai ambisi? Menjadi hamba, merendahkan diri, dan menolong orang lain! Kebanyakan orang maunya tidak usah bayar harga langsung loncat menjadi raja. Itu pemikiran yang salah. Saya bisa membimbing kebaktian besar dan banyak pemuda ingin langsung menjadi seperti itu. Padahal saya mulai membagikan traktat di pinggir jalan, diusir dan mau dipukul orang dari agama lain. Saya juga pernah diusir dari sebuah Rumah Sakit Katolik karena saya mengabarkan Injil di dalamnya. Pemuda pemudi yang ingin menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan, maukah kamu melakukan itu terlebih dahulu? Saya melakukan semua itu terlebih dahulu, baru sesudah itu ketika diberi kesempatan untuk memimpin kebaktian besar, saya berani naik mimbar. Saya tidak pernah minta satu kali pun untuk naik mimbar. Setiap kali saya naik mimbar, yang minta bukan saya.
Mari kita pikirkan, berambisi itu tidak salah. Alkitab tidak pernah melarang manusia berambisi. Alkitab tidak pernah melarang manusia mempunyai sasaran. Malah harus ada. Kalau kamu tahunya hanya puas, puas, puas, dan tidak berambisi, kamu tidak berbeda dengan babi. Maka jika kamu berambisi untuk maju, silahkan. Anak-anak petani ingin masuk Harvad University, itu boleh. Keinginan itu tidak salah. Tapi kalau tidak mencapai, bagaimana? Kalau di tengah jalan mendapat kesulitan, bagaimana? Tetapi dengan cara bagaimana bisa masuk ke situ? Kalau caranya “saya sukses, kamu yang bayar,” itu cara perampok. Banyak orang maunya mereka yang mengerjakan sesuatu, tapi orang lain yang bayar. ”Kamu yang kerja setengah mati, kamu yang bayar, saya yang sukses,” ini jiwa perampok, jiwa yang tidak benar. Maka marilah kita gabungkan pikiran yang bersasaran dengan bagaimana membayar harga dengan seimbang sehingga di tengah jalan kita mengetahui menghadapi kuda-kuda liar di dalam jiwa kita. Di dalam diri setiap kita ada kuda liar, dengan semaunya sendiri lari secepatnya, tidak mau dikekang ataupun dibantah. Jika ada pemuda berkata,” Saya rasa di situ terlalu diikat, terlalu terbatas.” Maka saya akan menjawab,”Kamu biasa terlalu liar.” Barang siapa bicara satu kalimat kepada saya, begitu melihat, saya lalu bisa memberi satu kalimat yang lain untuk menyatakan di mana penyakitnya.
“Di sini saya tidak bebas,” silahkan pergi karena kamu maunya liar. Tidak ada kereta yang bisa semaunya sendiri ke kanan atau ke kiri rel. Cepat atau pelan, suatu kereta harus tetap di dalam rel. Silahkan jika sebuah kereta api mau cepat atau pelan, tapi mau kiri atau kanan, tidak bisa. Bisa mengubah kecepatan tapi harus tetap di dalam rel. “Saya rasa di sini terlalu terkekang,” kata seorang mahasiswa theologi, “saya merasa tidak bebas.” Di luar kamu sudah terlalu liar sehingga sekarang baru didisiplin sedikit sudah merasa terkekang. “Saya rasa di sini tidak ada yang memperhatikan,” kamu dipanggil untuk diperhatikan atau memperhatikan? Jikalau seseorang ingin menjadi hamba Tuhan dan merasa kurang diperhatikan, dia sudah tidak layak untuk menjadi hamba Tuhan. Karena hamba Tuhan dipanggil untuk memperhatikan, bukan diperhatikan. Begitu susahkah? Memang susah. Menjadi orang Kristen bukan menjadi orang yang tidak bekerja apa-apa lalu naik limousine ke sorga. Menjadi orang Kristen berarti menjadi orang yang rela menyangkal diri, rela memikul salib dan mengikut Yesus Kristus. Melihat bagaimana Yesus lahir di palungan dan naik ke atas kayu salib. Itu namanya Kristen.
Mengapa kita frustasi dan putus asa? Karena kita mempunyai pengharapan. Mempunyai pengharapan, tujuan, target. Berdasarkan konsep kesempurnaan itu lumrah. Itu benar. Itu wajar. Itu tidak salah. Kita semua mempunyai target. Kita justru kecewa karena mempunyai target yang terlampau tinggi dan tidak praktis. Ini hal yang pertama. Mengapa mempunyai target yang begitu tinggi? Karena peta dan teladan Allah. Mengapa dikatakan target yang terlalu tinggi? Karena kamu lupa bahwa kamu adalah keturunan Adam yang sudah jatuh ke dalam dosa. Mempunyai target tinggi tidak salah, tapi kamu harus mengaku bahwa kamu adalah orang yang sudah jatuh dalam dosa, sehingga target yang tinggi dan fakta yang kejam harus diseimbangkan dalam persiapan psikologimu (psychological preparation). Saya mempunyai target, tetapi saya yang dalam kondisi rendah begini harus menemukan keharmonisan itu.
Siapa yang tidak suka menikah dengan perempuan yang cantik? Semua mau. Perempuan ingin menikah dengan orang yang ganteng luar biasa. Pemuda ingin menikah dengan perempuan yang cantik luar biasa. Tapi coba berkacalah dulu, bagaimana keadaan dirimu sendiri. Kamu berkata, ”Rupa saya bagus!” Kamu memperindah penampilanmu ketika kamu melihat dirimu di kaca. Namun biarlah penilaian orang lain juga kamu dengarkan. Kalau pria yang betul-betul jelek bisa mendapatkan wanita yang paling cantik, itu anugerah Tuhan yang luar biasa. Karena Tuhan telah memberikan wanita itu mata yang tidak dapat menilai sehingga melihat engkau ganteng. Itu jarang tapi ada. Ada orang yang bukan main cantiknya, menikah dengan yang jelek, karena standarnya bukan estetika tetapi standarnya nol, yaitu berapa banyak nolnya di bank. Ketika Jacqueline Kennedy menikah dengan Aristotle Onassis, saya menggeleng-gelengkan kepala, sampai sekarang sakitnya masih terasa. Mengapa Jacqueline mau menikah dengannya? Harta yang banyak. Salah satu wanita yang sangat berharap bisa menikah dengan Onassis adalah Maria Callas, salah seorang penyanyi terbaik di abad ke-20 dengan sifat romantik dan berjiwa emosi. Pada waktu Maria Callas meninggal pada tanggal 17 September 1968, dia begitu kecewa karena Onassis tidak memilihnya. Mengapa banyak wanita yang begitu cantik ingin menikah dengan Onassis? Karena standarnya sudah bergeser, bukan lagi menikah untuk saling mencintai tetapi menikah untuk mendapatkan uangnya. Kalau kamu frustasi karena mempunyai sasaran yang salah, maka kamu sedang mempermainkan diri. Kebanyakan anak-anak muda yang saling mengasihi sampai menikah memiliki kejujuran, kemurnian, ketulusan, dan keikhlasan yang harus dihormati. Hormatilah istrimu, hormatilah suamimu, karena sewaktu masih muda dan tidak tahu apa-apa, dia sudah menikah denganmu. Dia sudah memilihmu ketika dia masih tidak tahu apa-apa. Tetapi orang yang sudah kaya sekali yang mau memilih jodoh akan didatangi banyak orang; tapi apa yang mereka mau? Mau orangnya atau uangnya? Ada sebuah syair yang saya baca ketika saya berusia 16 Tahun: ”Jikalau aku orang kaya, tak pernah aku mengetahui sampai di mana manisnya roti (maksudnya : roti yang dibeli dari uang hasil bekerja setengah mati akan terasa lebih manis). Kalau aku orang kaya, aku tidak pernah tahu betapa segarnya ikan yang dipancing dan digoreng sendiri. Kalau aku orang kaya, aku tidak pernah tahu pacarku mencintai aku atau mencintai uangku.”
Jikalau kamu mempunyai sasaran yang sudah bergeser dari ide yang ikhlas, sasaran yang sudah dicemari dunia materi, keuangan dan kekayaan, sehingga kamu mempermainkan diri, menjual diri dan mengompromikan diri, itu berarti hidupmu tidak bernilai. Orang menjadi frustasi dan putus asa karena mempunyai ide yang terlalu tinggi, tetapi tidak memikirkan fakta yang sangat rendah. Saya kadang bersyukur kepada Tuhan waktu kecil saya terlalu minder. Seharusnya tidak perlu minder karena secara sadar atau tidak, mama saya menanamkan keminderan dalam hati saya, “Kamu anak yatim, tidak punya papa, kamu tidak boleh menyamakan dirimu dengan orang lain.” Mengapa anak lain mempunyai mainan itu, sedangkan saya tidak? Karena anak itu masih memiliki papa. Tidak pernah saya memiliki satu mainanpun. Seumur hidup mainan saya satu-satunya adalah sebuah mobil kayu yang saya beli waktu berusia sebelas tahun. Lainnya, saya hanya bermain melipat kertas dan menggambar. Pada usia sepuluh tahun, saya menggambar hitam putih disebuah kayu, itulah piano pertama saya. Sebuah piano yang tidak bersuara. Tetapi sekarang saya tidak perlu minder. Dulu saya minder sekali. Sekarang saya bisa membuat lagu, mengubah lagu, menjadi konduktor, dan mengajar filsafat, karena saya akhirnya menuntut diri terus sampai sukses dengan sasaran yang tinggi. Sasaran yang tinggi itu tidak salah. Tetapi saya tidak menetapkan sasaran tinggi yang tidak mempunyai kemungkinan mencapainya dengan ambisi yang tidak beres. Saya tidak mungkin mempunyai uang untuk sekolah ke luar negeri, atau membayar les privat yang mahal. Satu-satunya kemungkinan adalah membaca dan belajar sendiri. Tuhan tidak memutuskan jalan orang yang sungguh-sungguh berniat baik, tetapi Tuhan juga tidak memberikan jalan lancar bagi orang yang hanya tahu menuntut sebesar-besarnya tanpa tahu berapa modal yang seharusnya dimiliki sebagai pengorbanannya. Orang yang tidak mau berkorban, hanya mau sukses, hanya mau terima jadi saja, tidak akan diberkati Tuhan. Karena itu, kalau kamu frustasi, pikirkanlah apa penyebab frustasi itu.
Lima Penyebab Frustasi dan Putus Asa
1. Ambisi Berlebihan
Sebab pertama kita frustasi adalah karena kita memiliki ambisi yang berlebihan, memiliki sasaran yang tidak disejajarkan dengan kemampuan, sehingga terjadi disharmoni antara ambisi dan kemampuan. Semua pemuda silahkan berambisi, tetapi silahkan menilai sampai di mana kemampuanmu. Ketika manusia memiliki ambisi yang bukan berasal dari Tuhan dan tidak berada di dalam kebenaran Tuhan, maka dia akan mengalami kegagalan, dan saat itu terjadi, dia akan merasa kecewa dan frustasi. Banyak orang yang memiliki ambisi-ambisi yang begitu besar, tetapi tidak berasal dari Tuhan. Ambisi ini merupakan ambisi pribadinya untuk mencapai apa yang dia inginkan. Ambisi-ambisi seperti ini akan menghasilkan kekecewaan dan frustasi, sampai-sampai berujung pada putus asa dan bahkan bunuh diri.
…
Artikel Terkait :
- Frustasi dan Putus Asa (Bagian I)
- Kerohanian Dan Luka Hati (Part 4)
- Kerohanian Dan Luka Hati (Part 3)
- Kerohanian Dan Luka Hati (Part 2)
- Kerohanian Dan Luka Hati (Part 1)
- Kasih Yang Sempurna (Bagian II)
- Kasih Yang Sempurna (Bagian I)
- Ketakutan Yang Benar (Bagian III)
- Ketakutan Yang Benar (Bagian II)
- Ketakutan Yang Benar (Bagian I)
- Iri Hati (Bagian I)