Prof.-Eddy-MoelyadiI. Keberatan

Dasar Hukum

Pasal 25 UU KUP

  1. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
    1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
    2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
    3. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
    4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
    5. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  2. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
  3. Keberatan harus diajukan dalam Jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. 3(a). Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
  4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
  5. Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
  6. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
  7. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
  8. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
  9. Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
  10. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.

Pasal 26 UU KUP

  1. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan,
  2. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
  3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
  4. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
  5. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Dengan mengetahui Dasar hukum Pasal 25 dan Pasal 26 UU KUP tersebut di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

  • Keberatan merupakan hak Wajib Pajak
  • Menangguhkan waktu pelunasan jumlah pajak yang tidak disetujui pada pembahasan akhir saat pemeriksaan
  • Wewenang penyelesaian dan pengambilan keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak
  • Keputusan bisa menolak, mengabulkan, baik sebagian maupun seluruh keberatan Wajib Pajak, dan menambah jumlah pajak yang harus dibayar

II. Pengurangan/Penghapusan Sanksi & Pembatalan SKP/STP

Dasar Hukum
Pasal 36 ayat (1)

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat :

  1. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
  2. mengurangkan atau membatalkan suart ketetapan pajak yang tidak benar;
  3. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar;atau
  4. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa :
    1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan;atau
    2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.

Dengan memperhatikan ketentuan tersebut yaitu Pasal 36 ayat 1 a, b, c, dan d dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

  • Dapat dilakukan baik atas permohonan maupun secara jabatan
  • Keputusannya tidak dapat menambah jumlah yang harus dibayar oleh Wajib Pajak
  • Merupakan wewenang dan hak Direktur Jenderal Pajak yang diberikan oleh Undang-Undang, dan lebih bersifat kebijakan yang didasarkan pada unsur keadilan bagi Wajib Pajak.

Konsekuensi Yuridis

Bagi Wajib Pajak :

  • Menambah/mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar
  • Sanksi administrasi (psl 25 ayat (9) dan psl 27 ayat (5d) UU KUP) è Sanksi administrasi diberikan untuk menghindari adanya niat Wajib Pajak untuk menunda masuknya uang pajak ke kas negara

Bagi Direktorat Jenderal Pajak

  • Timbul tagihan pajak
  • Pengembalian pajak (psl 27A UU KUP)
  • Imbalan bunga (psl 27A UU KUP) è Pengembalian pajak dan imbalan bunga berdasarkan Undang-undang dan semata–mata melaksanakan putusan Hakim

Resiko Penyimpangan

DIPERLUKAN SISDUR & PENGAWASAN YANG TEPAT:

  • Adanya Benturan kepentingan (COI) è kebijakan yang diambil seharusnya tidak mengandung kepentingan apapun kecuali menurut UU dapat dikabulkan
  • Adanya tindakan terlarang (Actus Reus) è kolusi dengan WP
  • Adanya niat jahat (Mens Rea) dari pengambil kebijakan

Seperti diketahui bahwa Wajib Pajak yang merasa/tidak puas atas suatu ketetapan pajak dapat mengajukan Keberatan, dan apabila Wajib Pajak belum puas dengan keputusan keberatan dapat mengajukan Banding, dan apabila Wajib Pajak tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak dapat mengajukan Peninjauan kembali.

Maka terkait hal ini diperlukan sistem dan prosedur serta pengawasan yang tepat karena pada setiap tahapan kegiatan dalam pengajuan keberatan terdapat risiko/potensi terjadinya penyimpangan Fraud.

Penggunaan Wewenang Pejabat Pemerintahan

Dalam Pasal 8 UU nomor 30/2014 penggunaan wewenang Wajib berdasarkan :

  • Peraturan Per-UU
  • Azas=azas umum pemerintahan yang baik (AUPB) Kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan wewenang, keterbukaan, kepentingan umum, pelayanan yang baik.

Dalam Pasal 17 – 21 UU nomor 30/2014 dibahas tentang penyalahgunaan wewenang larangan penyalahgunaan wewenang meliputi larangan melampaui wewenang; larangan mencampuradukkan wewenang; larangan bertindak sewenang-wenang. Sementara dalam Pasal 22 – 32 UU nomor 30/2014 dibahas tentang Diskresi. Diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan

Tulisan di atas berjudul : Keberatan dan Pengurangan/Penghapusan Sanksi Serta Pembatalan STP/SKP, Disampaikan oleh : Anggota III BPK RI bapak Prof.Dr. Eddy Mulyadi Soepardi , MM., SE., Akt. CFr.A., CA. dalam acara Rakortas Keberatan dan Banding 2015 yang dilaksanakan tanggal 20 s.d 23 Oktober 2015 di Padma Resort Legian- Bali yang dihadiri pegawai Keberatan dan Banding seluruh Indonesia termasuk admin nusahati.com.  

Artikel Terkait Lainnya :