Terkait diterbitkannya Peraturan Pemerintah nomor 36 Tahun 2017 tentang pengenaan PPh atas penghasilan tertentu berupa harta bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan,  banyak issues yang berseliweran baik di media whatsapp penulis ataupun media lainnya yang menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Pajak  gelap mata mengejar Wajib Pajak. Sebaliknya ada yang mengatakan bahwa Direktorat Jenderal Pajak sedang melakukan penegakan hukum. Sebagaimana diketahui bahwa pengertian gelap mata adalah sangat marah sehingga menjadi lupa dan mengamuk sedangkan penegakan hukum adalah segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya.

Sampai hari ini diketahui bahwa dari target penerimaan pajak tahun 2017 yaitu sebesar  Rp. 1.284 triliun baru tercapai Rp. 772 triliun atau sekitar 60%. Namun penerimaan yang masih minim ini tidak membuat Direktorat Jenderal Pajak menjadi gelap mata mengejar wajib pajak. Namun, dalam rangka memperkecil tingkat shortfall penerimaan pajak  tersebut maka Direktorat Jenderal Pajak semakin intens melakukan penegakan hukum.

Amnesti Pajak

Dalam tulisan-tulisan terdahulu dalam blog ini banyak sekali ditulis tentang sejarah, latar belakang, pro kontra dan untung rugi dilakukannya suatu program amnesti pajak, bahkan saat berlaku dan pelaksanaannya diantaranya yang perlu untuk dibaca adalah :

  1. Amnesti Pajak
  2. Persiapan Menyikapi Amnesti Pajak
  3. Kewajiban Setelah Mengikuti Amnesti Pajak
  4. Pasca Amnesti Pajak : Penegasan dan Arah Kebijakan DJP
  5. PP 36 tahun 2017 : Harta Bersih yang dianggap Sebagai Penghasilan

Bahwa kita (rakyat melalui wakilnya di DPR) sudah sepakat melaksanakan program pengampunan pajak (Tax Amnesty) dan Amnesti Pajak sudah dilakukan tentu harapannya adalah dimulainya suatu hubungan atau permulaan baru, atau semua pihak akan mulai dengan piring yang bersih, dalam pajak sering diistilahkan dengan situasi tiada dusta diantara kita.

Bahwa pertama Amnesti Pajak telah didahului dengan sosialisasi (penulis sendiri hampir setiap hari melakukan sosialisasi ketika itu), kedua atas sanksi-sanksi yg masih menjadi tunggakan pajak juga telah dihapuskan bagi yang ikut Amnesti Pajak, dan terakhir adalah regulasi berupa penegakan hukum secara tegas dan konsisten terhadap pelanggar hukum. Ketiga hal ini adalah hal yang mendasar bagi suatu pengampunan pajak yang berkeadilan.

Dalam ketentuan Amnesti Pajak ditegaskan bahwa ada resiko yang akan dihadapi oleh Wajib Pajak yang mengikuti Amnesti Pajak namun tidak jujur dan Wajib Pajak yang tidak mengikuti program Amnesti Pajak namun ditemukan harta yang diperoleh antara tahun 1985 s.d 2015 yang belum dilaporkan dalam SPT.

Gelap Mata atau Penegakan Hukum

Menurut penulis tidak tepat jika disebutkan terjadi kegagalan manajemen pajak dari korporasi besar dan akan ditanggung-rentengkan ke Wajib Pajak Orang Pribadi. Yang benar adalah setiap Subjek Pajak memiliki kewajiban yang sama dalam hal perpajakan sesuai dengan ketentuan perpajakan.

Teringat kembali kata-kata dari seorang Darmin Nasution tentang Wajib Pajak, disebutkan bahwa  lima banding satu suatu gambaran Wajib Pajak Orang pribadi dan Badan. Menurutnya di negara-negara lain rata-rata perbandingan antara setoran Wajib Pajak orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan adalah lima banding satu. Artinya, setoran Wajib Pajak Orang pribadi jauh lebih besar dibandingkan dengan Wajib Pajak Badan. Sementara di Indonesia sebaliknya, perbandingannya satu banding lima.

Penulis menyimpulkan bahwa jika pemerintah memberikan stimulus kepada banyak Wajib Pajak Badan (tentu dengan pertimbangan kemajuan bangsa) dan hal ini menyebabkan penerimaan pajak tergerus tidaklah tepat jika kemudian Direktorat Jenderal Pajak mengejar pengemplang pajak yang tidak mengikuti program Amnesti Pajak yang kebanyakan Orang Pribadi disebut tindakan yang gelap mata.

Semangat yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah nomor 36 Tahun 2017 adalah implementasi dari pasal 18 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Yaitu harta bersih yang ditemukan sejak  UU Amnesti Pajak sampai dengan tanggal 1 Juli 2019 atas harta yang diperoleh dari 1 Januari 1985 s.d. 31 Desember 2015 baik yang kurang diungkapkan atau yang belum dilaporkan dalam SPT PPh Badan dikenai Pajak penghasilan. Ketentuan ini adalah agar Wajib Pajak yang telah mengikuti program Amnesti Pajak diperlakukan dengan adil, dimana yang tidak ikut diperlakukan ketentuan dengan tegas dan konsisten.

Infografis PP 36 Tahun 2017

Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan infografis (infographics) untuk menyikapi PP 36 Tahun 2017  diantaranya adalah :

Alasan untuk Tetap Tenang

  • PP 36 Tahun 2017 adalah kelanjutan program Amnesti Pajak sekaligus memberikan rasa keadilan bagi mereka yang sudah melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar termasuk yang sudah ikut Amneti Pajak.
  • Memberikan kepastian Hukum bagi Wajib Pajak dan petugas pajak dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan sesuai pasal 18 UU Pengampunan pajak.
  • Pelaksanaan pemeriksaan tidak ditujukan bagi masyarakat yang berpenghasilan dibawah PTKP (Rp. 54.000.000/tahun).
  • Pelaksanaan Pemeriksaan dilakukan secara bertanggung jawab dengan tetap menjaga confidence masyarakat dan pelaku usaha.
  • Bagi Wajib Pajak yang merasa belum menjalankan kewajiban pajak secara benar, masih dapat melakukan pembetulan SPT sesuai ketentuan yang berlaku (dengan memasukan harta dan penghasilan yang belum dilaporkan).

Subjek Pajak dalam PP 36 Tahun 2017

Subjek Pajak yang disasar dalam PP 36 Tahun 2017 adalah :

  • Wajib Pajak yang tidak ikut Amnesti Pajak, apabila ditemukan harta yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 s.d 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam SPT PPh.
  • Wajib Pajak yang ikut Amnesti Pajak, namun
    • Gagal repatriasi atau tidak menginvestasikan hartanya di NKRI selama 3 tahun
    • Mengalihkan harta ke luar NKRI sebelum 3 tahun
    • Ditemukan harta lain yang tidak diungkapkan dalam SPH

Yang bukan subjek pajak (sesuai Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-11/PJ/2016) adalah Orang Pribadi seperti petani, nelayan, pensiunan, tenaga kerja indonesia, atau subjek pajak warisan yang belum terbagi, yang jumlah penghasilannya pada tahun terakhir di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak).

Penutup

Periode berlakunya UU tentang Pengampunan Pajak adalah 1 Juli 2016 s.d. 30 Juni 2019 sehingga untuk masa tersebut terkait harta bersih yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 s.d. 31 Desember 2015 yang belum diungkap akan dianggap sebagai penghasilan saat ditemukan yang akan dikenakan Pajak Penghasilan.

Dapat dipahami keluhan Wajib Pajak apabila yang menjadi target PP 36 Tahun 2017 ditujukan kepada Wajib Pajak Patuh (termasuk yang mengikuti program Pengampunan Pajak) hal ini sebagaimana disebutkan bahwa Subjek Pajak dalam PP ini termasuk Wajib Pajak yang ikut Amnesti Pajak (kondisi tertentu).

Penulis sendiri sepakat dengan keluhan tersebut namun tidak untuk kewajiban perpajakan setelah SPT Tahun Terakhir dalam pengampunan pajak. Bagi SPT wajib pajak setelah SPT Tahun Terakhir sangat perlu untuk diawasi serta diuji kepatuhannya, hal ini ada kekhawatiran setelah pengampunan sifat nature wajib pajak kembali lagi yaitu jika bisa tidak bayar pajak kenapa harus bayar atau jika bisa bayar kecil kenapa harus besar dengan catatan kedua hal ini dilakukan dengan melanggar ketentuan yang sudah digariskan.

Artikel Terkait :