Yesaya 53 : 2 -3

Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.  Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.

Roma 8 : 36-37

Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.”  Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.

 

Topik ini adalah topik yang berat, karena kita akan membicarakan tentang bagaimana kita harus menerima luka di hati kita. Adakah manusia yang mempunyai mata yang tidak pernah mengalirkan air mata? Adakah manusia yang mempunyai hati yang tidak pernah merasa sakit? Adakah manusia yang mempunyai nafas yang tidak pernah mengeluh di dunia ini? Tidak pernah ada. Memang, penderitaan dan kesukaran yang diterima manusia adalah sesuatu hal yang lazim. Setiap orang harus melewati hidup seperti ini. Setiap orang pernah merasakan kesulitan hidup. Setiap orang pernah merasa dirugikan, menderita, sedih. Tetapi bagi banyak orang, hal hati dilukai oleh orang adalah sesuatu penderitaan yang khusus, seolah-olah itu adalah hal yang tidak sewajarnya terjadi.

Harga Diri Dan Luka Hati

Kita selalu mempunyai harkat diri atau harga diri. Kita memiliki nilai diri yang menjadi dasar eksistensi atau kesadaran yang membuat kita berani hidup terus di dunia ini. Pada waktu kita diganggu atau dilukai, goncanglah harkat itu, goncanglah penilaian diri itu. Kita merasa bahwa kita adalah orang yang terhormat dan orang-orang yang dihormati oleh orang lain. Tetapi kini kita tidak mendapatkan penghormatan itu, sebaliknya kita dihina. Ini menimbulkan suatu luka dihati kita. Pada saat hal itu terjadi, pengeluhan sedalam-dalamnya terjadi dalam jiwa seseorang. Kadang kita menyendiri, kita menangis, kita mencucurkan air mata, dan kita tidak tahu harus bagaimana kita memperlakukan sesuatu yang tidak kita inginkan tetapi yang terjadi dalam hidup kita itu.

Dilukai merupakan hal yang sangat sulit kita terima, karena kita tidak mau dilukai. Kita tidak mau tidak dihormati, kita tidak mau dihina oleh orang lain. Terkadang orang tidak sadar bahwa dia telah melukai kita dan orang-orang ini tidak berencana untuk melukai kita. Kadang-kadang orang yang melukai kita tidak menyadari bahwa perkataan atau tindakannya telah menghina orang lain dan menyebabkan luka dalam hatinya. Hal ini mengingatkan kita kembali bahwa di dalam cara kita memperlakukan orang lain, mungkin juga secara tidak sengaja, secara tidak sadar, secara tidak terencana, kita pun sudah melukai orang lain. Ini menjadi pelajaran yang penting bagaimana kita mempunyai  hubungan timbal balik dengan orang lain, bagaimana kita mempunyai persekutuan dengan orang lain.

Pada saat kita memperlakukan orang lain dengan sewenang-wenang, kita merasa kita sedang berhak penuh untuk menggunakan kebebasan kita. Kebebasan yang sudah dicemari oleh dosa kadang-kadang menjadi kebuasan. Ketika kebebasan itu sudah melewati batas, kebebasan itu menjadi pelanggaran. Karena itu, janganlah kita lupa bahwa kita  adalah orang berdosa. Dengan demikian, mau tidak mau kita berada di dalam pencemaran dosa asal yang diturunkan dari Adam. Karena itu, kita harus selalu mengawasi diri di dalam bagaimana melakukan segala sesuatu terhadap sesama kita.

Etika Pasif Atau Etika Aktif

Tuhan Yesus berkata kepada kita, sebagaimana kita ingin diperlakukan, perlakukanlah orang lain dengan cara yang sama. (Matius 7 :12). Jika kita ingin dihargai, hargailah orang lain. Jika kita ingin dihormati, hormatilah orang lain. Jika kita ingin dikasihi, kasihilah orang lain. Di sini kita melihat bahwa etika Kristen adalah etika aktif, bukan etika pasif. Setiap agama memiliki religious golden rule  (hukum emas bagi etika atau moral agama) masing-masing. Dari konfusianisme, Konfusius mengatakan; “Apa yang kamu tidak ingin orang lakukan terhadapmu, jangan lakukan itu terhadap orang lain.” Ini adalah etika pasif. Jika kamu tidak mau dihina, maka jangan menghina orang lain. Salah seorang filsuf moral terbesar di dunia. Immanuel Kant mengatakan, “Sikap yang kamu tidak inginkan menjadi sikap bersama yang dimiliki oleh seluruh dunia, jangan kamu lakukan; dalil yang kamu tidak inginkan menjadi dalil universal, janganlah kamu sendiri yang melakukannya.” Ini merupakan salah satu pemikiran manusia yang paling hebat, paling tinggi dan paling klimaks, tetapi semuanya jatuh di dalam sudut pemikiran Negativisme. Konfusius negatif, Immanuel Kant negatif. Hanya kalimat Yesus Kristus yang bersifat etika positif.

Buku dari Michael Hart yang berjudul “100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh di Dunia” meletakkan Muhammad di posisi nomor satu. Saya tidak tahu buku ini ditulis dengan motivasi yang jujur atau tidak. Mungkin dia berfikir kalau meletakkan Muhammad di posisi pertama, maka penjualan bukunya akan memecahkan rekor penjualan di seluruh dunia. Mungkin dia berfikir jikalau meletakkan Yesus di posisi pertama, yang membeli bukunya tidak banyak. Di dalam buku itu dia mengambil sebuah kutipan dari Rabbi Hillel (Salah seorang rabi Yahudi yang sangat terkenal, khususnya dalam kaitan dengan Talmud, Kita Suci orang Yahudi), tetapi apa yang dikatakan Hillel tetap berada di dalam posisi negatif, bukan positif. Hanya Tuhan Yesus yang memberikan Dalil, yaitu “sebagaimana kamu ingin diperlakukan, perlakukanlah orang lain seperti itu terlebih dahulu.” Disini sikap etika menjadi positif dan aktif. Sikap etika seperti inilah yang menjadi ciri khas orang Kristen.

Kita sering beretika pasif. Jikalau orang berbuat baik kepada saya, barulah saya akan baik kepadanya. Kalau orang membenci saya, saya juga membencinya. Kalau orang berbuat jahat kepada saya, saya berbuat jahat dua kali lipat. Pernah kah kamu mendengar kalimat : “Kalau orang baik kepada saya, saya juga akan baik kepadanya: tetapi kalau orang jahat kepada saya, saya akan lebih jahat lagi, itulah saya.” Mungkin bukan hanya mendengar, tetapi kamu pernah mengatakan kalimat itu, atau bahkan telah menjadi pelakunya. Maka tanpa sadar kita telah mengaku bahwa kita memiliki kebencian yang aktif namun cinta yang pasif : Jikalau orang berbuat baik kepada saya, saya akan berbuat baik kepadanya (pasif), tetapi kalau orang jahat kepada saya, saya lebih jahat (aktif). Inilah dosa manusia. Inilah satu kefatalan yang merupakan pengaruh mendasar dari kejatuhan Adam yang mempengaruhi seluruh dunia dan umat manusia, sehingga kita hanya mau melakukan kebaikan secara pasif.

Sedemikian pasifnya kebaikan kita, sampai-sampai ketika orang berbuat baik kepada kita, kita masih mencurigainya. Kita bahkan membayangkan atau menduga bahwa orang itu sedang berbuat kebaikan yang palsu karena ada motivasi-motivasi yang jahat, yang bermaksud merugikan atau memperalat kita. Memang ada orang yang menyalahgunakan  kebaikan untuk memperalat orang lain, tetapi ada juga orang yang betul-betul baik, sehingga sangat tidak baik jika kita selalu menafsirkan kebaikan orang dengan pikiran egosentris seperti ini. Ada peribahasa Tionghoa yang mengatakan, “Dengan niat seorang kecil (small man) mengukur perut seorang yang agung (gentleman).” Artinya,  kamu tidak bisa menilai dengan tepat, karena kamu dibelenggu dan diikat oleh pikiran egosentris yang sangat sempit dan terbatas. Setelah orang itu terus berbuat baik, bahkan ketika kita tidak menghargainya, namun dia terus berbuat baik, akhirnya kita menyadari bahwa dia betul-betul baik, betul-betul tulus, barulah kita menjadi terharu dan ingin membalas sedikit kebaikannya. Itu menunjukan betapa kebaikan kita sedemikian pasifnya.

Sangatlah sulit untuk kita belajar bagaimana bisa mengasihi orang dengan aktif, belajar memiliki inisiatif yang aktif untuk menghormati dan menjunjung tinggi  harkat orang lain. Kemampuan aktif kita ini menjadi ukuran apakah kamu menjadi dewasa rohani atau belum. Anak kecil selalu menunggu dicintai, disayang dan dikasihi; itu sangatlah wajar. tetapi orang yang sudah menikah dan punya anak mulai belajar  memberi dengan kasih dan berinisiatif aktif sebelum anaknya minta kepadanya. Inilah tanda seseorang sudah menjadi dewasa. Kerohanian juga demikian. Kalau ada orang bersikap tidak baik terhadap kita dan kita membencinya, itu menunjukan kita keturunan Adam. Tetapi kalau kita bisa berinisiatif baik terhadap orang yang tidak baik terhadap kita itu, itu menunjukan kita anak Allah. Sungguh, sikap proaktif demikian tidak mudah, namun itulah tandanya engkau mempunyai rohani yang dewasa.

 

Diambil dan disalin kembali dari buku  Pdt. Dr. Stephen Tong , DLCE:  Pengudusan Emosi (Hal 275 s.d 281)