Sebelum maraknya isu praktek pencucian uang (beberapa hari terkahir ini semakin santer terlebih kasus Sambo dengan pemicu diawali dari pembunuhan dan kasus yang mengikutinya seperti kasus Rafael yang diawali dari perkelahian remaja) dan kejahatan keuangan lainnya yang dinsinyalir ratusan triliun, penulis telah beberapakali pula menuliskan kaitan dengan praktek ini ditinjau dari sudut perpajakan yang bisa dibaca diantaranya :

Dari sekian banyak tulisan tersebut di atas pertanyaannya adalah, apakah sedemikian gampangnya uang diperoleh sehingga seseorang dapat mengeluarkan uang miliaran hanya untuk membeli sebuah tas? Sebagai petugas negara dalam bidang perpajakan tinggal melihat apakah Wajib Pajak tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan pembelian tas tersebut melalui Surat Pemberitahuan Tahunan yang dilaporkan. Sebenarnya, jika ada indikasi yang kurang klop sehingga perlu dilakukan klarifikasi bahkan sampai penyidikan, penyidik Direktorat Pajak Pajak sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana dan UU KUP memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam UU TPPU diantaranya :

  • Menerima dan menindaklanjuti Laporan Hasil Analisis dari PPATK atau informasi, data laporan atau pengaduan, tentang adanya indikasi tindak pidana pencucian uang;
  • Memerintahkan kepada Pihak Pelapor untuk melakukan penundaan transaksi terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
  • Memerintahkan kepada pihak pelapor untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
  • Meminta pihak pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai harta kekayaan.

walaupun penulis tidak pernah tahu apakah hal tersebut sudah pernah dilaksanakan dan semudah dan semanis kata-katanya.

Baru-baru ini penulis tak sengaja mendengar ulasan dari Prof. Rhenaldi Kasali, Ph.D melalui aplikasi tik-tok terkait ciri-ciri pelaku pencucian uang (money laundry) diantaranya adalah :

  • Tiba-tiba usaha menjadi sangat besar;
  • Easy money, seakan-akan uang turun dari langit;
  • Selalu punya alibi, bahwasanya uang berasal dari usaha/bisnis;
  • Bukan bangun usaha melainkan bangun “New Empire”;
  • Modal dari warisan dan/atau Bisnis Yang Sulit Dipahami; Bisnis “Sunset”;
  • Ada sosok “tersembunyi” di belakang mereka;
  • Bisnisnya tumbuh besar tapi tak punya keahlian bisnis;
  • Dikeliling oleh media komunikasi;
  • Mereka terlihat “generous” (crazy rich : senang bagi-bagi uang);
  • Tiba-tiba bermasalah (karena dikelilingi orang-orang yang tidak punya values).

Ciri-ciri tersebut diatas sesungguhnya adalah hal-hal yang paling sering terungkap, semisal saat Najwa Shihab dengan Frederich Yunadi, dimana Frederich mengatakan bahwa sumber uangnya berasal dari “Warisan Yang Dikembangkan”. Artinya mungkin dia dapat warisan lalu dikembangkan melalui bisnis dan tumbuh pesat sehingga mudah baginya membeli sebuah tas hermes miliaran seperti membeli popcorn di bioskop yang menurut saya popcorn saja agak mahal hehehe…

Uang Kotor dan Dampaknya

Tentu kita mengetahui bahwasanya uang itu pasti kotor dan mengandung bakteri dalam arti yang sebenarnya, namun bukan karena itu seorang Novelis dari Spanyol yang bernama Carlos Ruiz Zafon mengatakan “Do you think it’s dirty money? All money is dirty, If it were clean, nobody would want it“, kalimat ini lebih kepada pembenaran bagi para pelaku kejahatan dalam melakukan pencucian uang dari hasi kejahatannya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kurun waktu 2004 s.d. 2013 data dari Global Financial Integrity menyatakan bahwa aliran dana gelap dari indonesia ke Luar negeri hampir mencapai Rp. 200 triliun. bahkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengindikasikan lebih dari 500 ribuan rekening dengan saldo besar tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Laporan PPATK seperti diaminkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang mengatakan dari 24 juta akun rekening, jumlah rekening dengan nilai di atas Rp. 1 miliar mencapai 520 ribu rekening.

Asal muasal timbulnya UU Nomor 30 Tahun 2002 s.t.d.t.d UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; adalah karena memang dampak dari tindakan yang bersumber dari uang kotor diantaranya :

  • Merugikan rakyat miskin secara besar-besaran, dimana terjadi penyimpangan dana-dana pembangunan.
  • Melemahkan pemerintahan dalam memberikan pelayanan-pelayanan yang bersifat dasar.
  • Memperbesar ketidak setaraan dan ketidakadilan
  • Mengurangi masuknya bantuan luar negeri dan investasi
  • Ekonomi tidak bekerja sebagaimana mestinya dan
  • Menjadi rintangan dalam mengentaskan kemiskinan.

Direktorat Jenderal Pajak dan Pengampunan Pajak

Salah satu manifestasi dari rasa bersalah (guilty feeling) dan dirindukan berbagai pihak dan direalisasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan didukung oleh Presiden adalah dibukanya Pengampunan Pajak. Pengampunan Pajak adalah berdamai, menahan diri, dan rekonsiliasi dengan lembut memanggil dan mengajak Ungkap, Tebus Lega (masih ingat kan?). Momentum Pengampunan Pajak ini yang dimulai tanggal 23 September 2016 melalui UU Nomor 11 Tahun 2016, bahkan penulis berseru-seru di sepinya keramaian yang dapat dibaca dalam tulisan diantaranya sebagai berikut :

Hasil dari UU Pengampunan Pajak yang diikuti oleh 973,4 ribu Wajib Pajak dengan total uang tebusan mencapai Rp. 115,9 triliun. Adapun harta yang diungkap mencapai sebesar Rp4.884,2 triliun, yang terdiri dari deklarasi harta dalam negeri Rp3.700,8 triliun, deklarasi harta luar negeri Rp1.036,7 triliun, dan harta repatriasi aset Rp146,7 triliun, suatu pencapaian yang spektakuler sepanjang peradaban perpajakan Indonesia.

Namun, yang menjadi pertanyaan bagaimana penegakan hukum pasca Pengampunan Pajak, bahkan sampai dibukanya kembali pengampunan pajak berupa Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada periode 1 Januari 2022 s.d. 30 Juni 2022 tapi kok malah muncul kasus uang triliunan sebagaimana di awal tulisan tadi, apakah harta temuan itu diluar dari pengungkapan harta selama ini atau data sama yang terus digodog2 untuk hal tertentu, seperti menjelang pemilu 2024 misalnya…

Loading…