Aspek perpajakan terkait Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi Warga Negera Asing (SPDN OP WNA), telah banyak dibahas dalam tulisan di blog nusahati diantaranya adalah :

Namun kali ini untuk melengkapi lebih lagi, penulis mencoba  mengangkat topik atas penghasilan dari luar negeri yang diperoleh SPDN OP WNA apakah dikenakan pajak di dalam negeri atau di luar negeri? mengingat salah satu elemen penghasilan dalam pasal 4 ayat 1 UU PPh adalah penghasilan yang diterima baik dalam dan luar negeri (worldwide Income).

Karena ini melibatkan 2 (dua) negara dimana disamping sebagai SPDN OP WNA dan juga adalah merupakan Warga Negara Asing sehingga  perlu memperhatikan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan  UU PPh/UU Negara Mitra dan pendekatan perjanjian bilateral perpajakan (Tax Treaty) atau dikenal dengan istilah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Contoh : Mr. Ai So Ise (tampak pada gambar) adalah Warga Negara Jepang yang bekerja di salah satu perusahaan PMA di wilayah Karawang dengan status SPDN OP WNA. Memiliki beberapa gedung pertemuan di negara Jepang yang disewakan. Atas penghasilan Mr. Ai So Ise  dari persewaan gedung pertemuan di negara Jepang dikenakan PPh dimana?

UU –  PPh

a. Subjek Pajak

Dalam pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh disebutkan bahwa  Subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Ketentuan ini dipertegas dalam peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-43/PJ/2011 tentang penentuan subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Artinya Warga Negara Asing yang tinggal lebih dari 183 hari atau kurang dari itu namun berniat tinggal di Indonesia adalah Subjek Pajak Dalam Negeri, berarti setiap kewajiban perpajakan  perlakuannya sama dengan Warga Negara Indonesia.

b. Objek Pajak

Dalam pasal 4 ayat (1) UU PPh disebutkan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Artinya setiap SPDN OP WNA yang memiliki objek pajak (penghasilan) baik yang diterima atau diperoleh yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia (global) terutang pajak di Indonesia.

Melihat perspektif ini maka Mr. Ai So Ise sebagaimana contoh di atas, atas penghasilan dari persewaan gedung pertemuan di negara Jepang dikenakan di Indonesia dan juga setiap aset yang dimiliki harus tercantum dalam kolom harta pada SPT Tahunan Mr. Ai So Ise agar Surat Pemberitahuan (SPT) tersebut dapat dikatakan benar, lengkap dan jelas.

UU – Jepang

a. Resident

Dianggap memiliki domisili di jepang apabila mempunyai pekerjaan di Jepang yang mewajibkan dia berada di Jepang terus menerus dalam jangka waktu 12 bulan atau lebih (jika dia berniat tinggal selama waktu 12 bulan atau lebih sejak awal, maka status residen dia sandang sejak kedatangannya di Jepang). Berkewarganegaraan Jepang atau bergantung kepada negara Jepang, dalam arti mempunyai ikatan yang kuat seperti pekerjaan atau kewajiban perpajakan.

Sebaliknya, seseorang dianggap tidak mempunyai domisili di Jepang apabila memenuhi keadaan atau mempunyai pekerjaan di luar Jepang yang mewajbkan dia berada di luar Jepang terus-menerus dalam jangka waktu 12 bulan atau lebih; atau tidak mempunyai kewarganegaraan Jepang atau secara umum bergantung kepada negara selain Jepang, dalam arti mempunyai ikatan yang kuat seperti pekerjaan atau kewajiban perpajakan dengan negara di luar Jepang.

b. Non Resident

Non resident adalah seseorang yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai nonpermanen residen ataupun permanen residen. Seseorang yang datang dan tinggal atau bekerja di Jepang selama kurang dari 12 bulan adalah nonresiden. Sementara seorang ekspatriat di Jepang akan menjadi nonresiden sejak hari kepulangannya ke negeri asalnya. Penghitungan pajak untuk nonresiden di Jepang hanya akan dihitung berdasarkan penghasilan yang bersumber dari Jepang saja, tarifnya yaitu tarif flat sebesar 20%. (tarif ini sama dengan di Indonesia di UU PPh pasal 26).

Sekilas Subjek dan Objek Pajak Negara Jepang

Untuk orang pribadi (individu) yang merupakan penduduk (resident individual) menggunakan asas domisili dimana berdasarkan asas ini seseorang penduduk jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang.

Sementara, untuk yang bukan penduduk (non-residen) Jepang dan badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di Jepang. Asas ini sama dengan yang dipakai di Indonesia.

P3B Indonesia – Jepang

Persetujuan antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Jepang tentang Penghindaran Pajak Berganda dan pencegahan pengelakan pajak yang berhubungan dengan penghasilan yang kemudian disebut P3B Indonesia – Jepang yang ditandatangani pada 3 Maret 1982 dan mulai berlaku pada 1 Januari 1983.

P3B Indonesia – Jepang merupakan langkah yang diambil kedua negara dalam mengatasi perbedaan pengaturan pemajakan terhadap residen maupun non residen sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri.

Misalkan dalam contoh di atas. Mr. Ai So Ise telah tinggal di Indonesia  selama 200 hari adalah SPDN. Sementara di Jepang masih dianggap sebagai resident. bagaimana perlakuan P3B Indonesia – Jepang?

Dalam pasal 4 ayat (2) P3B Indonesia – Jepang menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan ayat (1), seseorang atau suatu badan merupakan penduduk dari kedua negara, maka untuk tujuan persetujuan ini pejabat yang berwenang dari masing-masing negara, berdasarkan pemufakatan kedua belah pihak akan menentukan tempat kedudukan seseorang atau badan.

Menurut OECD Model dalam Model Tax Convention On Income and Capital, untuk kasus dimana dua negara mengklaim residen seseorang (double resident) sesuai UU di masing-masing negara maka untuk menentukan negara mana yang tepat menglaim seseorang tersebut sebagai residen adalah berdasarkan faktor berikut yaitu penggunaan tiebreaker rules berikut :

  • Keberadaan tempat tinggal tetap (permanent home)dianggap sebagai penduduk negara apabila ia mempunyai tempat tinggal tetap.
  • Keberadaan center of vital interests; apabila memiliki di dua tempat atau tidak memiliki sama sekali maka parameternya adalah tempat di mana ia mempunyai hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang erat (personal and economic relations).
  • Kebiasaan berdiam (habitual abode); jika kedua poin di atas  tidak dapat ditentukan maka berikutnya adalah ia dianggap sebagai penduduk di mana ia mempunyai tempat yang biasa ia gunakan untuk berdiam (habitual abode);
  • Persetujuan bersama (mutual agreement); jika ia menjadi warga negara dari kedua Negara Pihak pada Perjanjian atau sama sekali tidak menjadi warga negara salah satu Negara tersebut, maka pejabat-pejabat yang berwenang dari Negara Pihak pada Perjanjian akan menyelesaikan masalahnya berdasarkan persetujuan bersama (mutual agreement);

Simpulan

Untuk dapat menyimpulkan penghasilan Mr. Ai So Ise (SPDN OP WNA)  atas beberapa gedung pertemuan di negara Jepang dipajaki di negara mana adalah dengan memperhatikan ketentuan tiebreaker rules tersebut di atas sebagaimana amanat dalam Pasal 4 ayat (2) P3B Indonesia – Jepang. Maka menurut pendapat penulis atas penghasilan tersebut terutang (dipajaki) dan dilaporkan di Indonesia apabila :

  • Jika Mr. Ai So Ise memiliki rumah di indonesia (entah itu sewa atau berupa apartemen) dan ternyata di Jepang juga memiliki rumah maka poin 1 dalam ketentuan tiebreaker rules belum menyelesaikan masalah;
  • Jika  Mr. Ai So Ise didampingi keluarganya (anak dan istri) di Indonesia, maka pengertian center of vital interest tersebut yaitu memiliki keluarga di Indonesia (personal relations) dan memiliki penghasilan di Indonesia maupun Jepang (economic relations) terpenuhi.

Perlu diketahui bawah pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) dikatakan lengkap, benar, dan jelas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU KUP dan penjelasannya adalah :

  • benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
  • lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
  • jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.

Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

… Loading