Akhirnya ada juga kesempatan untuk menulis setelah satu minggu  ini disibukkan dengan pekerjaan kantor baik yang bersifat rutin, penggalian potensi, konseling dan pekerjaan yang bersifat ad hoc.

Dan dalam minggu ini betul-betul melelahkan dengan pemberitaan media terhadap teman satu angkatan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara serta diskusi-diskusi ringan dengan teman2 seangkatan  di group facebook.

Disaat santai  saya buka buku besar berjudul “Menggapai Asa”, buku ini hanya dimiliki oleh para alumni yang lulus tahun 1996 dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Dan disana terpampanglah wajah para rekan-rekan dan teman-teman yang masih polos, lucu dan innocence.

Saya mencoba mencari seorang teman yang mendadak ikut diperbincangkan dengan tulisan “Dhana, Saya, Dan Mafia Pajak“. Secara pribadi saya tidak kenal dan pernah dengar tentang insan yang satu ini. Dan ternyata gambarnya ada di buku album wisuda’96 itu.

Saya mencoba memahami hal-hal  yang disampaikan oleh beliau dan mencoba menggambarkan menurut situasi yang ada sekarang ini diantaranya adalah :

A. Tentang Mafia

Apakah mafia pajak yang telah beroperasi puluhan tahun dengan hasil miliaran rupiah langsung bubar hanya karena gajinya jadi belasan hingga puluhan juta?

Berbicara tentang Mafia Pajak setelah reformasi pajak adalah omong kosong besar, apalagi mengatakan tiarap sejenak, sungguh naif sekali menyampaikan hal tersebut. Namun jika dikatakan masih ada yang mau menerima sekedar ucapan terima kasih setelah memberi pelayanan yang baik kepada wajib pajak saya pernah mendengarnya dan hal ini terus diperbaiki agar kedepan hilang dan menjadi budaya yang baik.

Dari mana kesimpulan yang mengatakan, Pengawasan yang mulai ketat dan berkurangnya kawula mafia pajak justru menaikkan tarif kawula mafia pajak. Jangan kaget, muncul kasus Dhana dan Gayus setelah reformasi DJP.

Ini pernyataan yang anomali disatu sisi dikatakan pengawasan yang ketat namun disi lain dikatakan menaikan tarif kawula mafia pajak. Jika saja pembaca memperhatikan kasus yang menimpa Gayus benarkah beliau bermain “didalam”? Kasus Dhana belum ada putusan yang menyatakan beliau bersalah sampai tulisan ini dibuat.

Justru yang saya lihat adalah fiskus sekarang ini adalah penentu “menerima” atau “menolak” tawaran yang dilakukan secara persuasif oleh wajib pajak, jadi tidak ada kata perencanaan perampokan uang negara secara teroganisir (mafia) seperti yang dikatakan, setidaknya itu yang saya lihat dan dengar.

B. Kekuasaan Besar

Kekuasaan Besar. Lingkup kekuasaan DJP tak hanya menetapkan pajak, tetapi juga mengadili sengketa pajak dalam proses keberatan, menyita aset wajib pajak (WP), memblokir rekening bank, menyidik tindak pidana pajak, minta pencekalan WP hingga menahan WP (penyanderaan). Ungkapan ”kekuasaan cenderung korup” berlaku mutlak.

Pernyataan ini, meyakinkan saya bahwa beliau memang tidak mengikuti kebijakan dan peraturan-peraturan perpajakan saat ini. Saya kira walaupun sudah tidak “didalam (bekerja di DJP)” kalau masih perduli tentang institusi ini  pasti memahaminya, dan tidak mungkin pernyataan seperti ini muncul. Tidak ada yang salah kata “Power tend to corrupt” namun tujuan dan substansi dimaksud sangat tidak tepat.

C. Kekerabatan

Banyaknya hubungan kekerabatan antar sesama karyawan di DJP. Ini tak lazim di institusi keuangan, karena kekerabatan mendorong persekongkolan, dan persekongkolan sulit dideteksi.

Menangis saya membaca ini 🙁 ,  ini hal yang ironi,  justru kekerabatan hampir hilang  di masa setelah reformasi ini, bahkan kantor tidak mampu mengadakan hanya untuk sekedar family gathering setahun sekali. Dan menurut saya kekerabatan mendorong kebaikan dan kebaikan akan  saling menyebar.

D. Rendahnya Target Pajak

Dalam RAPBN 2012 rasio pajak ditetapkan 12,72 persen dari PDB. Angka ini jauh di bawah rata-rata ASEAN yang berkisar 15-20 persen.

Mual saya membaca ini, menurut pendapat saya berbicara masalah rasio pajak adalah berbicara masalah kebijakan dan itu ada ditangan Pemerintah. Jadi janganlah mengkritisi kami tentang rendahnya target pajak tanya dulu kepada teman-temanmu yang sedang berkarya saat ini, kami sedang berjuang untuk mengamankan penerimaan tahun 2012 sesuai yang ditargetkan, dan harus berjuang lagi dengan keras dengan peristiwa yang terjadi baru-baru ini dan  komentar-komentar miring ini.

E. Kemudahan Kerja Account Representative (AR)

 Akses besar kepada WP, sistem TI DJP yang canggih, dan pasokan data keuangan dari banyak instansi membuat AR mudah mendeteksi jika ada laporan pajak yang tak benar. Apakah AR meminta WP membetulkan laporan atau AR justru membantu WP ”membetulkan” laporan pajak untuk melakukan penghindaran/penggelapan pajak dengan memanfaatkan celah aturan yang ada atau memanipulasi laporan keuangan WP sehingga laporan pajak seolah telah benar lalu AR dapat imbalan, itu perkara lain.

Memang sepertinya bapak Heri ini sudah lama tertidur dan bermimpi. Sampai saat ini mungkin para tepeng berusaha mensupport akses seorang Account representative agar dapat dengan mudah menggali potensi dan renpen dapat terpenuhi, namun kenyataannya belum sampai sana kawan. Keahlian dan pengalaman seorang AR masih menjadi andalan untuk menganalisa yang bermuara ke penerimaan negara. Memang ada satu hal tentang data potensi  yang diumumkan di “Portal internal kami” oleh seorang Direktur baru2 ini yang saya sendiri kurang setuju dipublikasi seperti itu walau itu menandakan kepercayaan pimpinan terhadap AR sudah baik.

Mas juga mencoba menyinggung integritas seorang AR, tidak ada yang menjamin seorang AR itu “bermain” atau tidak dan ini juga berlaku setiap individu di dunia namun perlu saya sampaikan di DJP telah diberlakukan suatu pengawasan yang spektakuler  dan membuat mual perut ini (saya berfikir mental SDM-nya belum siap), saya pernah memberi pandangan dalam blog ini silahken dibaca Wishtle Blower.

Suatu Pandangan

Dilema reformasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini memang mengakibatkan luka yang berat, membawa korban yang banyak, dan bukan mustahil, perjuangan membangun reformasi ini menjadi suatu kecelakaan besar Namun, apapun akibatnya, reformasi ini sudah dilahirkan dan  harus tetap dipertahankan.

Saya melihat pandangan hukum saat ini adalah kepada orang yang kita rasa tidak baik, kita cari dalil di dalam hukum untuk menghukumnya. Kalau kita merasa orang ini baik, maka kita mencari hukum untuk membela dia. Jadi hukum bukan ditaati manusia, hukum dipermainkan oleh manusia. Kadang-kadang kemauan kita yang menyetir hukum, bukan kemauan kita yang disetir oleh hukum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Tempat yang paling tidak adil, adalah tempat yang memasang palang pengadilan. Tempat yang paling tidak adil adalah tempat di mana para ahli menegakkan keadilan, tetapi mereka sendiri tidak menjalankan keadilan tersebut.

Pesan saya kepada rekan seangkatanku Mas Heri, mohon maaf saya tidak pernah dengar tentang kasusmu karena saat itu media masih senang dengan DJP dan tidak seheboh sekarang. Namun tulisanmu  menurutku jauh dari fakta sebenarnya, dan saya tidak tahu apakah mas sempat merasakan masa modernisasi di Instansi ini.

Saya khawatir dengan pemberitaan media ini membuat pengawasan internal di DJP akan semakin diperkatat dan melimitasi gerakan pegawai, padahal Lao Tze, pada 2.600 tahun yang lalu, seorang yang lebih dahulu dari Kong Hu Cu sudah pernah mengatakan bahwa, semakin ketat suatu hukum, semakin berani manusia melawannya. Semakin banyak peraturan, semakin banyak menyatakan kesalahan. Jangan mengira, kalau kita memerintah bawahan kita dengan banyak peraturan, maka mereka akan merasa takut dan menjadi yang paling baik. Tetapi justru paksaan untuk mematuhi perintah dan peraturan yang ketat membuat orang merasa hidup tidak berarti, dan akhirnya mereka menjadi orang yang berani melawan dan mencari alasan untuk melawan peraturan. Yang perlu dilakukan adalah seperti apa yang saya tulis dalam status saya di facebook baru2 ini Semangat “esprit de corps” bukan berarti menutupi hal-hal yang tidak beres dengan penyelesaian yang tidak beres pula (Mr. Moonlight). DJP Adalah ladangku, siapa aku,  jika tidak mencoba membuat nya menjadi lebih baik.

Saya sangat optimis Menggapai Asa judul buku album wisuda lulusan 96 Sekolah Tinggi Akuntansi Negara telah melalui pemikiran mendalam dan dilakukan dengan kinerja yang baik demi kejayaan Republik ini. 🙂

(Tulisan ini merupakan pandangan saya pribadi sebagai account representative dan empati saya dengan teman-teman seangkatan yang sedang dirundung kasus).