Pada tahun 1972, saat itu hampir semua negara takut pada Amerika tapi  China tidak takut. Hingga Presiden Amerika Richard Nixon berinisiatif untuk berdamai dengan Tiongkok, namun satu hal yang menjadi pemikiran adalah apabila Orang Amerika menggunakan pesawat dari Tokyo ke Beijing diketahui publik maka akan menjadi berita dunia dimana publik menilai Amerika kompromi dengan Tiongkok. Akhirnya diaturlah perjalanan dari India ke Tibet lalu ke Tiongkok. Pertemuan Henry Alfred Kissinger Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dengan Zhou Enlai Perdana Menteri Tiongkok pun terjadi yang membahas terkait pertemuan Richard Nixon dengan Ketua Partai Komunis China Mao Zedong. Akhirnya pertemuan pun terjadi pada  tahun 1972 dan pertemuan tersebut adalah sebuah langkah berpengaruh dalam menormalisasikan hubungan kedua negara, pertemuan ini disebut sebagai Minggu yang mengubah dunia.

Cerita tersebut di atas mungkin sama halnya dengan yang terjadi pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sejujurnya penulis tidak pernah tahu bagaimana prosesnya sehingga dalam APBN 2021,  DJP diberi tanggung jawab mengamankan penerimaan dari sektor Pajak Pusat sebesar Rp. 1.229, 6 Triliun, yang penulis ketahui adalah Direktorat Jenderal Pajak berhasil melampauinya dengan capaian 1.277,5  Triliun.

Pencapaian target DJP ini hanya pernah terjadi di tahun 2008 dimana saat itu dengan target Rp. 534,53 triliun dan realisasinya mencapai Rp. 571,1 triliun atau 107% dari target.

Penulispun tidak pernah bertanya dan malas tahu kenapa selama dua belas (12) tahun Direktorat Jenderal Pajak tidak mampu mencapai target yang diamanahkan padahal semua pegawai yang ada di DJP termasuk penulis telah mencurahkan segala tenaga dan pikirannya. Perjuangan yang sama juga dilakukan disepanjang tahun 2021 ini yaitu mencurahkan pikiran, tenaga untuk mencapai target yang dibebankan, terlebih dimasa-masa yang berat akibat Pandemi Covid 19. Sampai akhirnya penulis terkaget ketika mengetahui  Direktorat Jenderal Pajak di tahun 2021 ini berhasil menyelesaikan amanah yang diberikan, lalu pikiran ini pun menjadi liar kenapa dimasa-masa sebelumnya tidak bisa tercapai, lalu bagaimana dimasa-masa mendatang?!

Pencapaian ini adalah suatu momentum yang baik, sangat mengangkat harkat martabat penulis sebagai pegawai aktif di DJP ini, terlebih berada dilingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus dibawah kepemimpinan Budi Susanto  yang juga berhasil melewati target yang diamanahkan. Demikian halnya kantor tempat penulis mencari sesuap nasi untuk memenuhi kebutuhan keluarga  yaitu Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing dibawah kepemimpinan Budi Christiadi yang justru lebih awal mampu melampaui target yang dibebankan diantara KPP seluruh Indonesia.

Sebagai manusia yang memiliki pemikiran bebas, penulis teringat dan terbayang bagaimana Negara Amerika Serikat harus melakukan negoisasi dan kompromi dengan Negara China yang satu-satunya negara yang tidak gentar dengan Amerika tanpa diketahui publik. Demikian halnya dengan orang nomor satu di DJP terhadap Menteri Keuangan, di Kantor Wilayah terhadap Direktur Jenderal Pajak, di Kantor Pelayanan Pajak terhadap Kepala Kantor Wilayah, mestinya ada negoisasi dan kompromi yang luar biasa, ketat, dan disiplin serta dilakukan secara senyap.

Penulis membayangkan kerumitan yang dialami oleh beliau-beliau ketika melakukan negoisasi dan kompromi tersebut seperti,. Sama rumitnya ketika Raja Firaun minta ditafsirkan mimpi yang dialaminya, sebagaimana diketahui baik  imam, penafsir mimpi, dukun, dan filsuf tidak ada yang mampu dan berani menafsirkan mimpinya khawatir  salah dan dipenggal kepalanya,  sampai akhirnya munculah seorang yang bernama Yusuf.

Negoisasi dan kompromi yang sulit sangat masuk akal  berkaca dari selalu gagalnya DJP dalam  target dan realisasi sepanjang dua belas (12) tahun terakhir, sekedar mengingatkan dan menggugah selera makan kita, perlu kiranya kita mengingat angka-angka target dan realisasi berikut ini :

  • Tahun 2009, target penerimaan pajak sebesar Rp. 577 Triliun dan  realisasi sebesar Rp. 565,77 Triliun. (Mencapai 97,99% dari target)
  • Tahun 2010, target penerimaan pajak sebesar Rp. 661,4 Triliun dan realisasi sebesar Rp. 649,042 Triliun. (Mencapai 98,1% dari target)
  • Tahun 2011, target penerimaan pajak sebesar Rp. 878,7 Triliun dan realisasi sebesar Rp. 872,6 Triliun. (Mencapai 99,3% dari target)
  • Tahun 2012, target penerimaan pajak sebesar Rp. 885,02 Triliun dan realisasi sebesar Rp. 835,25 Triliun. (Mencapai 94,38%)
  • Tahun 2013, target penerimaan pajak sebesar Rp. 995,2 Triliun dan realisasi sebesar Rp. 921 Triliun (hanya 93% dari target).
  • Tahun 2014, target penerimaan pajak sebesar Rp. 1.072 Triliun, dan realisasi sebesar Rp. 985 Triliun (hanya 92% dari target).
  • Tahun 2015, target penerimaan pajak sebesar Rp. 1.294 Triliun dan realisasi sebesar Rp. 1.055 Triliun (hanya 81,5% dari target).
  • Tahun 2016, target penerimaan pajak sebesar Rp. 1.539 Triliun, dan realisasi sebesar Rp. 1.283 Triliun (hanya 83,4% dari target).
  • Tahun 2017, target penerimaan pajak sebesar Rp. 1.283 Triliun, dan realisasi sebesar Rp. 1.147 Triliun (hanya 89,4% dari target).
  • Tahun 2018, target penerimaan pajak sebesar Rp. 1.424 Triliun, dan realisasi sebesar Rp. 1.315.9 Triliun (hanya 92% dari target).
  • Tahun 2019, target penerimaan pajak sebesar Rp. 1.577.6 Triliun, dan realisasi sebesar Rp. 1.332.1 Triliun (hanya 84,4% dari target).
  • Tahun 2020, target penerimaan pajak sebesar Rp. 1.198,82 Triliun, dan realisasi sebesar Rp. 1.069,98 Triliun (hanya 89,25% dari target)

Pencapaian target pada tahun 2021 ini adalah suatu momentum bagi Jajaran di DJP, jangan sampai DJP menjadi seperti Howards Hughes (1975) salah satu orang terkaya di Amerika yang mati karena kelaparan. Tanpa mengesampingkan bahwasanya Indonesia adalah negara yang sangat diberkati, baik Sumber Daya Alamnya, Sumber Daya Manusianya, bahkan situasi keamanannya yang baik dibandingkan beberapa negara yang selalu terjadi konflik dan perang. Namun, terjadi ketidak merataan yang dialami rakyatnya. Sebagian bergelimang harta, sebagian bahkan hari ini pun mungkin belum makan. Keseimbangan sebagai satu fungsi pajak yang tidak boleh dipandang satu mata, keseimbangan antara ekonomi individu yang berkelebihan dan yang berkekurangan (kaya dan miskin). Namun, ternyata itu tidak terjadi, banyak  rakyatnya yang mati sia-sia akibat miskin dan kuran gizi. Maka rakyat yang miskin dan kurang gizi tersebut adalah suatu kesalahan, karena mereka hidup di bumi Indonesia yang kaya. Momentum ini harus betul-betul dikelola sehingga DJP pun dapat bersuara dalam mengingatkan agar uang yang dikumpulkan dapat dikelola dengan baik demi terselenggaranya negara yang berkeadilan.

Baik Suryo Utomo selaku Direktur Jenderal Pajak, Budi Susanto Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus dan Budi Christiadi Kepala KPP Badan dan Orang Asing adalah Yusuf masa kini  yang memiliki talenta untuk menciptakan iklim yang baik bagi DJP dan khususnya kepada Rakyat Indonesia sebagai pembayar pajak. Sebagaimana kita baca dalam sejarah suci, berkat talenta Yusuf  inilah  negeri Mesir tidak berdampak atas ganasnya masa kelaparan  yang terjadi, bahkan memberi kemakmuran.  Figur Yusuf ini pun ada ditingkat pelaksana  DJP, satu kali waktu ada seorang rekan kerja berbicara pada penulis “Bang, saya malu dan tidak percaya diri. Walaupun pangkat dan golongan saya Oktober ini akan III d sementara saya tidak pernah bertugas dilapangan, selama ini hanya ikut pendidikan saja, dan selalu menolak untuk dipromosikan menjadi Kepala Seksi karena memang saya kurang mengerti tentang praktek pajak dilapangan yang menjadi pekerjaan saya.” Sebuah pernyataan yang anomali dan tidak pernah saya dengar sepanjang sejarah selama menjadi pegawai di DJP entah diluar sana, justru di zaman ini berbondong-bondong pribadi memaksakan diri untuk menduduki suatu jabatan atau posisi tertentu.

Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan bagiannya dengan baik, sebagai penutup penulis ingin menceritakan kembali kisah Howard Hughes.  Beberapa tahun sebelum dia mati, dia tidak berani dekat dengan siapapun, hidup bersama koki yang khusus memasak makanannya, karena dia percaya padanya seorang, dia tidak pernah makan direstoran atau menghadiri pesta. Lambat laun dia mulai berfikir, apa jadinya kalau si koki meracuni dirinya? Maka dia minta si koki makan dulu separuh dari makanannya, dia tunggu satu dua jam, barulah dia mau makan. Kemudian dia berfikir lagi, apa jadinya kalau dia menaruh racun di bagian makanan yang kumakan, diapun minta si koki makan bagiannya, akhirnya lambat laun dia mati. Uangnya sangat berlimpah, uang itu milik siapa? Milik dia, tapi dia bisa mati dan uangnya tetap ada. Paradoks bukan? Tahun 1975 ketika Howard Hughes mati, laporan penyebab kematiannya adalah kurang makan, cukup menggemparkan di Amerika, apa gunanya dia kaya, tapi kelaparan? Pertanyaan yang sama Apa gunanya, DJP dapat mencapai targetnya jika…. Silahkan teruskan sesuai  keinginan kita…