Pajak adalah seni mencabut bulu angsa dengan meminimalisasi kemungkinan sang angsa melengking kesakitan. Begitulah pajak yang adil menurut Jean Baptise Colbert. Inilah yang mendasari keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 164 Tahun 2023 tentang tata cara pengenaan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kewajiban pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Sebagaimana kita ketahui, dalam ketentuan ini, pelaku UMKM yang memiliki peredaran bruto tertentu, di samping mendapat stimulus bebas pajak atas omzet sampai dengan Rp500 juta, pelaku UMKM Orang Pribadi juga fleksibel untuk menjadi PKP.

Pelaku UMKM itu meliputi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, perseroan terbatas termasuk perseroan perorangan yang didirikan oleh satu orang, atau badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu Tahun Pajak. Peredaran bruto di sini adalah imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.

Salah satu kewajiban perpajakan pelaku UMKM adalah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh. Walaupun penghasilannya telah dikenai PPh yang bersifat final bertarif 0,5% dari penghasilan bruto, kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh tetap harus dilakukan.

Namun, tidak semua pelaku UMKM boleh menggunakan tarif 0,5% yang bersifat final. Mereka adalah pelaku UMKM yang menerima penghasilan dari pekerjaan bebas. Adapun definisi pekerjaan bebas dalam Pasal 1 angka 24 UU KUP adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja. Contoh pekerjaan bebas meliputi profesi tenaga ahli, pemain musik, olahragawan, pengajar, dan lain sebagainya. Selain itu, pelaku UMKM yang tidak boleh menggunakan tarif 0,5% adalah pelaku UMKM yang menerima penghasilan dari luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri atau penghasilan yang diterima pelaku UMKM tersebut telah dikenakan PPh Final sesuai UU PPh.

Memilih Tarif Umum

Adakalanya pelaku UMKM tidak memilih pengenaan PPh Final dengan tarif 0,5%. Biasanya keputusan ini diambil ketika pelaku UMKM baru merintis usaha atau baru menjalankan perusahaannya dan mengalami kerugian. Keuntungannya adalah pelaku UMKM dapat mengompensasi kerugiannya di dalam SPT Tahunan dengan menggunakan perhitungan perpajakan sesuai ketentuan umum.

Untuk itu, hal yang perlu diperhatikan adalah pelaku UMKM wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada DJP melalui kantor pelayanan pajak tempat pelaku UMKM terdaftar. Pemberitahuan tersebut disampaikan bisa secara langsung, melalui pos, atau secara elektronik paling lambat pada akhir tahun pajak. Dalam hal ini, penulis merekomendasikan pengiriman pemberitahuan tersebut secara elektronik. Bentuk atau format pemberitahuannya dapat dilihat dalam lampiran PMK di atas.

Terkhusus pelaku UMKM Orang Pribadi, ada fasilitas yang bisa dimanfaatkan. Fasilitas itu dalam bentuk PPh yang tidak dikenakan terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu Tahun Pajak, yang dihitung secara kumulatif sejak Masa Pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak, untuk seluruh tempat kegiatan usaha.

Karena pelaku UMKM Orang Pribadi adalah usaha berskala kecil menengah maka umumnya mereka menyetor PPh secara mandiri setiap bulannya paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Namun, adakalanya pelaku UMKM Orang Pribadi bertransaksi dengan perusahaan yang akan melakukan pemotongan PPh. Untuk itu, supaya terhindar dari pemotongan PPh, pelaku UMKM Orang Pribadi menyampaikan Surat Pernyataan sebagai pengganti Surat Keterangan kepada perusahaan yang bertindak sebagai pemotong pajak. Surat pernyataan tersebut berisi pernyataan bahwasanya peredaran usaha saat dilakukan pemotongan tidak melebih Rp500 juta.

Apabila pelaku UMKM orang pribadi yang telah menyampaikan surat pernyataan ternyata memiliki peredaran bruto atas penghasilan dari usaha melebihi Rp500 juta dalam satu Tahun Pajak, pelaku UMKM bersangkutan wajib menyetorkan sendiri PPh yang bersifat final yang seharusnya dipotong atau dipungut. Penyetorannya dilakukan pada bulan terjadinya transaksi penjualan barang atau penyerahan jasa dengan Pemotong atau Pemungut PPh.

Memilih Menjadi PKP

Dalam kaitannya dengan PPN dan berdasarkan PMK 164 Tahun 2023, pelaku UMKM memiliki kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila memiliki peredaran bruto melebihi batasan pengusaha kecil, yakni senilai Rp4,8 miliar dalam satu tahun. Pelaku UMUM dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP walaupun jumlah peredaran bruto masih di bawah batasan tersebut.

Kewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan paling lambat akhir tahun buku saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi batasan. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang menggunakan PMK Nomor 197/PMK.03/2013 sebagai dasar, pengusaha kecil yang melebihi batasan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4,8 miliar.

Jadi aturan baru PMK Nomor 164 Tahun 2023 memberikan relaksasi kepada para pelaku UMKM. Tepatnya adalah, Direktorat jenderal Pajak sangat memahami apa yang ada dalam pikiran Jean Baptise Colbert, sehingga memberikan begitu banyak kemudahan kepada pelaku UMKM. Dengan demikian, pelaku UMKM sebagai wajib pajak tidak merasakan sakit ketika “bulunya” dicabut karena kebijakan ini memberikan keadilan, kepastian hukum, serta kemudahan.

Sumber : https://www.pajak.go.id/id/artikel/seni-dalam-perpajakan-umkm

Artikel terkait :