Tak terhitung banyaknya persoalan yang penulis hadapi sebagai petugas pajak yang langsung berhadapan di lapangan, khususnya terkait wakil atau  kuasa Wajib Pajak. Dan hampir semua profesi pernah datang mengatasnamakan  kuasa Wajib Pajak baik yang memiliki surat kuasa bermaterai maupun tidak, diantaranya,  Manager, Wartawan, Polisi, Tentara, Pengacara, Anggota Dewan, Tenaga Ahli Anggota Dewan, LSM dan lain-lain terlebih ketika penulis sebagai pelaksana Penelaah Keberatan yang bersinggungan dengan upaya hukum Wajib Pajak. Selalu yang menjadi acuan kami adalah ketentuan peraturan perpajakan yang tidak lain adalah pasal 32 UU KUP dan aturan turunannya mulai dari PMK 576/KMK.04/2000 yang telah dicabut/diganti terakhir dengan PMK nomor 229/PMK.03/2014 tentang persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa, hal ini pernah penulis tuliskan dalam blog nusatax ini dengan judul  “Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa” demikian hal tentang konsultan pajak dalam tulisan berjudul “Sekilas Tentang Konsultan Pajak“.

Namun, kini sejak dikeluarkannya  putusan terkait pelaksanaan hak pemenuhan kewajiban seorang kuasa dalam Putusan MK nomor 63/PUU-XV/2017 yang diputuskan tanggal 12 April 2018 dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi tanggal 26 April 2018 di mana Mahkamah Konstitusi telah melakukan uji konstitusionalitas dari ketentuan pasal 32 ayat (3a) UU KUP atas gugatan dari pemohon  yang kesemuanya adalah advokat – Pengacara, maka ada warna lain terkait hak dan kewajiban seorang kuasa sebagaimana diatur dalam PMK nomor 229/PMK.03/2014.

Berikut ini coba penulis ringkas, uraikan kronologis Putusan MK nomor 63/PUU-XV/2017 yang kesemuanya penulis ambil dari putusan yang terdiri dari 136 lembar tersebut, media, dan beberapa opini penulis yang berguna sebagai gambaran, semoga memberi informasi yang bermanfaat.

Penolakan Menjadi Kuasa WP Oleh KPP 

Adalah penolakan Kantor Pelayanan Pajak terhadap seorang kuasa Wajib Pajak yang adalah seorang advokat dan pengacara yang memiliki sertifikasi tambahan seperti Kurator, Legal Auditor, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak dan memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal pajak saat mendampingi klien di salah satu Kantor Pelayanan Pajak.

Apa yang dilakukan oleh petugas Kantor Pelayanan Pajak tersebut akan sama seperti apa yang akan penulis lakukan dan mungkin seluruh petugas perpajakan di Indonesia dengan panduan Kuasa Wajib Pajak sesuai pada Pasal 23 ayat (3a) UU KUP dengan penjabaran pada PMK 229/PMK.03/2014 yaitu bahwa Kuasa Wajib Pajak mesti seorang Konsultan atau Karyawan Wajib Pajak. Harapan penerapan aturan ini dan  menjadi penting adalah agar ada kesepahaman dalam memandang suatu kasus perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan.

Gugatan Terhadap Pasal 32 ayat (3a) UU KUP

Salah satu yang diminta dalam gugatan (petitum) adalah  Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang berbunyi  ”Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.” adalah bertentangan dengan UUD tahun 1945 dan tidak mengikat.

Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak sesuai atau bertentangan dengan pasal 27 ayat (1), (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UU 1945. Sehingga jika hal tersebut diabaikan akan merugikan atau berpotensi merugikan hak konstitusi yaitu hak pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adli serta perlakukan yang sama dihadapan hukum. Maka dengan adanya pasal 32 ayat (3a) UU KUP telah timbul kerugian dan potensi kerugian akibat kewenangan mutlak/absolut Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa.

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi

Adapun amar putusan dari mahkamah Konstitusi terkait petitum adalah mengabulkan permohonan untuk sebagian, dan menyatakan frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” dalam pasal 32 ayat (3a) UU KUP secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berkenaan dengan yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak kewajiban warga negara.

Permasalahan yang digugat adalah permasalahan pendelegasian kewenangan dalam pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dianggap bertentangan dengan UU 1945. maka Mahkamah Konstitusi berkesimpulan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :

  • Hal-hal terkait dengan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan UU 1945 yang merupakan pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan atau pencabutan hak-hak tertentu dari warga negara harus diatur dalam undang-undang. Artinya hal-hal yang bersifat pembatasan hak dan kewajiban yang belum diatur dalam UU tidak dapat didelegasikan melalui sebuah peraturan menteri sebagai peraturan pelaksana atau peraturan teknis (kaitan dengan UU 12/2011).
  • UU KUP  hanya sebatas mengatur syarat umum dari seorang kuasa Wajib Pajak (WP), yaitu memahami masalah perpajakan. hal yang tidak diatur  dalam UU KUP yaitu :
    • UU KUP tidak mengatur lebih lanjut kriteria orang yang dapat bertindak sebagai kuasa.
    • UU KUP tidak mengatur apa standar pemahaman masalah perpajakan yang harus dimiliki oleh seorang kuasa untuk dapat bertindak sebagai kuasa WP.
    • UU KUP tidak mengatur tentang bagaimana seorang kuasa menjalankan hak dan kewajibannya sebagai kuasa.
    • UU KUP tidak mengatur tentang status Kuasa WP sebagai profesi yang mandiri dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan WP.
  • Terdapat contradiction in terminis dari penjelasan Pemerintah dan DPR, terutama dengan memposisikan pengaturan terkait persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa sebagai suatu yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya didelegasikan kepada Menteri. Apabila pengaturan tentang persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa WP merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan WP, maka semestinya materi pengaturannya tidak diserahkan kepada Peraturan Menteri. Sebab, Menteri sebagai pelaksana UU, di dalam praktik sangat mungkin berhadapan dengan WP dan/atau Kuasa WP, sehingga bagaimana mungkin kepentingan WP akan dapat terlindungi bilamana Kuasa WP diatur dan dibatasi melalui Peraturan Menteri yang tidak menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban penerima Kuasa WP secara bebas dan mandiri. UU harus mengatur secara jelas mengenai persyaratan bagi orang yang akan bertindak sebagai kuasa WP, baik syarat administratif maupun syarat kompetensi. Pada saat yang sama, UU juga harus mengatur dan menjamin bahwa Kuasa WP harus dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara bebas dan mandiri.
  • Sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh UUD 1945 bahwa pendelegasian kewenangan dari peraturan yang lebih tinggi kepada peraturan yang tingkatannya rendah, secara doktriner tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang secara konstitusional seharusnya menjadi substansi materi muatan dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan hierarkinya. Sesuai dengan sifatnya sebagai delegasi yang bersifat teknis administatif, maka di satu pihak, pengaturan demikian tidak boleh mengandung materi muatan yang merugikan hak WP dalam memberikan kuasa kepada pihak manapun yang dinilainya mampu memperjuangkan hak-haknya sebagai WP dan menurut UU absah untuk menerima kuasa serta, di lain pihak, tidak menghambat atau mengurangi kewenangan negara untuk memungut pajak. Pendelegasian kewenangan mengatur hal-hal yang bersifat teknis administratif bukan dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih (over capacity of power) kepada Menteri Keuangan melainkan hanya mengatur lebih lanjut mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa”. Artinya, pengaturan itu tidak boleh berisikan materi muatan yang seharusnya merupakan materi muatan peraturan yang lebih tinggi, lebih-lebih materi muatan UU. Oleh karena itu, pendelegasian kewenangan mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa” sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya dapat dikatakan konstitusional jika materi aturan yang didelegasikan tidak membatasi hak konstitusional Warga Negara dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memahami masalah perpajakan dapat menjadi kuasa Wajib Pajak. Sikap pemerintah yang membatasi bahwa pihak yang benar-benar kompeten di bidang perpajakan adalah konsultan pajak dan karyawan Wajib Pajak adalah hal yang tidak dibenarkan.

Penutup

Implikasi Putusan MK nomor 63/PUU-XV/2017 bahwa kewenangan untuk menerima kuasa Wajib Pajak tidak lagi berada pada Konsultan Pajak atau Karyawan Wajib Pajak sebagaimana diatur dan dijelaskan pada Peraturan Menteri Keuangan nomor 229/PMK.03/2014, adalah bahwa semua profesi bisa menjadi kuasa dari Wajib Pajak asalkan memahami persoalan terkait perpajakan.

Kondisi ini pasti segera mungkin direspon oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan melibatkan semua pihak terkait, untuk melahirkan suatu panduan agar tidak terjadi gesekan ditingkat pelaksanaan di lapangan. Karena pada faktanya apa saja bisa dilakukan oleh orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dan kesempatan dengan cara yang tidak beres. Dan harus segera ada penjelasan atas kriteria dari  pengertian “memahami persoalan terkait perpajakan”.

Penulis yang adalah pegawai pajak yang mengisi waktu diluar jam kerja sebagai instruktur perpajakan di beberapa lembaga pendidikan selama kurang lebih 10 tahun terakhir ini sangat mengetahui kapasitas intelektual  perpajakan peserta didik yang fokus pendidikannya diluar ilmu perpajakan namun berkeinginan mengetahui ilmu pajak. Hal anomali  adalah ada salah satu peserta yang menurut penulis sudah memahami perpajakan, berpengalaman, memiliki kompetensi yang baik dalam hal perpajakan, namun tidak lulus dalam  USKP sertifikasi A yang diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara sertifikasi konsultan pajak, hal ini membuktikan bahwa sekedar memahamipun tidak cukup, ada banyak di luar faktor dari sekedar memahami untuk memenuhi kriteria sebagai Kuasa Wajib Pajak

Download Putusan Mahkamah Konstitusi : Nomor 63/PUU-XV/2017