Dalam tulisan terdahulu yang berjudul “Penghasilan BUT : Force of Attraction (FoA)” adalah implementasi dari Pasal 5 ayat (1) huruf b nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.b.k.d.t.d UU nomor 7 tahun 2021 menyebut kan  salah satu “Yang menjadi objek pajak Bentuk Usaha Tetap adalah penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha tetap di indonesia.”

Sementara dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, satu lainnya dinyatakan “Yang menjadi objek pajak Bentuk Usaha Tetap adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjnag terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.” Namun, pada prakteknya banyak interprestasi kaitannya dengan salah satu penghasilan Bentuk usaha Tetap (BUT) ini yaitu effectively Connected Rule.

Sebagaimana dipahami, konsep hubungan efektif ini berasal dari effectively connected income yang berasal dari Undang-Undang Pajak Domestik Amerika Serikat (internal revenue code). Undang-Undang Pajak Penghasilan di Indonesia muasalnya tidak mempunyai ketentuan yang mengatur bagaimana menentukan suatu penghasilan kantor pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan BUT di Indonesia.

Sekilas Sejarah Bentuk Usaha Tetap

BUT (Permanent Establishment) merupakan terminologi dari perpajakan internasional yang merupakan konsekuensi dari kegiatan usaha dengan basis/lokasi tetap di negara treaty partner, setelah memenuhi kondisi-kondisi tertentu yang diatur dalam Tax Treaty  seperti:

  • jenis kegiatan usaha yang dilaksanakan di negara treaty partner,
  • sumber penghasilan dan jangka waktu (“Time Test”).

Adanya BUT ini mempengaruhi hak suatu negara untuk mengenakan pajak terhadap obyek yang di maksud.  Perjalanan UU Pajak kita dalam menentukan status BUT  beberapa kali mengalami perubahan misal :

  • Pajak Perseroan 1925 menempatkan BUT sebagai subjek pajak luar negeri;
  • Undang-undang No. 8 Tahun 1967 tentang perubahan dan penyempurnaan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, Pajak Perseroan 1925 menempatkan BUT sebagai subjek pajak luar negeri;
  • Undang-undang No. 7 Tahun 1983 menempatkan BUT sebagai subjek pajak dalam negeri;
  • Undang-undang No. 10 tahun 1994 status BUT dikembalikan lagi sebagai Subjek pajak luar negeri sampai dengan sekarang.

Ada kesulitan juga berkaitan dengan penentuan kondisi BUT untuk kondisi-kondisi tertentu, misal bagaimana menentukan suatu BUT untuk transaksi yang menggunakan E-Commerce karena sampai saat ini Penyelenggara Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE) bukan merupakan BUT. 

Pemakaian istilah BUT, tidak menjadi monopoli bidang perpajakan, seperi yang kita ketahui dalam UU Migas, salah satu badan usaha yang diijinkan melakukan kontrak kerja di sektor Migas adalah Bentuk Usaha Tetap. Lebih jauh lagi, ternyata ada juga suatu Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 57 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komisi Penilai Analisis mengenai Dampak Lingkungan Propinsi Khusus Daerah Ibukota Jakarta Bab I Pasal 1 ayat (18), yang berbunyi: “Badan Hukum adalah suatu bentuk badan hukum yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, dan Perseroan lainnya dengan nama dan bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk usaha lainnya. Yang mengherankan, justru Badan Koordinasi Penanaman Modal tidak mengenal istilah BUT melainkan Kantor Perwakilan.”

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

Pada dasarnya, suatu persetujuan penghindaran pajak berganda adalah penghindaran pajak secara juridis. Pasal-pasal yang ada di dalam persetujuan tersebut pada hakikatnya adalah distributive rules (penggolongan penghasilan), yaitu membagi hak pemajakan dua negara. Distributive rules meliputi :

  • Active income; Merupakan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan pekerjaan. Jenis-jenis yang di atur yaitu Penghasilan dari kegiatan bisnis, transportasi baik  laut, sungai dan udara, penghasilan dari pemberian jasa profesi yang dilakukan oleh individu (Independent Personal Service), gaji pegawai (Dependent Personal Service), penghasilan direktur, artis,  dan olahragawan, gaji PNS, dan penghasilan yang diterima pelajar.
  • Passive income; Merupakan penghasilan yang berasal dari investasi dalam bentuk tangibel maupun intangibel properties. Jenis-jenis yang di atur yaitu : penghasilan dari harta tidak gerak, penghasilan dari dividen, bunga, royalty, capital gain serta pensiun
  • Other income; Mengatur  penghasilan  yang tidak dapat digolongkan  berdasarkan  penggolongan tersebut di atas.

Penghasilan dari usaha sebuah perusahaan yang berdomisili di suatu negara hanya akan dikenai pajak di negara tersebut, kecuali usaha tersebut dilakukan di negara sumber melalui permanent establishment/Bentuk Usaha Tetap (sesuai definisi berdasarkan P3B).

Pendapatan BUT : Effectively Connected

Jika kita menelisik penjelasan Pasal 5 ayat 1 huruf c, maka dapat diartikan hal-hal sebagai berikut:

  • PT. Nusahati perusahaan dalam negeri menggunakan merek dagang dari Perusahaan Luar Negeri (Nusa Inc) yang memiliki BUT di Indonesia yaitu BUT Nusa Inc, sehingga atas hak tersebut PT. Nusahati memiliki kewajiban membayar Royalti kepada Nusa Inc.
  • Nusa Inc juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Nusahati melalui BUT Nusa Inc, dalam rangka pemasaran produk PT. Nusahati yang mempergunakan merek dagang tersebut.

Kedua kondisi tersebut, penggunaan merek dagang oleh PT. Nusahati mempunyai hubungan efektif dengan BUT Nusa Inc, sehingga atas penghasilan Royalti yang diterima head Office yaitu Nusa Inc, diperlakukan sebagai penghasilan Bentuk Usaha Tetap. Walaupun tujuan Usaha didirikannya BUT di Indonesia yang bergerak dalam bidang jasa manajemen, karena pembayaran Royalti ke Nusa Inc dianggap masih berhubungan efektif dengan jasa manajemen yaitu penggunaan merk dagang.

Demikian halnya dengan biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia, serta biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut diperbolehkan untuk dibebankan sebagai biaya bagi bentuk usaha tetap.

Contoh Penghasilan Suatu BUT

BUT. Nusa AG bergerak dalam bidang penjualan mesin penggerak (turbin) , pada tahun 2022 kaitan dengan BUT Nusa AG diperoleh informasi sebagai berikut :

  • Membukukan penjualan mesin turbin sebesar Rp. 250 miliar;
  • Beberapa konsumen Indonesia membeli mesin turbin langsung dari Nusa AG yang berada di Jerman senilai Rp. 120 miliar;
  • Head Office (HO) yaitu Nusa AG  juga memperoleh penghasilan dari jasa instalasi dan perawatan mesin turbin dari Indonesia senilai Rp. 42 miliar, dimana pekerjaannya dalam hal ini dilakukan melalui BUT Nusa AG dan atas hal ini BUT Nusa AG memperoleh imbalan dari HO Nusa AG senilai Rp. 5 Miliar ;

Maka, sesuai ketentuan ketiga penghasilan tersebut  merupakan penghasilan dari BUT. Nusa AG dengan klasifikasi :

  • Atribusi Faktual, penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai (Pasal 5 ayat (1) huruf a) yaitu sebesar Rp. 250 miliar;
  • Force of Attraction, penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan oleh BUT di Indonesia (Pasal 5 ayat (1) huruf b) yaitu sebesar Rp. 120 miliar;
  • Atribusi karena hubungan efektif (Effectively Connected); penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (pasal 5 ayat (1) huruf c) yaitu sebesar Rp. 42 miliar.

 

… Loading

Artikel BUT Terkait lainnya :