Ketakutan vs Iman- Pengharapan- Kasih

Ada beberapa hal penting di dalam mengerti tentang ketakutan. Ketakutan adalah perlawanan terhadap cinta kasih. Ketakutan adalah perlawanan terhadap iman percaya. Ketakutan adalah perlawanan terhadap pengharapan. Orang yang beriman, semakin besar imannya, secara otomatis akan semakin kecil ketakutannya. Orang yang berpengharapan, semakin sungguh-sungguh berpegang pada pengharapan tersebut, semakin tidak perlu merasa takut. Orang yang memiliki cinta kasih yang murni akan terhindar dari perasaan takut, karena cinta kasih mengalahkan ketakutan. Di Scotlandia pernah satu kali seorang anak kecil di bawa oleh seekor elang yang sangat besar. Elang besar itu menukik turun, bukan menyambar ayam atau binatang lain, tetapi seorang bayi yang sedang dibaringkan dipinggir sawah, karena ibunya sedang bekerja di sawah tersebut. Bayi itu diambilnya, lalu dibawa ke atas gunung. Maka seluruh penduduk itu panik sekali. Elang itu punya cakar yang kuat dan membawa anak itu kesarangnya, lalu meletakannya di sana. Elang itu belum memakan bayi itu, mungkin karena merasa bahwa “yang satu” ini lain. Orang berusaha untuk mendaki ke puncak gunung, tetapi tebing itu sangat terjal dan sulit sekali untuk bisa mencapai sarang itu. Ada prajurit yang berusaha naik, karena dia merasa cukup perkasa, tetapi akhirnya gagal. Dia turun dan menganggap anak itu pasti sudah mati dimakan elang. Beberapa pria lain juga berusaha menolong, tetapi tidak mampu. Tetapi sungguh aneh, ada seorang wanita yang sama sekali tidak menyerah dan terus berjuang untuk naik ke sarang elang tersebut. Badannya berdarah-darah terkena bebatuan di gunung itu. Akhirnya wanita itu berhasil membawa turun bayi tersebut. Seluruh tubuh wanita itu luka-luka. Tubuh anak itu juga luka-luka terkena cakar elang itu. Setelah diobati beberapa waktu, barulah mereka sembuh. Siapakah wanita itu? Tidak lain adalah ibu anak tersebut. Mengapa seorang ibu bisa lebih kuat daripada seorang prajurit? Ya, seorang ibu lebih kuat, lebih kuat dalam hal cinta kasih dibanding dengan prajurit itu. Ibu itu sangat mencintai anak yang dilahirkannya. Maka semua kesulitan dan bahaya apapun akan dilewatinya. Benarlah apa yang dikatakan Alkitab, cinta kasih meniadakan ketakutan. Sering kali kita terlalu banyak ketakutan karena kita kurang cinta kasih. Kita tidak sungguh-sungguh mencintai sesuatu yang seharusnya kita  cintai, sehingga  kita takut kepada apa yang seharusnya tidak kita takuti.

Iman juga berlawanan dengan ketakutan. Pengharapan juga berlawanan dengan ketakutan. Kasih juga berlawanan dengan ketakutan. Saya sempat menggumulkan apa saya boleh membawakan tema ini. Saya merasa patut untuk membawakan tema ini, karena selama hidup saya, saya  telah berusaha melatih diri untuk tidak takut. Saya tidak mudah takut oleh berbagai hal, ataupun takut karena diancam. Semuanya itu telah dilatih selama berpuluh-puluh tahun, sehingga saya bahkan tidak takut miskin dan tidak takut kerja terlalu berat. Itulah  yang membuat saya boleh dan berani berkata kepada kalian: “Jangan takut.”

Saya berharap semua hamba Tuhan yang berada di dalam Gerakan yang saya pimpin ini juga mengadopsi semangat ini, dan tidak sekedar belajar teori yang tinggi-tinggi di dalam sekolah theologi. Yang lulus dari sekolah theologi banyak, tetapi yang betul-betul mengerti semangat seperti ini, sangatlah sedikit.

Ada seorang hamba Tuhan GRII yang kami kirim ke luar negeri. Dia menelepon saya, memberitahukan bahwa ada hamba Tuhan lain yang juga melayani di kota itu, dan orang itu mendapat fasilitas yang jauh lebih baik, didukung oleh gereja pendukungnya dengan limpah. Karenanya, dia bisa menyediakan penjemputan bagi orang yang mau datang ke kebaktiannya. Lalu saya tanya, bagaimana dengan sikap dia setelah tahu hal itu. Dia menjawab bahwa dia tetap akan berjuang terus. Dia tidak terpengaruh dan tidak iri hati dengan orang yang mendapat banyak fasilitas itu. Saya katakan kepada dia bahwa lebih baik dia bekerja dari nol sampai  nanti betul-betul jadi. Tidak perlu takut cara orang lain  bekerja. Dan nanti ketika sudah jadi, kamu akan menjadi kuat. Suatu hari kelak kamu tidak lagi membutuhkan dukungan dari pusat. Dengan begitu barulah kamu menjadi hamba Tuhan yang kuat. Perjuangan seperti itulah yang saya harapkan ada pada hamba-hamba Tuhan di dalam gerakan ini. Bagi mereka yang tidak mau berjuang, silahkan tidak perlu berada dalam gerakan ini.

Iman berlawanan dengan ketakutan, pengharapan berlawanan dengan ketakutan, kasih berlawanan dengan ketakutan. Alkitab ingin agar kita berani, kita percaya, tidak takut. Alkitab mengatakan bahwa orang yang memiliki pengharapan bagaikan jangkar yang tertancap di tempat maha suci, dimana ada janji, di situ ada pernyataan Tuhan dan di situ ada kesetiaan Tuhan yang tidak berubah.

Alkitab mengatakan bahwa jika kamu mengasihi, kamu tidak akan takut. Pada awal saya mempelajari ayat ini, saya sulit mengerti. Sampai suatu hari saya pergi membawa 400 buah traktat, lalu sengaja dari Surabaya beli tiket kereta api ke Probolinggo, naik kereta api untuk bisa mengabarkan injil.  Dari Surabaya ke Probolinggo jaraknya sekitar 100 Km. Jadi, jika saya memberitakan Injil dan membagi traktat kepada penumpang yang naik kereta api, mereka tidak bisa lari. Kalau saya mengabarkan injil di pasar, dia bisa pergi. Kalau memberitakan Injil di pesawat terbang dia mau lari kemana? Saya mengatakan:”Tuhan Yesus mengasihi engkau, terimalah Dia sebagai Tuhan dan Juru Selamatmu.” Saya tidak peduli dia beragama apa atau penganut filsafat yang mana. Ketika itu saya masih berusia 18 tahun. Saya pakai uang sendiri untuk membeli traktat, lalu membeli tiket kereta sendiri, karena saya ingin mengabarkan injil, mengasihi orang-orang yang masih belum percaya. Mereka sangat membutuhkan Tuhan Yesus.

Lalu saya mulai berdoa dalam hati sambil memejamkan mata, tidak bersuara, minta Tuhan beri kekuatan, karena mau mulai memberitakan Injil. Ketika saya selesai berdoa, mau bangun untuk mulai membagikan traktat, seorang berbadan besar datang dan duduk di depan saya. Dia seorang polisi berbintang tiga. Alisnya hitam sekali, matanya besar, dan jenggotnya lebat. Terlihat sangat galak. Wah, saya gentar. Saya berdoa,”Tuhan, saya baru saja mau memberitakan injil, mengapa yang pertama diberikan adalah seorang polisi? Saya baru mendengar bahwa kemarin teman saya dibawa ke kantor polisi karena memberitakan Injil. Mengapa Tuhan berikan polisi hari ini kepada saya?” Saya ingin kalau boleh yang pertama kali diberikan adalah seorang gadis kecil, atau seorang remaja, sehingga  saya tidak takut memberitakan injil kepadanya. Tetapi dalam hati kecil saya ada suara, “Apakah karena jenggotnya lebat, dia tidak berhak mendengar Injil ?” atau “Apakah karena dia galak, kamu tidak mengasihi dia.” Wah, itu pertama kalinya saya memberitakan Injil kepada polisi. Dan saat itu untuk pertama kalinya ayat ini muncul di dalam pikiran saya : “Di dalam kasih tidak ada ketakutan” (1 Yohanes 4 : 18). Dia juga seorang yang membutuhkan Tuhan Yesus. Kalau karena dia berbintang, berpangkat, berjenggot, lalu kamu tidak memberitakan Injil kepada dia, dimana kasihmu? Saat itu, saya merasakan sangat sulit. Sebagai seorang anak berusia 18 tahun, saya mau memberitakan Injil, mau belajar mengasihi jiwa, tetapi ada satu kesulitan, yaitu takut.

Saat itu saya sempat takut. Saya mengasihi, tetapi takut. Ayat itu kembali muncul. Maka saya minta Tuhan memberikan kekuatan supaya saya tidak takut memberitakan Injil kepadanya. Maka saya berdiri, lalu memberikan traktat kepadanya, sambil berkata:”Bapak Polisi, silahkan membaca traktat ini. Tuhan Yesus mengasihi Bapak.”Sambil berkata, jantung saya berdegup keras. Bagaimana reaksinya? Ternyata dia malah berdiri, menanyakan apa yang diberikan kepadanya. Ini namanya orang yang mengerti sopan santun. Dia menerima traktat itu dengan baik sambil menyatakan terima kasih. Dia tersenyum baik sekali. Setelah itu saya sadar, kalau polisi yang galak saja bisa menerima Injil, yang lain tidak perlu saya takutkan. Maka saya melanjutkan membagikan traktat, ke semua orang, sampai akhirnya seluruh 400 traktat itu terbagi habis. Saya memang janji di hadapan Tuhan bahwa tahun itu saya akan memberitakan Injil dan membagikan traktat kepada paling sedikit 3.000 orang.

Ketakutan Terjadi Setelah Kejatuhan       

Kita tidak berbicara tentang apa yang berkaitan dengan diri kita dulu, tetapi yang berkaitan dengan prinsip total. Ketakutan, baru adalah setelah Adam jatuh ke dalam dosa. Dalam hal ini saya tidak mengatakan bahwa ketakutan adalah akibat dosa. Tetapi ketakutan ada setelah kejatuhan Adam ke dalam Dosa. Jika ketakutan adalah akibat dosa, maka itu membuktikan bahwa ketakutan Yesus juga adalah akibat dosa. Dan itu akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa Yesus juga mempunyai sifat dosa. Ini tidak benar. Istilah “takut,” emosi takut, baru ada dan dibicarakan setelah Kejatuhan. Yesus berinkarnasi setelah kejatuhan Adam ke dalam dosa, maka sebagai refleks saraf manusia yang normal, maka perasaan takut juga ada pada Yesus. Dengan demikian,  kondisi ini membuktikan bahwa Yesus betul-betul hidup sebagai manusia secara utuh, dengan fungsi refleks saraf yang normal pada manusia.

Adam takut, terlihat dari tindakannya di dalam dua kejadian :1) mencoba menutupi dosanya, dan 2) menyembunyikan diri dari padangan Tuhan Allah. Takut mulai ada sejak kejatuhan Adam ke dalam dosa, sehingga akibatnya, manusia berusaha menutupi dosanya, dan melarikan diri untuk tidak berada dihadapan hadirat Allah.

Anak saya yang paling kecil ketika berusia dua tahun lucu sekali. Kalau dia baru berbuat salah, matanya menatap saya, langsung dia menunduk sambil memutar tidak mau melihat. Dia memejamkan mata sambil memutar badannya, lalu dia menempelkan mukanya ke lemari, tidak mau melihat saya. Setelah dua menit, dia berusaha mengintip. Lucu sekali. Ketika dia tahu saya masih melihat dia, cepat-cepat dia menutup lagi matanya, lalu menempelkannya lagi ke dinding lemari. Dia tahu kalau dia akan dimarahi. Perasaan takut itu  muncul setelah manusia bersalah, sudah jatuh ke dalam dosa. Yang paling celaka, manusia setelah berbuat dosa, tetap tidak memiliki perasaan takut. Orang seperti ini mempunyai pengharapan besar untuk masuk neraka.

Adam takut, Adam malu, karena dia telah berbuat dosa. Maka dia menutup tubuhnya dengan daun. Ini pertama kalinya Adam merusak lingkungan, merusak tatanan alam di taman Eden. Problematika bagaimana menangani kerusakan lingkungan baru dibahas menjelang akhir abad kedua puluh. Tetapi masalah ini sudah diungkap di pasal-pasal pertama Alkitab. Manusia betul-betul bodoh, setelah beribu-ribu tahun, baru berusaha menyelesaikan suatu masalah yang telah dicatat Alkitab pada awal-awal kejatuhan manusia. Tuhan bertanya:”Dimanakah engkau, Adam?” lalu Adam menjawab :”Aku takut.” Adam takut karena dia telah jatuh ke dalam dosa.

Manusia setelah berdosa menjadi takut. Perasaan takut adalah emosi yang tidak normal. Perasaan takut adalah  emosi yang sebenarnya tidak perlu ada jika dosa tidak melanda dunia. Manusia dicipta untuk berhubungan dengan Tuhan Allah, maka tidak ada hal yang perlu ditakutkan. Manusia dicipta dengan kemampuan menguasai diri, sehingga tidak perlu ada yang ditakuti. Manusia juga dicipta sebagai penguasa alam semesta, sehingga dia juga tidak perlu takut terhadap alam. Semua binatang  ditaklukkan dibawah manusia, bahkan semua binatang yang sekarang ganas, seperti singa, harimau, beruang dan lain-lain, diciptakan untuk takluk kepada penguasaan manusia. Dengan demikian, manusia tidak perlu takut terhadap mereka. Malaikat  pun dicipta untuk melayani Allah dan manusia, sehingga manusia tidak perlu takut kepada mereka. Segala sesuatu dicipta untuk menjadi saluran anugerah bagi kita, untuk mengisi kebutuhan kita, maka tidak ada hal yang perlu ditakuti oleh manusia. Dari semua makhluk  yang ada ditengah alam semesta ini, manusia adalah ciptaan yang paling dikasihi. Manusia menjadi satu-satunya makhluk yang berada ditengah-tengah Allah dan alam. Kita menjadi pengantara, menjadi seorang iman yang berada diantara Allah dan alam. Dengan demikian, tidak ada alasan sedikit pun bagi manusia untuk takut.

Tetapi setelah manusia jatuh ke dalam dosa, manusia menjadi takut. Manusia berusaha menutup diri, dan merasa dingin. Maka taman itu mulai terasa dingin (Kejadian 3:8). Ini semua merupakan kondisi yang tidak normal, yang mulai terjadi akibat dunia sudah jatuh ke dalam dosa. Kondisi abnormal ini mulai terjadi setelah kejatuhan. Kejatuhan membuat putusnya hubungan antara Allah dan manusia. Semakin jatuh, semakin putus, dan itu menimbulkan ketakutan. Adam takut bertemu lagi dengan Tuhan. Inilah akibat dosa, putusnya hubungan dengan Allah. Mulai dirasakan perlunya Atheisme adalah karena dosa. Jika tidak ada Tuhan Allah, maka saya tidak perlu dihakimi. Maka, lebih baik tidak ada Allah, sehingga saya boleh sembarangan berbuat dosa. Jika Allah tidak ada, maka kebebasan saya tidak perlu harus dipertanggungjawabkan. Inilah sebab timbulnya Atheisme. Atheisme berhenti pada imajinasi dan halusinasi. Atheisme tidak pernah menjadi realitas untuk membuat Allah menjadi tidak ada. Kalau Allah menjadi ada  hanya karena kita percaya Dia ada, atau Allah menjadi tidak ada hanya karena kita percaya Dia tidak ada, maka keberadaan Allah akan bergantung pada percaya atau tidaknya kita akan keberadaan Allah. Keberadaan Allah  justru menjadi penentu bagaimana kita mau percaya atau tidak kepada Allah. Keberadaan Allah bukan akibat kita membuktikan, atau ketidakmampuan kita membuktikan, Allah ada atau tidak; tetapi keberadaan Allah menjadi penyebab kita berusaha membuktikan Allah ada atau tidak ada.

Manusia di dalam dunia ini kini mengalami perasaan takut. Perasaan takut setelah kejatuhan dimulai dari suatu perasaan takut kehilangan perasaan aman yang selama ini telah dimiliki. Jika selama ini saya hidup baik-baik, lalu datang ancaman yang mau merusak kehidupan itu, maka itu membuat saya takut. Jika sebelumnya saya hidup aman, lalu kini ada ketidakamanan yang datang kepada saya, maka saya takut. Kita tidak mau kesempurnaan relatif yang kita miliki terganggu atau dikurangi. Kita ingin keutuhan yang kita miliki terganggu atau dikurangi. Kita ingin keutuhan yang kita miliki selama ini bisa kita pertahankan, dan ketika ada ancaman terhadap keutuhan itu, kita menjadi takut. Kita takut kalau anak kita yang baik-baik akan meninggal. Kita takut kalau uang kita yang sudah terkumpul dengan baik menjadi hilang. Kita takut keutuhan dan keamanan itu diganggu. Bukankah ini sikap normal? Kalau  kita menambah terus kekayaan kita, sekalipun dengan merugikan orang lain, kita tidak merasa takut. Tetapi kalau terancam kehilangan bakat dan kekayaan yang telah kita terima, walaupun dengan tidak wajar, maka kita takut. Perasaan atau emosi ketakutan kita sudah tidak suci. Kalau kita dirugikan, kita takut; tetapi kalau kita merugikan orang lain, kita tidak takut. Ini perasaan takut yang tidak sehat.

Pada usia 12 tahun, saya melihat di sekolah ada begitu banyak sepeda. Sepeda-sepeda itu diletakkan berdampingan, sehingga kalau satu roboh, maka semua sepeda secara beruntun akan roboh juga. Satu kali ada seorang siswi yang menjatuhkan sepeda, lalu beruntun seluruh sepeda jatuh. Dia sangat ketakutan. Tetapi seorang temannya mengatakan:”ah tidak apa-apa,” sehingga siswi ini merasa terhibur. tetapi kemudian kalimat itu dilanjutkan:”Karena bukan milik saya.” Bagi dia, sepeda itu jatuh tidak apa-apa, karena bukan miliknya. Kalau itu miliknya, dia akan marah sekali. Inilah dosa. Mengapa kalau kamu mengganggu sekuritas orang lain, kamu tidak takut; sementara kalau sekuritasmu diganggu, kamu takut? Manusia sering berdalih, biarlah seluruh dunia bangkrut, asal milik saya tidak. Apakah ini hidup Kristen? Kita takut, karena kita tidak bisa memelihara keutuhan. Kita takut karena kita tidak merasa aman.

Diambil dan disalin kembali dari buku  Pdt. Dr. Stephen Tong , DLCE:  Pengudusan Emosi (Hal 115 s.d 125)