Sebuah keluarga yang bahagia pasti keinginan semua manusia didunia ini. Namun semua orang juga pasti menyadari bahwa hidup didunia ini termasuk Indonesia wajib membayar pajak, menurut seorang Negarawan yang bernama Benyamin Franklin (1706 – 1790)  hal yang tidak bisa dihindarkan dalam hidup ini adalah mati  dan membayar pajak (nothing is certain but tax and dead). Pajak adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan kepada Negara apabila telah memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam perundang-undangan perpajakan.

Dalam Ketentuan Perpajakan Indonesia (UU KUP), dinyatakan bahwa seseorang wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) apabila secara kumulatif telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif. Dalam kalimat tersebut yang penting digaris bawahi adalah “Wajib mendaftarkan diri”. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem pemungutan pajak nagera kita menggunakan self assessment-system, dimana Negara memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada warga Negara untuk mendaftarkan diri, menghitung pajak, memperhitungkan pajak, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang ke Negara (melalui Direktorat Jenderal Pajak).

Syarat Subyektif

Persyaratan subyektif diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UU PPh menjelaskan bahwa seseorang tersebut (orang pribadi) harus bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Dapat dikatakan bahwa istilah  “Subyek Pajak” atau “penduduk pajak (Resident)” berbeda dengan istilah penduduk dalam kacamata kewarganegaraan (WNI). Berdasarkan hal tersebut, maka bisa jadi ada seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri misalnya Singapura, Arab Saudi, Malaysia atau negara lainnya yang jelas-jelas menunjukkan keberadaan seseorang tersebut lebih dari 183 hari di luar negeri maka orang tersebut bukanlah subyek pajak dalam negeri (SPDN) Indonesia.

Contoh Poltak, 22 Tahun, WNI yang bekerja di Singapura sebagai Perencana Keuangan (Financial Planner). Yang bersangkutan telah berada di Singapura sejak tanggal 1 Januari 2013 s.d. saat ini, maka  yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Subyek Pajak Dalam Negeri Indonesia mengingat keberadaannya di Indonesia kurang dari 183 hari.

Syarat Objektif

Persyaratan Obyektif menunjukkan bahwa obyek pajak penghasilan adalah keadaan yang menunjukkan diterima/diperolehnya penghasilan, dengan ketentuan bahwa penghasilan tersebut melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Berdasarkan Pasal 7 UU PPh Jo PMK-162/2012 tentang Penyesuaian Besaran PTKP, PTKP saat ini untuk seorang penerima penghasilan adalah Rp 24.300.000. per Tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila penghasilan seseorang tidak lebih dari Rp 24.300.000 maka persyaratan obyektif menjadi tidak dipenuhi.

Apabila seseorang telah memenuhi kedua pesyaratan tersebut, maka wajib baginya mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

Contoh Tagor, 24 Th, bekerja dan berdomisili (tempat tinggal) di Bekasi dan penghasilan yang bersangkutan adalah sebesar Rp 30.000.000/Tahun.  Maka dapat dikatakan bahwa Tagor telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif, sehingga Tagor harus datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di wilayahnya untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan memperoleh NPWP.

Penghasilan Suami dan Istri

Seiring berjalannya waktu, Si Tagor kemungkinan akan menikah dengan seorang gadis pujaannya untuk membentuk keluarga yang sakinah, bahagia dunia dan akhirat. Terdapat kemungkinan bahwa calon istri si Togar nanti bisa tidak bekerja (IRT, ibu rumah tangga), atau bekerja sebagai pegawai perusahaan, atau bekerja dengan menjalankan kegiatan  usaha (berdagang, salon kecantikan, dll), atau menjalankan pekerjaan bebas (keahlian tertentu) seperti dokter, pengacara, konsultan atau lainnya.

Dan suatu kemungkinan bahwa sebelum menikah dengan si Tagor, Calon Istri Si Tagor juga telah memiliki NPWP. Seperti kita ketahui bahwa UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) membawa perubahan signifikan terkait dengan dibolehkannya seorang istri memiliki NPWP yang berbeda dengan suami karena istri menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri (Pasal 8 ayat (2) huruf c UU PPh). Seperti kondisi si Tagor di atas yang memiliki calon istri yang sudah ber NPWP atau memilih untuk memiliki NPWP bahasa gaulnya “suka-suka saya” atau “terserah saya”. Dengan memiliki perbedaan NPWP membawa konsekuensi tersendiri, yaitu bagi seorang istri akan ada kewajiban untuk menyampaikan dan melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi bagi diri istri.

a. Suami Dan Istri Memiliki NPWP Yang Sama

Pada prinsipnya UU PPh di Indonesia menganut konsep satu kesatuan ekonomis yakni penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin termasuk anak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya. Atas penghasilan atau kerugian istri/anak tersebut digabungkan dengan penghasilan suami dan dilaporkan oleh suami sebagai kepala keluarga. Pasal 8 ayat (1) UU PPh menyatakan penghasilan istri tersebut tidak digabungkan dengan penghasilan suami apabila (syarat kumulatif):

  1. penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21; dan
  2. pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya

Pasal ini menegaskan bahwa penghasilan istri dianggap “Final” atau tidak dikenakan pajak lagi (tidak dihitung kembali pajaknya). Dan kondisi tersebut dapat dilaksanakan apabila Istri memiliki NPWP yang sama dengan Suami Contoh NPWP Suami 06.123.456.7-402.000, NPWP Istri 06.123.456.7-402.001.

b. Suami Dan Istri Memiliki NPWP Yang Berbeda

Seperti disebutkan di atas ada kalanya NPWP suami berbeda dengan NPWP Istri, bisa karena sudah memiliki NPWP saat sebelum menikah atau suami dan istri memang memilih untuk memiliki NPWP. Dalam Pasal 8 ayat (3) UU PPh menyatakan “Penghasilan neto suami-isteri dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka”.

Contoh :

  1. Tagor, status perkawinan (K/0) adalah seorang menager marketing pada PT. ABC mendapatkan penghasilan di Tahun 2013 dan menerima bukti potong PPh Pasal 21 Form 1721 dengan Penghasilan neto Rp 134.000.000 dan PPh Pasal 21 Rp 11.151.250
  2. Lisa, Istri Tagor adalah staff accounting pada PT XYZ mendapatkan penghasilan di Tahun 2013 dan menerima bukti potong PPh Pasal 21 Form 1721 dengan Penghasilan neto Rp 76.000.000 dan PPh Pasal 21 Rp 2.755.000

Berdasarkan contoh tersebut, maka

  • Jika NPWP Tagor sama dengan NPWP Lisa (Suami-Istri Sama), maka penghasilan istri dari satu pemberi kerja PT XYZ sebesar Rp 76.000.000 tersebut tidak perlu digabungkan dengan penghasilan suami namun tetap dilaporkan dalam lampiran SPT kolom : “penghasilan bersifat final”. Dengan demikian maka penghasilan  yang dihitung kembali pajaknya hanya penghasilan suami atau Tagor, dan karena penghasilan Tagor sudah dipotong PPh Pasal 21 maka status/kiteria SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tagor dalam penghitungan PPh kurang (lebih) bayar adalah “Nihil”. Terkait dengan NPWP suami-istri sama  ini, maka bagi Lisa tidak perlu (memiliki kewajiban)  melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.
  • Jika NPWP Tagor berbeda dengan NPWP Lisa (Suami-Istri Berbeda), maka penghasilan istri dari satu pemberi kerja PT XYZ sebesar Rp 76.000.000 tersebut tetap digabungkan, dan PPh yang terutang oleh masing-masing suami istri didasarkan pada perbandingan penghasilan neto mereka. Sehingga penghitungannya menjadi sebagai berikut :
Penghasilan Neto Suami                             Rp. 134.000.000,-
Penghasilan Neto Istri                                Rp.   76.000.000,-
Jumlah Penghasilan Neto Keluarga        Rp. 210.000.000,-
Dikurangi :
PTKP  (K/I/0)                                             Rp. 50.625.000,-
Penghasilan Kena Pajak                          Rp. 159.375.000,-
PPh Terutang                                             Rp. 18.906.250,-

Penghitungan PPh yang ditanggung masing-masing Suami-Istri sbb

Tagor (Suami)
PPh yang ditanggung suami     = (Ph neto suami/Ph neto keluarga) x PPh terutang
                                                        = (134.000.000/210.000.000) x Rp 18.906.250
                                                        = Rp 12.063.988
 
Sehingga penghitungan PPh dalam SPT Tahunannya adalah
PPh terutang                                                          Rp 12.063.988
 
Dikurangi
–          PPh Ps 21 telah dipotong/dibayar       Rp 11.151.250
 
PPh yang masih harus dibayar                   Rp       912.738
 
Lisa (Istri)
PPh yang ditanggung istri                = (Ph neto istri/Ph neto keluarga) x PPh terutang
                                                               = (76.000.000/210.000.000) x Rp 18.906.250
                                                               = Rp 6.842.262
 
Sehingga penghitungan PPh dalam SPT Tahunannya adalah
PPh terutang                                                        Rp 6.842.262
 
Dikurangi
–          PPh Ps 21 telah dipotong/dibayar       Rp 2.755.000
 
PPh yang masih harus dibayar                      Rp 4.084.262

 

Catatan : terkait dengan penghitungan tersebut, telah ditegaskan dalam SE-29/PJ/2010

Penggabungan Penghasilan

Dalam kasus lainnya, dimungkinkan penghasilan yang diterima Lisa (Istri) bukan dari satu pemberi kerja tetapi dari kegiatan usaha/pekerjaan bebas. Bila demikian yang terjadi, maka yang perlu diperhatikan adalah

  1. Jika NPWP Lisa sama dengan Tagor, dan penghasilan Lisa berasal dari kegiatan usaha/pekerjaan bebas/lebih dari satu pemberi kerja, maka penghasilan Lisa digabungkan dengan penghasilan Tagor dan PPh yang terutang atas penghasilan gabungan tersebut akan dilaporkan oleh Tagor (suami) dalam SPT-nya.
  2. Jika NPWP Lisa berbeda dengan Tagor, dan penghasilan Lisa berasal dari kegiatan usaha/pekerjaan bebas/lebih dari satu pemberi kerja, maka penghasilan Lisa digabungkan dengan penghasilan Tagor, kemudian dihitung PPh terutang atas penghasilan gabungan tersebut dan selanjutnya dihitung PPh terutang masing-masing Sumai-Isteri sebagaimana contoh 2 diatas.

Mulai tanggal 1 Juli 2013, diberlakukan PP No. 46 Tahun 2013 yang mengenakan PPh Final 1% (PPh UKM). Aturan tersebut diperuntukkan bagi Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan bukan melakukan pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar/tahun. Dasar peredaran bruto yang dijadikan acuan (penentu) adalah peredaran bruto tahun sebelumnya (Tahun 2012). Hal yang perlu diperhatikan oleh Orang Pribadi terkait dengan pengabungan penghasilan tersebut adalah

  1. Apabila penghasilan istri dari kegiatan usaha (business profit), maka penghasilan yang digabungkan dengan penghasilan suami adalah penghasilan neto yang dihitung dari peredaran bruto Januari s.d. Juni 2013 (Bersifat tidak final, sebelum diberlakukan PP No. 46/2013) Sedangan penghasilan atau peredaran bruto Juli s.d. Desember 2013 (bersifat final), hanya dilaporkan dalam lampiran SPT Tahunan : Penghasilan bersifat final dan tidak perlu dihitung kembali pajaknya.
  2. Apabila penghasilan istri dari Pekerjaan bebas (Independent Personal Services), maka penghasilan yang digabungkan dengan penghasilan suami adalah penghasilan neto yang dihitung dari peredaran bruto Januari s.d. Desember 2013

Bagaimana kalo orang Pribadi tersebut menerima penghasilan dari luar negeri?

Indonesia adalah Negara yang dalam pemajakannya menggunakan asas domisili, salah satu ciri asas tersebut adalah prinsip worldwide income, Negara dimana wajib pajak terdaftar mengenakan pajak atas keseluruhan penghasilan. Asas tersebut terrepresentasi dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh yakni “penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:……”.

Berdasarkan penjelasan tersebut disimpulkan, bahwa penghasilan dari luar negeri harus digabungkan (dilaporkan) dalam kewajiban SPT Wajib Pajak Orang Pribadi. Penghasilan tersebut dapat berupa dividen, royalty, bunga, komisi atau lainnya.

 

 

Artikel ini ditulis oleh rekan kerja sesama Penelaah Keberatan yang sudah malang melintang dalam rimba perpajakan yaitu Sdr. Sugeng Slamet, SE, bagi yang ingin berkenalan atau bertukar foto serta bertanya silahkan email ke admin nusahati