“Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Matius 22:15-22). Adalah jawaban dari suatu pertanyaan dengan motivasi yang tidak beres dari orang-orang farisi.

Umum kita mengetahui bahwa pajak bersifat memaksa dan tanpa imbalan secara langsung bagi pembayarnya. Lalu bagaimana perasaan pembayar pajak apabila pajak dikorupsi (kolusi) oleh aparatur itu sendiri? Tentu dengan serta merta kita semua menghujat orang pajak bahkan bila perlu dikubur hidup2, bukankah begitu?

Saya setuju jika pelakunya dihukum sesuai dengan keadilan yang kita anut, namun tidak jika di generalisir semua aparatur pajak. Saya tidak tahu persis tendensi media jika selalu menonjolkan keburukan salah satu institusi vital republik ini yang bahkan memiliki suatu sistem yang belum pernah dilakukan oleh institusi lain yaitu Whistleblowing System. Yang saya ketahui adalah uang pajak adalah merupakan andalan negara dalam melangsungkan jalannya pemerintahan.

Saat DJP melakukan reformasi perpajakan yang dimulai tahun 2002, saya pernah membaca adanya UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang gaungnya sungguh sangat luar biasa dan kita kenal sekarang dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi, maka timbulah keyakinan diri tentang perubahan yang ada dalam institusi yang saya cintai saat itu. Karena sangat sinergi apa yang menjadi tujuan bersama dimana semangat UU No. 30 Tahun 2002 dan reformasi perpajakan tersebut adalah menuju Indonesia yang bebas dari korupsi dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

Sama-sama kita ketahui dampak dari korupsi terkhusus untuk suatu negara berkembang seperti republik kita ini, tidak salah jika saya tuliskan kembali dampak dari korupsi itu sesuai dengan misi website ini dibentuk yaitu to remind back yaitu :

  1. Merugikan rakyat miskin secara besar-besaran, dimana terjadi penyimpangan dana-dana pembangunan.
  2. Melemahkan pemerintahan dalam memberikan pelayanan-pelayanan yang bersifat dasar.
  3. Memperbesar ketidak setaraan dan ketidakadilan
  4. Mengurangi masuknya bantuan luar negeri dan investasi
  5. Ekonomi tidak bekerja sebagaimana mestinya dan
  6. Menjadi rintangan dalam mengentaskan kemiskinan.

Baru-baru saya melihat hal menarik dari tertangkapnya satu lagi aparat perpajakan yang notabene rekan satu angkatan saya kuliah dulu, dan kali ini yang dikejar bukan hanya yang menerima namun yang memberi juga betul-betul diusut tuntas (Ironi dengan kasus-kasus sebelumnya), dalam hal ini sangat jelas fungsi Koordinasi dan Supervisi yang dilakukan KPK dengan  institusi (Kitsda)  ini sudah berjalan dengan baik artinya Institusi ini tidak diam dan tetap dalam koridor reformasi yang jauh-jauh hari dicanangkan oleh para pendahulu yang kini salah satunya menjadi calon kuat Presiden Bank Dunia yang selalu konsisten tetap dalam perang melawan korupsi (mulai dari Indonesia lalu Dunia).

Bicara tentang srikandi ini, dalam suatu obrolan dengan salah satu pegawai terpilih yang baru bergabung dengan Direktorat Jenderal Pajak, mengatakan kepada saya bahwa dia sangat terkesan dengan kata-kata yang disampaikan oleh Mantan Menteri Keuangan ini dalam salah satu orientasi yaitu “Saya (Ibu Menteri mewakili pemerintah) tidak menjanjikan kalian (Pegawai baru) kaya… tetapi saya menjanjikan kalian berada di tempat terhormat”.

Di awal tulisan dijelaskan bagaimana tujuan dari orang-orang farisi dengan mengajukan pertanyaan tentang hal membayar pajak. Hal ini benar-benar sangat relevan dengan kondisi sekarang ini, terngiang dan masih terasa sekali detterent effect media dalam membombardir institusi  ini yang sampai berimbas disetiap gang menuju rumah saya :(. Disini saya tidak dalam rangka mendiskreditkan media tersebut baik tujuan dan motivasinya, namun semangat masyarakat betul-betul terarah dan sukses menjatuhkan mental ogut khususnya, maka disela-sela ruang perkuliahan saya selalu mengatakan kepada peserta brevet tentang semangat aparatur pajak yang sudah mengarah ke positif  karena memang itu fakta yang saya lihat dan alami, dan saya sampaikan untuk membimbing dan mengarahkan pembayar pajak untuk segera membayar jika memang terutang pajak dan jangan menunda-nunda.

Baru-baru ini saya menerima telepon dari seorang kawan, yang menginformasikan bahwa akan ada pergantian pemimpin dan menunjuk seorang kandidat yang kebetulan saya kenal (dia nggak kenal ogut :D), saya tanya kok bisa tau. Dengan semangatnya dia mengatakan bahwa beberapa koleganya sangat intens memantau hal itu. Walau saya sendiri tidak heran jika banyak pengamat yang berkepentingan dalam hal itu memantau bahkan mungkin ikut melakukan lobby (Horeeee Regina Menang….loh). Simpulan saya tidak perduli siapa yang pimpin, sepanjang dia tetap dalam tatanan reformasi yang sudah ditancapkan…. ca…ileee, dan lagipula masak sih dengan begitu banyaknya para bos-bos yang sudah masuk jail tidak menjadi peringatan untuk pemimpin2 baru… (lama banget sih mulainya, pengen banget ngeliat Perancis Menang… :D).

Berbicara tentang pencegahan korupsi, mungkin sudah bosan kita mendengarnya. Bahkan yang saya tau hampir semua lembaga lembaga sudah mempresentasikan dengan indah langkah-langkah preventif tindakan tersebut. Bahkan menggunakan istilah-istilah indah sampai melibatkan lembaga-lembaga dunia segala. Bahkan Transparancy International Indonesia (TII) pernah mengatakan bahwa Indeks Persepsi Korupsi  (IPK) Indonesia tidak mengalami perubahan, yang dapat diartikan tidak ada suatu getaran yang dapat membuat tindak pidana korupsi menjadi jera. Seperti kita ketahui bahwa Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) sejak tahun 2003 yang menekankan pada pencegahan Tindak Pidana Korupsi (TPK) serta membangun  dan melaksanakan atau memelihara kebijakan anti korupsi yang terkoordinasi secara efektif. Namun kenyataannya masih saja budaya korupsi digemari. Masih segar dalam ingatan saya ketika Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas saat menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi sekitar tahun 2004 s.d 2009 dan sama-sama kita ketahui memang antara tahun itu demikian banyaknya para pejabat yang masuk hotel prodeo.

Entah didasari oleh kecemburuan atau memang semangat seorang petugas pajak ketika melintas dijalan raya demikian makmurnya Indonesia, kenapa, karena kendaraan yang melintas adalah kendaraan terbaru dan sangat sedikit yang harga dibawah 250 Juta. Insting berbicara jika pemilik kendaraan diatas harga tersebut adalah Pegawai Negeri Sipil adalah kemungkinan hasil korupsi karena sangatlah jelas variabel pendapatannya. Dan jika pemiliknya adalah pegawai swasta atau pengusaha, sudahkah mereka membayar pajak dengan benar? Demikian juga halnya jika melintas di perumahan elit.

Ketika rekan saya Dhana digarap oleh Kejaksaan, saya mencoba berharap imbas positif disana yaitu tentang semangat Republik ini untuk  membahas Money Laundering seperti yang dituduhkan kepada teman saya itu. Seperti kita pahami arti Money Laundering adalah upaya untuk mengaburkan asal-usul harta kekayaan dari hasil tindak pidana sehingga harta kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah. Placing, receiving or controlling dirty money is Money Laundering. Mungkin 10 (sepuluh) tahun adalah waktu paling cepat untuk menginventarisir PNS yang memiliki harta tidak wajar, sangking banyaknya…. :D. Jika saja hal itu dapat dilakukan mungkin Indonesia tidak perlu meminjam dana ke Luar Negeri, kita dapat membangun dan mensejahterakan RI ini secara mandiri. Tapi yang terjadi adalah semangat kejaksaan terhadap Dhana sepertinya sama dengan orang-orang farisi diawal tulisan. Dalam pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dikatakan setiap orang yang menempatkan, mentransfer, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke Luar Negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga, atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dapat dipenjara paling lama 20 tahun dan denda sampai 10 M…. top kan, pokoke semua isi dalam UU ini sudah sangat komprehensif belum lagi kita berbicara tentang Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tapi tetap aja getarannya belum membuat takut pelaku dan calon pelaku. Pertanyaannya kenapa? apakah sudah demikian buruknya mental individunya?

Walaupun akhirnya pupus harapan saya melihat komitmen negara ini untuk membersihkan PNS dengan harta gendut, saya berharap sedikit dengan kegiatan yang dilakukan Institusi saya dengan gerakan Sensus Pajak Nasional, yaitu ditujukan kepada suatu kegiatan usaha untuk melihat kewajiban perpajakannya. Kenapa berharap sedikit karena saya masih melihat belum adanya perlengkapan persenjataan yang lengkap terhadap kegiatan ini, yang akhirnya saya tetap melihat hal ini hanya sebuah retorika saja.

Hal yang menurut saya biasa namun sebagian mungkin luar biasa dari institusi saya kali ini adalah dengan diadakannya pendidikan bela negara (Setaraf Wajib Militer) kepada pegawainya dalam rangka menerapkan reformasi birokrasi dengan harapan para pegawai DJP memiliki integritas dan jiwa patriotisme. Maka saya mengamini jika hal ini didasari  karena para pegawai pajak mengemban amanah yang sangat mulia untuk mengumpulkan penerimaan negara demi bangsa dan negara ini :). Karena dalam wahyu khusus pun persoalan perpajakan adalah suatu yang harus dipatuhi, tentu masing-masing kita turut mengawasi dan melamporkan penyimpangan atas pendistribusian uang pajak yang telah dikumpulkan.

(Dituliskan dalam rangka iseng-iseng aja dan hanya opini pribadi dalam rangka sepakat dengan harapan Birokrat Indonesia yang bersih dan berwibawa).