Dalam tulisan-tulisan terdahulu terkait pemajakan atas ekonomi digital pernah berkali-kali penulis ulas diantaranya :
- Sekilas tentang pajak atas e-commerce (Part 1)
- Sekilas tentang pajak atas -e commerce (Part 2)
- Aspek Pajak atas Perusahaan Berbasis Teknologi dan Internet
- Prosedur Pemajakan terkait e-commerce
- Pajak dan Perkembangan Ekonomi Digital
Berdasarkan tulisan tersebut diperoleh informasi bahwasanya pemajakan atas transaksi tersebut dibedakan atas penghasilan dalam negeri (WPDN) dan bisa merupakan penghasilan bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) Luar Negeri. Dalam negeri apabila pusat administrasinya berada di dalam negeri, sementara Luar Negeri apabila pusat administrasinya berada di luar negeri.
Ekonomi Digital dan Model Bisnisnya
Kemajuan teknologi menawarkan alternatif-alternatif dalam model transaksi baik antar personal maupun masyarakat kaitannya dalam aktifitas ekonomi dan perdagangan. Ekonomi digital dimaknai sebagai aktifitas ekonomi dan bisnis yang berbasis teknologi digital, yang merupakan pelaksanaan kegiatan ekonomi dan bisnis melalui pasar yang berbasis internet dan web (World Wide Web). Pilar-pilar yang menjadi dasar ekonomi digital adalah instruktur teknologi (hardware, software, dan jaringan internet), e-business (aktivitas berbasis jaringan komputer) , e-commerce (transaksi perdagangan secara online). Terdapat 4 (empat) model transaksi jenis ini yaitu :
- Online Marketplace, kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha berupa Toko Internet di Mal Internet sebagai tempat Online Marketplace Merchant menjual barang dan/atau jasa. Contoh online marketplace yang kita kenal diantaranya tokopedia, bukalapak, Lazada, Shopee dan lain-lain
- Classifed Ads, kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu untuk memajang content (teks, grafik, video penjelasan, informasi, dan lain-lain) barang dan/atau jasa bagi Pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada Pengguna Iklan melalui situs yang disediakan oleh Penyelenggara Classified Ads. Contoh classifed ads yaitu Berniaga, TokoBagus, dan OLX.
- Daily Deals, merupakan kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha berupa situs Daily Deals sebagai tempat Daily Deals Merchant menjual barang dan/atau jasa kepada Pembeli dengan menggunakan Voucher sebagai sarana pembayaran. Contoh daily deals di Indonesia adalah bucketlist, dealgoing, grivy,Groupon dan lain-lain.
- Online retail, kegiatan menjual barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh Penyelenggara OnlineRetail kepada Pembeli di situs Online Retail. Contoh online retail di Indonesia adalah blanja.com, elevenia, matahari mall.
Perpajakan Atas Ekonomi Digital
a. Pajak Penghasilan
Secara Prinsip tidak ada perbedaan aspek perpajakan antara transaksi perdagangan e-Commerce dengan perdagangan konvensional. Karena yang menjadi objek pajaknya adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesai, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan, antara lain tapi tidak terbatas pada:
- Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas;
- penghasilan dari usaha dan kegiatan;
- penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
- penghasilan lain-lain.
b. Pajak Pertambahan Nilai
Sama halnya Pajak Penghasilan, maka yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai adalah penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah pabean; impor Barang Kena Pajak Pemanfaatan baran Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatna Jasa Kena Pajak dari luar Daerah pabean di dalam Daerah Pabean; dan Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Perpajakan atas Ekonomi Digital untuk WP Dalam Negeri
Jika kita melihat dan membaca dalam tulisan sebelumnya yang berjudul Sekilas tentang pajak atas e-commerce, ketentuan yang mengatur adalah SE-62/PJ/2013 ditetapkan tanggal 27 Desember 2013 tentang penegasan ketentuan perpajakan atas transaksi e-commerce. Namun, ketentuan dalam SE-62/PJ/2013 lebih relevan untuk kontek domestik, yaitu jika pihak yang terlibat dalam transaksi digital merupakan subjek pajak dalam negeri dan transaksi dilakukan dalam yurisdiksi Indonesia.
Sejak 1 April 2019, melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 210/PMK.010/2018 tanggal 31 Desember 2018 tentang perlakuan perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik, pemerintah memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan perpajakan setara dengan pelaku usaha konvensional. (Prosedur Pemajakan terkait e-commerce)
Pengawasan administrasi dan kepatuhan pajak untuk model bisnis digital bisa dilakukan melalui berbagai terobosan administrasi, misalnya dengan menunjuk online marketplace sebagai pemungut pajak. Sementara untuk PPN, mekanisme wajib pungut (VAT reverse charge) beserta kewajiban registrasi pemain asing untuk mendapatkan nomor pengukuhan pengusaha kena pajak bisa menjadi solusi.
Perpajakan atas Ekonomi Digital untuk WP Luar Negeri
Dalam era globalisasi bisnis dan transaksi ekonomi digital sering melibatkan dua atau lebih yurisdiksi atau negara. Interaksi sistem pajak antarnegara membuat pemungutan pajak akan jauh lebih sulit, terutama dengan terbukanya peluang penghindaran pajak. Dalam rangka menangkal skema penghindaran pajak tersebut kehadiran aturan khusus untuk memastikan pengenaan pajak bisa dijustifikasi menjadi sangat diperlukan.
Saat ini yang dapat dilakukan adalah dengan menetapkan Wajib Pajak seperti Google, Amazon, Facebook dan lain-lain menjadi Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) hal ini karena pusat administrasinya berada di luar negeri (umumnya di negara yang tarif pajaknya rendah). Namun, penetapan menjadi BUT menghadapi kendala karena menysaratkan kehadiran fisik dan fungsi signifikan sementara hal tersebut dihindari oleh pelaku ekonomi digital jenis ini.
Untuk kondisi ini melalui rancangan perubahan definisi Bentuk Usaha Tetap mutlak perlu dilakukan yang tidak lagi didasarkan pada kehadiran fisik melainkan kehadiran aktifitas ekonomi (significant economic present). Hal ini untuk menciptakan level of playing field (kesetaraan perlakuan) terhadap kegiatan digital terutama perusahaan besar yang selama ini beroperasi lintas negara.
Penutup
Baru-baru ini Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengaminkan bahwasanya besarnya potensi penerimaan pajak dari entitas ekonomi digital. Dari kalkulasi awal Ditjen Pajak (DJP) pada 2018, total konsumsi jasa dan barang tidak berwujud yang berasal dari luar negeri mencapai Rp93 triliun.
Berdasarkan kondisi ini maka potensial yang seharusnya diperoleh dari sektor jenis pajak Pajak Pertambahan nilai mencapai Rp. 9,3 triliun. Sementara transaksi internasional terkait ekonomi digital ini akan terus bertambah dan berkambang merujuk studi yang dilakukan oleh Google-Temasek hingga 2025 bisa mencapai Rp. 227 triliun.
Jika significant economic present dapat dijadikan dasar untuk menetapkan Wajib Pajak Luar Negeri menjadi BUT, maka bukan hanya berbicara potensi penerimaan negara dari sektor perpajakan untuk jenis pajak PPN saja melainkan jenis PPh dan aktivitas ekonomi lainnya. Akhirnya semoga apa yang menjadi angan-angan Direktorat Jenderal Pajak dalam Rancangan Undang-Undang tergait pajak atas ekonomi digital yang sedang digodok dapat terealisasikan. (baca Dari Wacana Penurunan Tarif sampai Penurunan Sanksi)
Loading…