Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya. Ibrani 10:35

Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” Yohanes 16 : 33

Perasaan takut adalah suatu emosi. Setiap orang bisa takut, karena ketakutan adalah emosi yang memang ada pada diri manusia. Perasaan atau emosi takut adalah lawan dari dua hal, yaitu Kasih dan Kebenaran. Di dalam kasih tidak ada ketakutan. Orang yang berani juga tidak perlu takut. Sekarang kita akan membicarakan masalah “takut” ini. Ibrani 10 : 35 juga bisa diterjemahkan sebagai “Janganlah kamu kehilangan keberanianmu, karena orang yang mempunyainya akan mendapatkan upah yang besar.” Juga di dalam Yohanes 16 :33, frasa “kuatkanlah hatimu” juga bisa diterjemahkan “janganlah takut di dalam hatimu, karena Aku telah mengalahkan dunia.”

Apakah Ketakutan Itu?

Pernahkah Tuhan Yesus menangis di dunia? Pernah. Pernahkah Alkitab mencatat Tuhan Yesus menyanyi? Pernah, hanya satu kali dicatat. Alkitab pernah mencatat Tuhan sedih, Alkitab pernah mencatat Tuhan marah, tetapi pernahkah Alkitab mencatat Tuhan takut?

Saya pribadi berulang kali takut, takut sekali kalau setelah saya mengerjakan semua, saya akhirnya ditolak oleh Tuhan. Mungkin anda mengatakan: “Mengapa Pdt Stephen Tong bisa takut?” Ada ayat yang sangat berbeda dengan pengertian kita, yaitu dalam Markus 14 :33 “Dan Ia membawa Petrus, Yakobus, dan Yohanes sertaNya. Dia sangat takut dan gentar.” Siapakah “Dia” yang disebutkan disini? Tuhan Yesus.  Ini adalah satu-satunya ayat dimana diungkapkan bahwa Yesus takut. Tidak pernah lagi dalam ayat lain atau kitab lain. Hal ini sangat berbeda dengan konsep yang ada di dalam diri banyak orang. Hampir tidak ada pendeta yang mengupas ayat ini. Karena seolah-oleh akan merusak citra kita tentang Tuhan.

Mengapa Yesus bisa sangat takut? Mengapa Allah bisa takut? Kalau Yesus juga dilanda oleh ketakutan yang sangat besar, bagaimana Dia bisa mengatakan kepada murid-murid-Nya “Jangan takut, percaya saja”? Apakah itu berarti, Tuhan Yesus hanya bisa memberi perintah yang Dia sendiri tidak bisa melakukannya? Dan Tuhan Yesus memaksakan perintah itu kepada orang lain yang mengikut Dia? Maka ada orang-orang yang berasumsi bahwa tidak aneh jika pendeta-pendeta ketakutan, karena Tuhan sendiri takut dan gentar. Jika Tuhan Yesus ketakutan, bagaimana pendeta-pendeta harus berani? Ketika di Indonesia terjadi penganiayaan, ada pendeta yang lari ke Amerika Serikat, meninggalkan domba-dombanya di Indonesia. Ketika kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, banyak gereja-gereja di Jakarta yang mengumumkan bahwa hari Minggu itu tidak ada kebaktian, karena kebaktian diliburkan. Jikalau demikian, apa yang bisa dicela dari mereka, karena Yesus sendiri sedemikian ketakutan. Begitu Tuhan Yesus masuk ke Getsemani bersama murid-murid-Nya, Dia menjadi sedemikian takut dan gentar. Jika Yesus mempunyai emosi ketakutan seperti ini, ada hak apa sehingga kita harus tunduk untuk “tidak takut.”

Saya berharap  kita sebagai orang Kristen tidak hanya sekedar membaca Alkitab untuk menghafalkannya saja, lalu menjadikan kita sombong karena menghafal lebih banyak ayat Alkitab. Kita juga perlu mencoba mengerti secara kritis, membandingkan dan menggumulkan semua prinsip kebenaran Firman Tuhan dengan cermat dan baik. Kita perlu mempelajari apa yang Alkitab nyatakan, apa yang sulit kita mengerti, dan apa yang berbeda dari konsep normal kita di dalam beragama.

Yesus takut karena Dia betul-betul memiliki sifat manusia. Yesus takut bukan seperti ketakutan yang manusia katakan dan pikirkan. Yesus takut, tetapi Dia berjalan terus masuk ke taman getsemani. Di dalam tempat yang paling berbahaya, Yesus sama sekali tidak melarikan diri. Perasaan takut merupakan reaksi dari susunan saraf kita ketika menghadapi bahaya. Perasaan takut sedemikian adalah yang normal. Ketakutan sedemikian adalah hal yang normal. Ketakutan sedemikian bukanlah ketakutan yang abnormal atau ketakutan yang aneh. Itu merupakan sifat manusia yang sadar. Di dalam keadaan tertentu, manusia normal pasti memiliki refleksi saraf sedemikian, yang menyebabkan dia merasa takut.

Tuhan Yesus memang takut dan gentar. Dia begitu takut menghadapi keadaan yang akan terjadi dihadapan-Nya. Tetapi Dia tidak mundur, Dia tidak berhenti, Dia tetap maju, Dia masuk ke dalam taman, dan menanti orang-orang yang akan menangkapnya. Refleksi ketakutan sedemikian adalah ketakutan normal.

Ketakutan yang terdapat dalam diri manusia itu normal, hanya setelah takut, apa reaksi berikutnya? Inilah yang sangat menentukan isi dan bentuk ketakutan itu. Ketika emosi atau perasaan takut itu muncul secara mendadak, apa yang akan kita kerjakan. Jikalau Yesus tidak merasakan ketakutan apapun di Getsemani, itu berarti Dia tidak sungguh-sungguh inkarnasi. Kalau Yesus tidak memiliki ketakutan, berarti Dia hanya memiliki sifat kesempurnaan ilahi yang tidak terganggu oleh aspek kehidupan fisik di dunia ini. Ketika emosi ketakutan itu muncul, berarti Yesus adalah manusia sejati.

Kristus takut, tetapi Dia terus maju menggenapkan rencana Bapa-Nya di atas kayu salib. Ini bukanlah ketakutan yang melarikan diri, melainkan suatu refleks saraf yang natural. Ini hanya membuktikan bahwa Yesus betul-betul manusia sejati yang berinkarnasi dari Allah. Inilah tema yang penting. Setiap tema saya bahas secara serius, karena saya ingin kita mendalami suatu tema dengan benar. Apa yang sedang kita pelajari akan terus mendorong dan merangsang pikiran kita untuk semakin mengerti Firman Tuhan. Harap kita bisa dikoreksi untuk menuju kepada kesempurnaan yang dituntut oleh Tuhan.

Hak Istimewa

Di dalam pelayanan kita, sering kali kita harus menghadapi situasi yang sama atau mirip dengan situasi yang dihadapi oleh para nabi, oleh para rasul, bahkan berbagai ancaman dan kesulitan yang mirip seperti yang alami oleh Yesus Kristus. Di dalam pelayanan sering kali kita mengalami umpatan, ejekan, bahkan difitnah, dan ditimpa hal-hal lain yang mungkin dialami seorang manusia yang hidup di dalam dunia. Pernah hidup di dunia merupakan hak istimewa. Pernah hidup sebagai manusia adalah suatu hak yang sangat istimewa. Kita memerlukan keberanian untuk hidup miskin. Kita memerlukan keberanian untuk hidup dalam bahaya. Kita memerlukan keberanian ketika harus menghadapi penyakit atau bahkan kematian.

Kita adalah manusia yang pernah hidup di dunia. Hidup di dunia berarti hidup sebagai suatu proses. Kita hidup sebagai suatu pengalaman, harus dimengerti secara mendasar, Yaitu sebagai hak yang Tuhan berikan kepada kita, untuk pernah hidup sebagai manusia. Puji Tuhan, ketika dilahirkan, kita bukan dilahirkan sebagai kucing, atau anjing, atau sapi, tetapi manusia. Pernahkah kita bersyukur kepada Tuhan karena dilahirkan sebagai manusia. Ini adalah suatu hak istimewa. Tetapi dilahirkan sebagi manusia jauh lebih sulit daripada dilahirkan sebagai sapi. Dalam hal perasaan sakit,  manusia mengalami rasa sakit jauh lebih hebat dan panjang dibandingkan binatang. Sakit sedemikian lebih menderita daripada sakit yang diderita binatang. Menjadi manusia itu sangat berbahaya, tetapi sangat berbahagia. Menjadi manusia itu sangat sakit, tetapi juga menikmati banyak hak istimewa. Sungguh suatu anugerah dan hak istimewa bagi kita untuk menjadi manusia. Sebagai manusia kita dimungkinkan untuk memiliki moral yang sedemikian besar, dan akhirnya mempengaruhi berjuta-juta manusia. Tetapi kita juga bisa menjadi rusak, merusak moral banyak orang sampai dikutuki oleh bergenerasi manusia selama beratus tahun. Itu hanya bisa terjadi karena kita adalah manusia. Binatang tidak mungkin bermoral, mempesona, mempengaruhi, memberikan inspirasi kepada bangsa-bangsa, dan memberikan teladan hidup. Atau, bermain-main dengan kehidupan dan menjadi tidak jujur dan merusak. Manusia yang hanya mempermainkan diri, mencari keuntungan diri sendiri, dan merugikan orang lain, akan dikutuk oleh berjuta-juta manusia selama beratus-ratus tahun.

Apa arti menjadi manusia? Dan bagaimana menjadi manusia? Konfusius berkata, bahwa setelah dia berusia tujuh puluh tahun, barulah dia tahu bagaimana caranya tidak melanggar peraturan. Itu berarti sampai enam puluh tahun dia masih melanggar peraturan. Dia mau terus belajar bagaimana hidup menjadi manusia yang baik. Sampai usia tujuh puluh tahun dia baru tahu bagaimana menjadi manusia yang baik, lalu dua tahun kemudian dia meninggal. Konfusius baru betul-betul mengerti menjadi manusia selama dua tahun. Itulah manusia. Manusia yang paling agung dan yang diakui sebagai orang paling saleh oleh orang Tionghoa, mengakui keterbatasannya. Dia mengaku bahwa pada usia lima belas tahun, dia baru menetapkan untuk sungguh-sungguh mau belajar; pada usia tiga puluh tahun baru betul-betul bisa mempunyai pendirian dan bisa berdiri sendiri di dalam hidup; pada usia empat puluh tahun mulai tidak mungkin bisa diganggu oleh hal-hal yang sesat atau ajaran yang tidak beres; pada usia lima puluh tahun dia sudah mulai bisa mengerti mandat sorga, sehingga tidak sembarangan mengerjakan hal-hal duniawi; pada usia enam puluh tahun, telinganya sudah tidak lagi dipengaruhi oleh kritik dari berbagai orang; dan pada usia tujuh puluh tahun dia mengerti bagaimana tidak melanggar aturan dan hidup secara benar. Lalu meninggal pada usia tujuh puluh dua tahun.

Berbeda total dengan Tuhan Yesus Kristus, Seumur hidup Dia tidak bercacat cela. Dari lahir sampai mati Dia hidup suci mutlak, sampai Dia bisa menantang para musuh-Nya, “Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa?” (Yohanes 8 : 46). Tidak ada yang seperti Tuhan Yesus.

Tetapi Yesus Kristus yang hidup sedemikian suci, di dalam markus 14 : 33 dicatat, “Ia sangat takut dan gentar.” Kita perlu mengerti apa itu ketakutan Kristen dan bagaimana hidup sebagai seorang kristen dalam kaitannya dengan perasaan takut.  Ketakutan adalah suatu perasaan yang muncul secara impuls, lalu disimpan di bawah sadar manusia. Dan pada saat-saat tertentu, perasaan itu bisa kembali muncul, dan memberikan kesadaran ketakutan kepada orang tersebut.

Apakah itu ketakutan? Alkitab mengatakan jangan takut. Kalau kita beriman, kita tidak takut. Di dalam seluruh Kitab Suci, kata-kata “jangan takut,” kuatkanlah hatimu,”berulang kali muncul, seluruhnya 365 kali. Itu berarti cukup sepanjang tahun, setiap hari kita boleh mendapat satu kali pernyataan “jangan takut.” Kita harus bersyukur kepada Tuhan, karena firman-Nya cukup untuk mempertumbuhkan kita, dan menjadikan kita hidup baik. Tetapi banyak orang, setelah mendegar Firman Tuhan, kemudia segera melupakannya. Jika firman yang sedemikian baik dan menjadi patokan kebenaran bagi manusia, dengan mudah dilupakan, bagaimana dia bisa hidup baik?

Ada sebuah kisah yang diceritakan oleh Pdt. Dr. Andrew Gih. Seekor monyet naik ke atas pohon dan memetik buah apel. Lalu monyet ini bingung apelnya mau diletakan di mana, karena monyet tidak mengenakan baju yang ada kantongnya. Setelah monyet ini berfikir beberapa lama, maka dijepitnya buah itu dengan ketiaknya. Monyet ini berfikir itulah cara menyimpan yang paling aman. Lalu monyet ini mencari buah lagi. Ketika mengambil buah itu, buah yang ada diketiaknya jatuh. Lalu buah berikutnya itu diletakan lagi di ketiaknya. Begitu seterusnya. Dan ketika monyet ini mau pulang, dia tidak mempunyai satu buah pun, karena semua buah yang dikumpulkannya telah dijatuhkannya. Demikianlah orang yang mendengarkan khotbah, lalu segera melupakannya. Ingatlah akan Firman Tuhan, dan simpanlah baik-baik, sehingga selama hidupmu memiliki kekayaan sorgawi  yang tidak habis-habis.

Diambil dan disalin kembali dari buku  Pdt. Dr. Stephen Tong , DLCE:  Pengudusan Emosi (Hal 106 s.d 115)