Sesungguhnya panas hati manusia akan menjadi syukur bagi-Mu, dan sisa panas hati itu akan Kau perikatpinggangkan. (Mazmur 76 : 11)

Sepertinya ayat yang kita baca di atas merupakan ayat yang tidak terlalu jelas pengertiannya, tetapi ayat ini mempunyai signifikansi yang tidak ada pada ayat lain manapun dalam Alkitab, karena hanya satu kali muncul di dalam Alkitab. Ayat ini mempunyai pengertian :”Kemarahan manusia akan menggenapkan dan menyempurnakan kemuliaan Allah; tetapi kelebihan kemarahan akandihentikan oleh Allah.” Kemarahan manusia akan menggenapkan dan menyempurnakan kemuliaan Allah. Namun, sisa-sisa dan kelebihan kemarahan yang tidak perlu akan dihentikan oleh Allah.

Kita masih terus masuk ke dalam tema utama Pengudusan Emosi, yaitu emosi yang kudus. Jika emosi tidak diberikan jalur atau memiliki rel yang merupakan koridor geraknya, orang itu akan bisa menyeleweng dan bisa masuk ke dalam tindakan yang berkelebihan, bisa merusak harmoni masyarakat, bisa melakukan hal-hal yang merugikan, bahkan dia sendiri bisa gila. Emosi harus mempunyai prinsip, mempunyai rel, mempunyai standar dan pimpinan Tuhan yang membatasinya. Dengan demikian, Tuhan yang suci akan menguduskan kita, Tuhan yang suci akan membersihkan kita dari segala kejahatan, termasuk kejahatan emosi.

Salah satu penyebab yang membuat seseorang menjadi gila adalah karena emosinya tidak terkontrol. Emosi perlu dikontrol, tetapi dikontrol oleh apa? Orang Gerika (Yunani Kuno) mengatakan bahwa emosi harus dikontrol oleh rasio. Kebenaran rasio mengatur bilamana kita marah, atau kita sedih, atau kita kuatir, atau kita susah, atau senang. Apakah cukup emosi dikontrol oleh rasio? Kalau emosi dikontrol oleh rasio, pertanyaan yang mengikutinya adalah : Apakah rasio merupakan kemutlakan tertinggi? Jika bukan, siapa yang mengontrol rasio? Ini tidak pernah terpikirkan oleh orang-orang Gerika: ataupun seandainya mereka memikirkan, mereka tidak mempunyai jawaban yang memuaskan.

Mereka hanya mengetahui bahwa filsuf adalah orang yang mempunyai posisi tertinggi dan memeiliki kebijaksanaan. Orang sedemikian dianggap sebagai orang yang bisa mengendalikan seluruh hidupnya sendiri. Alkitab mengatakan tidak demikian. Manusia tidak memiliki pikiran yang sempurna. Bahkan pikiran manusia sudah kacau. Pikiran manusia sudah menyeleweng dan tidak dipimpin oleh kebenaran. Pikiran bukan posisi tertinggi. Itu alasan Alkitab menuntut agar pikiran kita perlu ditundukkan ke bawah wahyu Tuhan Allah, yaitu kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan Allah sendiri. Selain itu, kita memerlukan Roh Kudus yang memimpin pikiran kita sehingga kita dapat mengerti apa yang dinyatakan di dalam Firman Tuhan. Inilah kelebihan Firman Tuhan tentang ajarannya dibandingkan dengan semua filsafat yang ada di dunia.

Tidak ada satupun filsafat dunia yang bisa disetarakan dengan pengajaran Firman. Alkitab lebih tinggi dari pada semua itu. Dan sebagaimana Roh Allah telah mewahyukan kebenaran, demikian juga Roh Allah memimpin kita masuk ke dalam seluruh kebenaran. Ketika kita hidup dipimpin oleh Roh Kudus maka Dia mengontrol seluruh pikiran kita dan emosi kita. Inilah yang disebut sebagai Pengudusan Emosi. Kita telah membicarakan Dukacita yang Kudus dan Sukacita Yang Kudus, yaitu dukacita dan sukacita yang sesuai dengan kehendak Allah. Sekarang kita akan membicarakan bagaimana seharusnya orang Kristen marah sesuai dengan kehendak Allah.

Kemarahan Sebagai Sifat Dasar Manusia

Siapa orang yang tidak bisa marah? Seorang anak yang masih sangat kecil pun sudah bisa marah. Orang yang tidak belajar apa-apa juga bisa marah. Marah bukan sesuatu yang memerlukan keahlian atau kemampuan khusus untuk melakukannya. Setiap orang bisa marah. Marah adalah suatu naluri atau insting atau pembawaan yang bersifat alamiah (natural). Kemarahan adalah sifat yang begitu mendasar, yang terkadang begitu cepat kita lakukan. Kalau kita tidak suka, kita segera marah. Sejak kecil kita biasa marah-marah. Anak kecil dengan kemarahannya bisa menaklukan orang tua, dan terkadang bisa membuat orang tua menjadi kehabisan akal. Kalau anak menginginkan sesuatu dan tidak diizinkan oleh orang tuanya, maka dia marah, menangis berteriak-teriak, lalu berguling-guling di toko, sampai orang tuanya menjadi malu, dan akhirnya menuruti kemauannya. Ini adalah gambaran anak yang gila dan ayah yang bodoh.

Anak saya pernah satu kali marah-marah seperti itu di sebuah toko serba ada di Singapura. Saat itu usianya baru dua tahun. Dia tidak mau diajak pulang. Maka saya langsung masuk ke taksi dan tinggalkan dia di muka pintu toko itu. Maka terjadilah adu marah. Dia pikir hanya dia yang bisa marah, dan orang tuanya tidak bisa marah. Kalau tidak mau pulang maka saya tinggalkan dia. Setelah saya tinggalkan dia, maka dia pun menangis. Menangis dan marah adalah saudara sepupu. Lalu saya minta taksi berputar dan jemput dia. Ini namanya marah dan kasih. Saya tidak akan tinggalkan anak di situ, apalagi usianya baru dua tahun. Tetapi dia sekarang sudah takut sekali saya tinggal. Kalau dia tidak saya tinggalkan, lalu menang dengan kemarahannya, bagaimana nanti posisi saya? Setiap posisi yang sudah dilampaui, apalagi dikuasai oleh emosi yang tidak benar akan menjadi kacau, karena itulah kita harus memegang prinsip, agar tidak menjadi kacau. Posisi yang ditetapkan oleh Tuhan tidak boleh diganggu. Posisi orangtua tidak boleh dilampaui anak, apalagi yang masih kecil. Jikalau anakmu marah, lalau kamu takluk kepada anakmu yang marah, maka sesudah itu, kamu tidak mungkin lagi menjadi orangtua yang bisa mendidik dia. Banyak orangtua gagal karena takluk kepada kemarahan anak. Banyak orangtua berbuat salah karena mengira dengan demikian mereka telah mencintai anak-anak mereka. Tetapi yang terjadi bukanlah mengasihi, melainkan perubahan garis otoritas (chain of authority). Perubahan garis otoritas adalah perubahan status. Ini bukan hal yang sederhana. Suami, istri, ayah, anak, dan seterusnya, masing-masing memiliki posisi dan status yang tidak boleh digeser. Kalau semua ini dikacaukan, maka hari depan akan rusak. Ketika saya kembali, anak saya sedang menangis keras sekali. Saat itu orang mulai banyak mendekati dan mau mengajak dia, tetapi dia tidak mau. Dia hanya mau papa dan mamanya, tetapi dia juga mau papa mamanya takluk kepada dia. Ini yang tidak boleh. Saya berhenti, lalu tanya sekali lagi, apakah dia mau pulang. Dia sekarang mau pulang. Saya ajak masuk ke taksi. Apakah langsung disayang? Tidak. Saya diamkan sebentar, lalu sampai dirumah saya mulai menanyakan kesalahannya, lalu dianalisis kesalahannya. Maka setelah emosinya berhenti, sekarang diajak berfikir menganalisis dengan rasio. Ini membuat dia mengerti kesalahannya, sehingga lain kali dia tahu bagaimana harus taat kepada orang tua. Mendidik anak bukanlah hal yang mudah. Setiap orang menganggap bahwa anak itu mutiara, tapi orang bisa merusak mutiara itu hanya karena terlalu sayang tanpa prinsip.

Terganggunya Hak Pribadi

Siapa yang tidak bisa marah? Sejak usia dua tahun anak sudah bisa marah. Kalau seseorang berteriak-teriak dan marah-marah, apa yang menjadi penyebabnya? Saya terus memikirkan apa sebenarnya pemicu atau alasan untuk seorang bisa dan boleh marah. Saya merasa hal ini perlu secara serius dicari. Kemarahan itu muncul terutama karena kita merasa terganggu. Hampir semua kemarahan muncul dari prinsip dasar ini. Kita tidak mau diganggu, maka kalau kita diganggu, kita akan marah. Semua kemarahan berasal dari sini. Tetapi apa yang membuat kita merasa terganggu? Apakah perasaan diganggu ini merupakan sesuatu yang harus kita junjung tinggi dan mutlak kita pertahankan, atau tidak? Jikalau sesuatu yang tidak mutlak kamu mutlakkan, maka kamu telah menjadikan hal-hal lain itu sebagai Tuhan Allah. Dan ketika yang kau anggap mutlak itu diganggu, maka kamu menjadi marah. Ini tidak benar. Saya percaya tema ini merupakan tema yang begitu penting dan serius, sehingga kita perlu membicarakannya.

Kita merasa ada “sesuatu” di dalam diri kita yang diganggu. Tetapi “sesuatu” itu apa? Itu adalah “Hak”-ku. Ketika hakku diganggu, maka saya akan marah sekali. Dan kalau begitu, apa kaitan masalah ini dengan pengajaran Yesus tentang penyangkalan diri? Tidak ada orang yang lebih diganggu haknya daripada Yesus. Dia adalah Allah. Ketika Dia menaati perintah Bapa untuk menjadi manusia, hak-Nya sebagai Allah telah dilanggar. Kini Kristus harus menjadi terbatas. Bagaimana manusia bisa membayangkan , Allah yang tak terbatas, Pemilik alam semesta, kini ditetapkan untuk menjadi manusia, menjadi daging yang hanya beberapa puluh kilogram, dan harus berjalan kaki di sekitar danau Galilea. Dia Pencipta semua itu, Dia Pencipta seluruh tata surya, pengatur semesta, tetapi kini harus menjadi begitu terbatas. Betapa hak-hak utamanya telah diambil. Dia harus merasakan lelah, merasakan haus, hingga manusia meminta air kepada seorang perempuan di tepi sumur Samaria. Dia juga harus tidur diperahu karena terlalu letih. Siapakah Dia? Dia adalah Allah yang menjadi manusia. Hak dan status-Nya bukanlah manusia, karena Dia adalah Allah. Tetapi dalam hal ini, Dia tidak merasa terganggu dengan keadaan itu. Namun, mengapa kita merasa terganggu ketika Kristus tidak terganggu?

Mengapa manusia merasa terganggu? Karena manusia telah memutlakkan hak relatif dirinya, sementara Kristus telah merelakan untuk tidak memutlakkan hak mutlak-Nya. Di sini letak perbedaannya. Inilah kerohanian sejati. Orang yang terus merasa terganggu, orang yang selalu merasa dirugikan, dan  terus marah-marah karena merasa diganggu, adalah orang yang kerohaniannya belum matang. Apalagi jika kita menyadari bahwa “sesuatu” yang terganggu itu sebenarnya bukanlah hal yang mutlak, tetapi kini telah kita mutlakkan. Kalau kita memutlakkan yang tidak mutlak, maka kita secara pura-pura atau terselubung mau menjadi Tuhan Allah. Justru Tuhan Allah, yang adalah Tuhan Allah yang mutlak, merelakan diri untuk memutlakkan kemutlakkan hak-Nya dengan cara berinkarnasi turun ke dalam dunia. Dia rela meninggalkan hak-Nya. Hak terbesar adalah hak untuk menyerahkan hak. Pernyataan ini merupakan intisari dari buku Tidakkah Kami mempunyai Hak? yang ditulis oleh Mabel Williamson, seorang misionaris dari China Inland Mission (sekarang Overseas Mission Felowship). Konsep dasar buku ini sendirinya bersumber dari ucapan Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 9. Dalam buku tersebut Williamson mengatakan:”Hak terbesar seorang manusia adalah haknya untuk melepaskan haknya sendiri.” (The greatest priviledge and the greatest right of a man is the right to give up his own right). Ini hak yang rela menyerahkan hak.

Semua percecokan dan perselisihan, hingga perkelahian dan peperangan, terjadi karena setiap orang ingin mempertahankan hak masing-masing. Kita bersikeras untuk tidak mau diganggu hak pribadinya. Ketika kita diganggu, kita menjadi marah. Marah adalah suatu naluri atau daya dasarnya, suatu sifat alamiah, emosi yang ada pada setiap makhluk yang ada di dalam dunia ini. Siapapun bisa marah. Jangan kamu pikir hanya kamu yang bisa marah, karena ketika kamu marah, orang lain bisa marah lebih hebat lagi. Maka dibutuhkan suatu pengatur untuk mengontrol kemarahan kita. Untuk ini kita perlu belajar dari contoh yang Tuhan Allah sendiri berikan.

Nama Buku        :  Pengudusan Emosi
Sub Judul           :  Sukacita Yang Kudus
Penulis                :  Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit              :  Momentum, 2011
Halaman           :  72 -80

Artikel Terkait :