Simpati Dan Kemurahan

Dalam studi berikut ini, kita akan mencoba mengerti apa artinya kemurahan, simpati, dan belas kasihan. Sebagai sesama manusia, kita hidup di dalam dunia yang memiliki berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan ini memancing kita untuk membayangkan bagaimana jika hal demikian menimpa kita. Ini yang disebut sebagai imajinasi.  Ketika kita melihat seseorang yang sedang sakit, lalu dengan begitu berat dia mengeluh, maka kita cenderung pergi meninggalkan dia, karena kita takut tertular, dan takut mengalami hal yang serupa dengannya. Keinginan menyingkir dengan segera ini merupakan daya dasar manusia yang dipicu oleh ketakutan kita untuk mengalami kesulitan dan penderitaan yang sama. Kita mempunyai sesuatu daya dasar yang sangat misterius, yaitu hal-hal yang baik dan yang indah akan demikian menarik kita, sedangkan hal-hal yang jelek dan berbahaya membuat kita lari menjauh. Ketika kita melihat orang lain yang terus menerus batuk, mengeluh, sakit dan tidak kunjung sembuh, kita mulai berfikir untuk meninggalkannya, karena takut mengalami penderitaan atau kesakitan yang sama. Daya dasar demikian merupakan daya dasar yang sangat wajar. Hal yang indah menarik kita untuk melihat lebih banyak, bukan? Tetapi yang jelek, yang abnormal, mengakibatkan kita pergi serta tidak mau melihat karena merasa tidak ada faedahnya bagi kita. Hal demikian merupakan suara hati paling dalam dari insting manusia untuk membela diri.

Tetapi, mengapa ada semacam orang yang justru pada saat orang lain mengalami kesulitan, justru datang mendekat kepadanya? Orang-orang seperti ini begitu rela mendekati orang-orang yang miskin, yang susah, yang abnormal, yang sakit keras, bahkan yang berpenyakit menular. Itu berarti  ada suatu perubahan emosi, yang terjadi pada orang-orang itu, sehingga mereka tidak lagi bergantung hanya pada naluri alamiahnya tetapi mulai naik menuju taraf simpati. Rasa simpati menjadikan mereka memiliki kemurahan, pengertian, kerelaan berkorban diri, rela menyangkal diri, dan rela memberi. Melalui perilaku ini muncul suatu keindahan dalam sifat manusia, yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Kristen. Pertama kali saya merasakan emosi demikian sangatlah tdak mudah, yaitu ketika saya berusia 19 tahun. Saya menyerahkan diri menjadi Tuhan saat berusia 17 tahun dan mulai pergi mengabarkan injil. Saya membeli traktat dengan uang saku saya sendiri, lalu berusahan membagikannya dikereta api, di rumah sakit, dan berbagai tempat lainnya. Saya pernah diusir, dimaki, dan dihina, tetapi saya tidak perduli. Dalam tiga setengah tahun, hingga usia 20 tahun saya telah berkhotbah sebanyak 862 kali diberbagai gereja.

Suatu kali saya melayani kelas sekolah minggu dengan anak-anak sekitar 8 hingga 12 tahun disebelah kanan saya, di baris paling depan, ada seorang anak dengan wajah yang abnormal. Jika kamu melihatnya, kamu pasti ingin segera berpaling dan meninggalkannya. Anak seperti ini biasanya tidak dibawa ketempat umum. Saya sungguh-sungguh takut melihatnya, dan saya merasa sangat susah, bahkan tidak bisa melihat wajahnya. Ketika saya harus berkhotbah, pikiran saya terus dipengaruhi oleh wajah anak itu, yang membuat saya sulit berkonsentrasi untuk bercerita pada anak-anak tersebut tentang Firman Tuhan. Saat itu juga saya ditegur oleh Tuhan:”Apakah kamu sadar siapa dirimu? Apakah kamu seorang hamba Tuhan jika kamu tidak memiliki cinta kasih yang cukup untuk melayani?” Saya merasa susah sekali dan hari itu saya belajar untuk melihatnya dan memberi tahu bahwa saya mengasihinya. Namun sungguh, setiap kali saya melihat dia, melihat wajahnya saya ketakutan. Saya rasa, sepanjang saya berkhotbah saya tidak sampai 5 kali melihatnya dan setelah itu  saya tidak berani melihat dia lagi, kemudian cepat-cepat pulang. Malam itu, saya berlutut di hadapan Tuhan memohon ampun. Saya sadar bahwa saya tidak mungkin bisa menjadi  seorang hamba Tuha yang baik, jika melihat wajah seperti itu saja, saya tidak tahan dan tidak rela. Saya terharu ketika melihat cinta kasih Tuhan Yesus yang rela datang ke dunia, mencintai manusia yang najis seperti saya, namun kini saya tidak rela melihat orang dengan wajah seperti itu.

Bertahun-tahun kemudian, setelah saya lulus dari sekolah theologi, saya mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani di sana sini, saya diutus ke tempat orang sakit kusta dan ke tempat di mana ada banya penyakit yang luar biasa beratnya. Di sana saya mulai berjanji kepada Tuhan bahwa saya mau belajar mengasihi mereka. Saya mau mengerti, mau menjamah tangan mereka, berjabat tangan satu per satu dengan orang sakit kusta, yang tubuhnya bernanah. Saya mau belajar kalau itu merupakan tugas seorang hamba Tuhan yang mau  memberitakan kasih. Istilah kasih bukan pada mulut, tetapi berada di dalam ketulusan, kejujuran, dan kesungguhan.

Saya mau belajar untuk berlaku dengan kejujuran dan ketulusan. Memang itu sangat sulit dan berat, tetapi jika tidak bisa saya lewati, maka saya merasa lebih baik saya berhenti menjadi hamba Tuhan. Jika saya tidak bisa mengasihi mereka yang lebih rendah, lebih miskin, lebih sulit, lebih sakit, lebih kotor, lebih inferior daripada saya, lebih baik saya berhenti menjadi hamba Tuhan.

Suatu hari, pada saat saya turun dari pesawat di Surabaya dan dalam keadaan yang sangat lelah. Saya langsung memanggil taksi untuk pulang. Begitu naik taksi, saya baru sadar bahwa wajah sopir taksi itu begitu buruk. Hidungnya begitu besar dan sepertinya ada kelebihan daging yang cukup besar tumbuh di sana, sampai menjepit matanya. Saya mulai ketakutan lagi. Saya teringat anak yang saya temui ketika berusia 19 tahun dulu. Saya berfikir apakah kalau anak itu menjadi dewasa akan seperti sopir ini. Secara reflek saya duduk di kursi belakang supir agar tidak melihat wajah supir tersebut. Tetapi dia terus mengajak saya berbicara sambil melihat ke kaca spion, sehingga saya harus terus menerus melihat ke wajahnya. Saya menjadi heran, dan dalam hati saya muncul beberapa pertanyaan.  Dia orang yang wajahnya  abnormal, apakah dia minder (rendah diri) atau tidak? Apakah dia sudah menikah, dan kalau sudah menikah, bagaimana perasaan istrinya terhadap dia? Lalu saya mulai berbincang-bincang dengan dia. Ternyata dia sama sekali tidak minder dan dia memiliki istri yang  cantik dan memiliki dua anak yang sehat-sehat dan berwajah normal, tidak seperti dia. Istrinya juga begitu setia merawat dan mengasihinya. Mendengar cerita supir ini, saya sadar bahwa kerohanian saya ternyata kalah dibandingkan dengan istri orang ini, apakah saya masih bisa bertahan dan masih bisa mengasihi. Bagi saya ini sungguh sangat sulit.

Alkitab berkata, berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka juga akan diberi kemurahan. Ini hukum Tuhan. Jika Tuhan menghentikan keran yang menurunkan anugerah kepada kita, jangan kita terkejut, karena kita telah terlebih dahulu menghentikan  keran kita untuk memberikan kemurahan kepada orang lain. Janganlah kita mengira bahwa kita boleh menikmati terus menerus anugerah Tuhan tanpa henti dan boleh berbuat kejam terhadap orang lain. Jangan kira dengan mempermainkan orang lain maka kita akan mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin, dan Tuhan akan terus membiarkan kita hidup seperti ini. Pada satu hari Tuhan akan menghitung dosa kita seperti dia menghitung dosa yang sudah ditimbun oleh Belsyazar. Tuhan mengatakan, “Mene, mene, tekel ufarsin,” yang artinya : sudah genap, sudah cukup, dan berhenti sampai di sini saja (Dan. 5:25). Anugerah Tuhan telah dihentikan karena kejahatan Belsyazar sudah memuncak, kejahatannya sudah genap, dan sampai di sini saja hidupnya. Malam itu dia dibunuh, dan kedudukannya diserahkan kepada orang lain. Malam itu juga dia dilempar keluar dari anugerah Tuhan. Pada hari itu, dia tidak lagi berhubungan dengan anugerah Tuhan. Hari itu menjadi hari terakhirnya. Jangan kira semua kemurahan anugerah Tuhan boleh sepatutnya kita terima terus menerus (Rm 2: 3-5).

Seringkali kita terus menerus menabung kejahatan dan sambil menabung kejahatan, kita beranggapan bahwa kita bisa terus menerus menerima anugerah. Sering kali kita berfikir bahwa sambil menabung kejahatan, sambil menikamati kemurahan Tuhan. Memang itu semua bisa terjadi, tetapi hanya sampai batas tertentu. Kemurahan dan anugerah Tuhan sebenarnya menuntut kita untuk bertobat, berhenti berbuat jahat. Tetapi kita berdiam diri dan mengabaikannya. Maka pada saat kita menganggap sepi anugerah Tuhan, kita sedang menimbun kemarahan Tuhan. Dan kemarahan itu akan memuncak sampai hari kiamat, di mana manusia sudah tidak bisa lagi melarikan diri. “Mene, mene, tekel ufarsin,” Tuhan berkata,”sudah cukup dan sekarang dihentikan.” Mulai hari ini kamu disingkirkan, kamu diturunkan dari takhtamu, kamu diberhentikan dari penerimaan anugerah yang selama ini berlimpah. Kiranya hal ini menyadarkan kita untuk jangan bermain-main dengan Tuhan. Tuhan itu dasyat; Tuhan itu adil dan suci adanya. Kehormatan dan Kemarahan yang tertinggi tidak mungkin disuap. Tidak mungkin lagi untuk naik banding, karena Dia adalah yang paling besar dan paling tinggi.

Mari kita belajar akan prinsip kemurahan ini. Mari kita belajar memberi kemurahan kepada orang lain, maka kepada kita akan diberi kemurahan. Pada saat kita memberikan simpati kepada orang lain, maka kepada kita akan diberikan simpati. Pada saat kita menyatakan belas kasihan kepada orang lain, maka kita akan menerima belas kasihan. Urutan ini tidak boleh salah dan tidak boleh dibalik. Jangan kita menjadikan belas kasihan, simpati, memperhatikan orang lain, sebagai umpan untuk mendapatkan berkat lebih banyak sebagaimana ajaran-ajaran sesat dari beberapa aliran karsimatik. Ada sebagian dari mereka yang menyatakan bahwa jika kita memberi persembahan sepuluh ribu, maka Tuhan memberikan seratus ribu. Itu bukanlah motivasi yang diajarkan didalam Alkitab. Itu lebih tepat menjadi ajaran dari setan. Mungkin ada orang yang menyanggah dan menyatakan bahwa ketika dia memberikan perpuluhan, Tuhan benar-benar memberkatinya. Dalam hal ini kita harus tahu bahwa  yang terjadi sebaliknya, yaitu orang itu telah terlebih  dahulu menerima dari Tuhan, baru mengembalikan sepersepuluhnya, jangan kita memutarbalikan Firman Tuhan: yang Tuhan berikan, kita kembalikan sepersepuluhnya, bukan memberi sepersepuluh supaya Tuhan memberi seratus, atau memberi seratus supaya Tuhan memberi seribu. Memang Tuhan berjanji akan membukakan tingkap langit dan melimpahkan berkat kepada kita, tetapi Tuhan tidak berkata bahwa jika kita memberikan satu juta, maka Tuhan berkewajiban mengembalikan sepuluh juta; atau jika kita memberikan satu miliar, Tuhan harus mengembalikan sepuluh miliar. Itu ajaran yang memutarbalikan Alkitab.

Alkitab mengatakan, jika ada orang memiliki karunia lidah atau bernubuat, maka dia harus mengikuti peraturan dan ketertiban. Dalam sebuah Konferensi Kristen Internasional, seorang pendeta Kharismatik mengatakan  yang dimaksud dengan menurut peraturan itu berarti semua gereja harus mempunyai dan melakukan karunia lidah. Saya menyatakan bahwa itu adalah kesalahan penafsiran Alkitab. Saya menyatakan itu dengan keras dan tegas dihadapan orang itu dan di hadapan semua peserta konferensi itu, karena ribuan gereja bisa ditipu dan diselewengkan atau dibawa kepada kesalahan yang fatal. Alkitab dengan jelas mengatakan, kita bukan hanya berdoa dalam roh, tapi juga harus berdoa dengan akal budi. Mereka membalikan bahwa kita bukan hanya berdoa dengan akal budi, tetapi harus juga dalam roh, lalu menganjurkan karunia lidah. Cara penafsiran Alkitab seperti demikian harus kita hindari dan waspadai. Tidak ada ajaran Alkitab yang mengajarkan bahwa jika kita memberikan satu miliar, nanti Tuhan akan memberikan sepuluh miliar. Saya rasa, jika kita membutuhkan uang, cara seperti ini bisa menjadi satu cara yang efektif sekali untuk mendapatkan banyak uang. Tetapi itu bukan cara yang diizinkan oleh Tuhan. Yang Tuhan izinkan adalah berilah apa yang sudah diberi oleh Tuhan, dan kembalikanlah perpuluhan itu, karena itu milik Tuhan sendiri.

Alkitab mengajarkan tentang simpati, yaitu bagaimana kita memiliki belas kasihan dan kemurahan. Kita harus setiap saat menyatakan kemurahan yang didorong oleh belas kasihan. Ini ajaran Alkitab. Memberikan kemurahan bukan didasarkan pada motivasi untuk memancing sebagai umpan agar kita bisa mendapatkan berkat lebih besar lagi dari Tuhan Allah. Yang benar adalah karena digerakan Tuhan, karena pimpinan Tuhan, karena prinsip Alkitab dan kasih Tuhan yang menggerakan hati kita untuk mengingat orang miskin, mengingat orang sakit, mengingat orang yang membutuhkan, mengingat orang yang kesusahan. Allah tidak akan melupakan orang yang selalu hidup dalam keadaan demikian.

Simpati Adalah Keseimbangan Doktrin Dan Perbuatan

Simpati berasal dari kata sympathos, yaitu suatu perasaan bersama di dalam hidup bersama seseorang. Ini merupakan suatu perasaan yang luar biasa anggun. Seorang yang penuh simpati, yang begitu rela dan mau mengerti orang lain, yang mau mengetahui kesulitan orang lain, adalah seorang yang agung. Jika dalam suatu Gereja, doktrin telah digarap dengan begitu ketat, orang menjadi pandai dan mengerti theologi, pandai berkhotbah, tetapi memiliki hati yang dingin bagaikan es batu, maka lebih baik Gereja itu ditutup saja. Banyak Gereja Reformed di seluruh dunia, namun kebanyakan mereka mementingkan ajaran yang ketat, memiliki doktrin yang benar dan kuat, tetapi kehilangan semangat memberitakan Injil. Saya ingin Gereja memiliki doktrin yang kuat sekaligus hati yang mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang. Itu sebabnya Gereja Reformed yang saya dirikan diberi nama Gereja Reformed Injili. Ketika Kromminga meninggal, orang menemukan tiga makalah. Makalah dari mantan rektor Calvin Theological Seminary ini sepintas terkesan bernuansa liberal. Setelah orang meneliti, baru mereka sadar bahwa selain memperhatikan doktrin yang ketat, masih ada banyak hal lain yang juga perlu diperhatikan, khususnya bagaimana mencintai jiwa-jiwa yang terhilang, dan juga bagaimana bersimpati, mengasihi orang-orang yang miskin, yang susah, yang menderita dan yang mengalami berbagai penyakit.

Yesus Kristus sendiri di dalam dunia mengajar dan menegur, mengajar tentang Kerajaan Allah, menegur kemunafikan orang Farisi. Tetapi di lain pihak, Dia juga memberi belas kasihan dan pertolongan kepada sedemikian banyak orang yang memerlukan pertolongan. Yesus menaruh belas kasihan kepada mereka, Yesus bersimpati kepada mereka, dan Yesus menyatakan kemurahan kepada mereka. Istilah “simpati” tercatat muncul 10 kali di seluruh Perjanjian Baru. Pada waktu Yesus melihat ribuan orang lapar karena belum makan, Dia menaruh belas kasihan kepada mereka. Ketika Yesus melihat mereka seperti domba yang kehilangan arah diseluruh bumi, Yesus menaruh belas kasihan kepada mereka.