Baru-baru ini penulis menerima pesan melalui WA dari pembaca blog Nusahati yang berintikan kekhawatiran atas harta yang dimiliki di lembaga keuangan sementara dia adalah seorang pensiunan. Walaupun secara prinsip terdapat pengecualian terhadap petani, nelayan, pensiunan, tenaga kerja indonesia atau bersumber dari subjek pajak warisan yang belum terbagi namun kekhawatiran ini muncul akibat deterrent effect dari informasi penegakan hukum pasca pengampunan pajak (tax amnesty) bahwa atas harta yang diperoleh sejak tahun 1985 s.d. 2015 yang tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan akan menjadi objek pengenaan pajak dengan sanksi yang besar. Terkait hal ini dapat dibaca melalui tulisan sebagai berikut :
- Penegasan dan Arah Kebijakan DJP Pasca Amnesti Pajak
- Harta bersih sebagai penghasilan
- Amnesti Pajak & Kemerdekaan
- Amnesti Pajak Suatu Solusi
Peristiwa tersebut di atas adalah menggambarkan bahwa sanksi atau denda yang dilakukan pasca amnesti pajak dan dirasakan secara adil menyeluruh akan membuat gentar dengan melaksanakan kewajiban perpajakan secara sukarela atau bersifat dipaksakan yang bermuara kepada kepatuhan perpajakan. Dalam teori slippery slope yang dikemukakan oleh Erich Kirchler dan kawan-kawan pembayar pajak dikelompokkan ke dalam dua dimensi utama dan membutuhkan perlakuan berbeda dalam tiap tingkatannya. Kedua dimensi tersebut adalah kepercayaan masyarakat kepada otoritas pajak (trust in authorities) dan kewenangan otoritas pajak (power of authorities).
Target dan Realisasi Perpajakan 2018
Dalam APBN 2018 salah satu kebijakan pokok yang akan dilakukan adalah melakukan optimalisasi pendapatan negara dengan target penerimaan yang realistis berdasarkan basis data terkini (arah perpajakan Indonesia tahun 2018). Target penerimaan pajak 2018 tumbuh dengan optimisme sebesar 24,46% dari realisasi tahun sebelumnya atau sebesar Rp. 1.423.995.493.162.000,- dengan rincian sebagai berikut :
- PPh Non Migas Rp. 806.877.581.104.000,-
- PPh Migas Rp. 38.134.050.000.000,-
- PPh DTP Rp. 10.121.831.058.000,-
- PPN Rp. 541.801.130.000.000,-
- PBB Rp. 17.369.101.000.000,-
- Pajak Lainnya Rp. 9.691.800.000.000,-
Sampai dengan hari ini realisasi baru mencapai 34.64% hampir setengah perjalanan dalam tahun 2018 sementara beberapa kebijakan stimulus fiskal banyak diberikan termasuk rencana penurunan tarif PPh Final untuk Usaha Mikro Kecil menengah (UMKM) yang berlaku Juli 2018 nanti semakin membuat jalan untuk merealisasikan target penerimaan semakin dibutuhkan kerja keras dan campur tangan Tuhan.
Kepatuhan Perpajakan Sukarela (Voluntary Tax Compliance)
Kepatuhan sukarela adalah kepatuhan Wajib Pajak yang berdasarkan kesadaran tentang kewajiban perpajakan, tidak ada paksaan dan tidak juga karena takut sanksi perpajakan. Kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary tax compliance) merupakan tulang punggung dari self assesment system, dimana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan kemudian secara akurat dan tepat waktu dalam membayar dan melaporkan pajaknya.
Namun, ketika kondisi kepercayaan masyarakat rendah (akibat korupsi oknum pajak, sistem yang buruk, pembangunan yang lambat) dan kewenangan otoritas pajak lemah maka masyarakat akan cenderung untuk memanfaatkan secara maksimal kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak sehingga membawa efek kepatuhan perpajakan yang rendah.
Penulis yang sepanjang perjalanannya sebagai petugas pelaksana garda terdepan yang mengawasi kepatuhan Wajib Pajak serta sebagai pengajar sekaligus penulis dan pengamat kebijakan perpajakan sangat memahami dan menyimpulkan bahwa kepatuhan perpajakan sukarela akan muncul apabila inklusi perpajakan dan manfaatnya telah mencapai semua lini masyarakat maka kegiatan ekonomi bawah tanah (underground economy) akan menjadi kekuatan baru dalam peningkatan penerimaan pajak.
Kepatuhan Perpajakan Dipaksakan (Enforced Tax Compliance)
Kepatuhan yang dipaksakan adalah kepatuhan Wajib Pajak karena keterpaksaan atau dorongan hal lain, seperti terpaksa patuh karena takut sanksi yang lebih berat. Jika pajak tidak ada sanksi yang berat, tentu hanya sedikit sekali Wajib Pajak yang bayar pajak.
Keadaan kepatuhan Wajib Pajak berubah saat terjadi perubahan tingkat kewenangan otoritas pajak ke arah yang lebih tinggi walaupun kepercayaan berada di tingkat yang rendah. Peluang masyarakat untuk menghindari pajak menjadi lebih kecil akibat peningkatan kewenangan, sehingga terjadi kepatuhan pajak. Peningkatan kepatuhan ini tentu tidak bersikap sukarela.
Tercipta sebuah kepatuhan yang dipaksakan karena peningkatan kewenangan otoritas pajak yang dapat berupa penambahan jumlah pemeriksaan dan sanksi akan membuat masyarakat takut pada konsekuensi hukum ketika melakukan penghindaran pajak (Tragedi bagi PKP yang Abai Kewajiban Perpajakan).
Penutup
Dari banyak pengamatan langsung, penulis melihat bahwa kepatuhan perpajakan cenderung meningkat apabila dilakukan pemeriksaan secara merata dan pengenaan denda yang cukup tinggi atas pelanggaran pajak yang dilakukan. Namun hal ini juga menjadi kontraproduktif ketika masyarakat wajib pajak merasa tindakan pemeriksaan yang dilakukan sebagai sinyal ketidakpercayaan otoritas pajak.
Dari hasil penelitan yang dilakukan oleh Torgler dan Murphy (2004) menemukan bahwa kepercayaan masyarakat yang tinggi memberikan resistensi yang kecil pada otoritas pajak yang dapat mempengaruhi peningkatan kepatuhan pajak yang positif, survey dilakukan terhadap 2.292 penghindar pajak yang ada di Australia.
Dalam suatu kunjungan kepada beberapa subjek pajak orang pribadi, penulis mendapati bahwa pembangunan yang nyata dilakukan sekarang ini membuat mereka rela membayar perpajakan lebih besar dari sebelumnya bahkan lebih mudah meminta wajib pajak untuk lebih jujur dalam membayar kewajiban perpajakannya. Sehingga tiba pada suatu kesimpulan bahwa kepercayaan masyarakat Wajib Pajak berperan penting dalam peningkatkan kepatuhan pajak dan agar kepercayaan ini meningkat maka peran inklusi perpajakan dan realisasi kerja positif birokrat dan pembangunan nyata menjadi penting. Apakah Direktorat Jenderal Pajak mampu memenuhi target 2018 yang per awal bulan Juni 2018 ini baru mencapat 34,64%?
…