Dalam hingar bingar pengampunan pajak yang UU-nya baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Selasa 28/06), timbul pemikiran bagaimana antisipasi kepatuhan pembayaran pajak pasca pengampunan pajak?
Seperti diketahui bahwa hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan tingkat kepatuhan membayar pajak setelah pengampunan pajak. Rancangan Direktorat Jenderal Pajak sudahlah tepat di mana setelah “Tahun Pembinaan” Wajib Pajak dilanjutkan dengan “Tahun Penegakan Hukum” namun fakta politik berkata lain setelah tahun pembinaan muncul masa “Pengampunan Pajak” yang berbarengan dengan tahun penegakan hukum. Dalam internal bathin saya (pelaksana) di Direktorat Jenderal Pajak terkait kekacauan ini ada pesan untuk tidak perlu diungkit-ungkit lagi, oleh karena itu penulis mencoba membantu dari sisi yang lain yaitu menginformasikan adanya Pertukaran Informasi Perpajakan dalam rangka penegakan hukum paska Amnesti Pajak.
Bisnis Pintar Pajak Kecil
Dalam tulisan nusahati di awal tahun 2014 yang berjudul “Sekilas Tentang Exchange of Information” adalah manifestasi dari rasa penasaran fiskus atas kondisi bisnis perusahaan PMA yang melulu rugi atau laba namun kecil yang menyebabkan kurang/hilangnya potensi-potensi penerimaan pajak di negara subur, indah dan ramah ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali isu-isu perpajakan internasional yang sering dipraktekan oleh para konglomerasi yang diantaranya meliputi :
- Treaty abuse, adalah situasi dimana seseorang yang tidak berhak atas manfaat tax treaty, namun menggunakan individu lain atau badan hukum lain sehingga dapat memperoleh manfaat tax treaty yang tidak tersedia secara langsung (IBFD International Tax Glossary, 2005) Contoh : Antara Indonesia dengan Singapura ada perjanjian pajak yang menyatakan bahwa penghasilan atas bunga yang diterima WN Singapura dari Indonesia dikenakan PPh 0%. Dengan kondisi tersebut Tuan Pramudya melakukan investasi berupa saham ke perusahaan di Singapura (saham di atas 50%) sehingga menjadi pemilik terbesar, lalu perusahaan di Singapura tersebut memberi pinjaman kepada PT. Nusahati di Indonesia dan PT. Nusahati memberikan bunga atas pinjaman ke perusahaan di Singapura. Maka sesuai P3B atau bunga tersebut tidak dikenakan PPh Pasal 26 sehingga perusahaan di Singapura memperoleh bunga secara utuh. Dari gambaran tersebut diperoleh kesimpulan bahwa Tuan Pramudya secara prinsip memberikan pinjaman kepada PT. Nusahati namun memanfaatkan perjanjian perpajakan (P3B) sekaligus dengan mendirikan perusahaan afiliasinya di negara tersebut, hal ini membuat perusahaan Tuan Pramudya yang ada di Singapura semakin berkembang dan hal ini otomatis menguntungkan Tuan Pramudya.
- Transfer Pricing, merupakan bagian dari suatu kegiatan usaha dan perpajakan yang bertujuan untuk memastikan apakah harga yang diterapkan dalam transaksi antara perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa telah didasarkan atas prinsip harga pasar wajar (arm’s length price principle).
- Thin Capitalization, merupakan pembentukan struktur permodalan suatu perusahaan dengan kontribusi hutang sebanyak mungkin dan modal sedikit mungkin. Hal ini didasarkan pada adanya perbedaan perlakuan perpajakan atas bunga (sebagai imbalan atas hutang) dan dividen (sebagai imbalan atas modal).
- Controlled Foreign Company, merupakan perusahaan terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang berada di negara-negara yang mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali (tax haven country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda pengakuan penghasilan dalam rangka penghindaran pajak (tax avoidance).
Perkembangan Peraturan Exchange Of Information
Sesuai dengan perkembangan dunia bisnis internasional yang semakin banyak variasinya dan untuk mengantisipasi segala upaya tax avoiding yang dilakukan maka dibuatlah beberapa perangkat hukum dan perubahannya demikian juga aturan terkait pertukaran informasi perpajakan, diantaranya :
- Pasal 32A UU PPh yang mengatakan “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”
- Pasal 55 dan 56 PP Nomor 74 Tahun 2011 yang menyatakan “ Pasal 55 Pemerintah Indonesia terikat P3B yang dilakukan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.” “Pasal 56 ayat 1 Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B sesuai dengan ketentuan P3B yang berlaku. Ayat 2 Direktur Jenderal Pajak dapat meminta informasi kepada Wajib Pajak atau pihak lain mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan yang akan dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat 3 Wajib Pajak atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi permintaan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan. Dan ayat 4 Dalam hal Wajib Pajak atau pihak lain tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak atau pihak lain dikenai sanksi sesuai dengan Undang-Undang.
- Peraturan Menteri Keuangan nomor 60/PMK.03/2014 tentang tata cara pertukaran informasi (exchange of information) stdtd Peraturan Menteri Keuangan nomor 125/PMK.010/2015.
Sesuai dengan konvensi atau perjanjian bilateral dan multilateral lainnya maka tidak diperkenankan negara atau yuridiksi yang dimintakan informasi untuk menolak pertukaran informasi (exchange of Information) semata-mata karena informasi yang dimintakan dimiliki/disimpan oleh bank, lembaga keuangan lainnya, orang/badan yang bertindak sebagai agen atau yang diberi kepercayaan/kuasa atau pihak lain yang berkepentingan terhadap kepemilikan informasi tersebut.
Pesan Kepada Konglomerat
Tidak dapat dipungkiri bahwa para konglomerat menggunakan tenaga yang handal untuk menjalankan manajemen perpajakan demi kelangsungan usaha, uang dan bisnis perusahaannya termasuk penggunaan perusahaan cangkang di sejumlah negara bebas pajak seperti : Bahama, Bermuda, British Virgin Islands, Cayman Island, dll.
Dalam pasal 18 ayat (2) UU Pengampunan Pajak disebutkan apabila Direktur Jenderal Pajak menemukan data/atau informasi mengenai harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 yang belum atau tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh maka harta tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan.atau informasi mengenai harta tersebut paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU pengampunan pajak berlaku.
Momentum pengampunan pajak telah terbuka yang mengindikasikan bahwa terbuka kesempatan bagi dana-dana yang tidak pernah terrecord dalam kekayaan individual atau corporate dalam Surat pemberitahuan (SPT) dengan tebusan yang jauh dari tarif pajak yang seharusnya. Melakukan tebusan adalah pilihan yang rasional mengingat setelah pengampunan pajak tentu diiringi dengan penegakan hukum dan salah satunya adalah pemanfaatan semaksimalnya media Eaxchange of Information (EOI) ini.
…
Artikel Menarik Lainnya :