Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan; sebab itu Allah, Allah-Mu telah mengurapi Engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutu-Mu.”  (Ibrani 1:9)

Ayat ini merupakan satu-satunya ayat di mana kita menemukan ada orang yang membenci dan dipuji oleh Tuhan. Orang yang penuh dengan kebencian, diurapi dengan minyak sukacita oleh Tuhan, karena dia membenci. Sepintas konsep ini aneh sekali dan hampir tidak pernah terjadi. Orang yang penuh dengan kebencian biasanya tidak disenangi oleh Tuhan. Tetapi justru kebencian Kristus adalah kebencian yang suci. Ini pengudusan emosi kebencian yang disenangi oleh Tuhan, yaitu membenci kefasikan. Mencintai keadilan dan membenci kefasikan adalah sikap yang sangat terpuji oleh Tuhan. Tema yang kini akan kita bicarakan adalah kebencian yang kudus.

Kebencian Yang Kudus : Membenci Kefasikan

Kebencian merupakan emosi yang dialami oleh setiap manusia. Sejak kecil kita sudah mengerti kebencian. Tetapi melalui pengalaman hidup yang makin lama makin banyak, makin lama makin mahir, kita bukan saja mengerti apa itu benci, bahkan kita melibatkan diri dalam kebencian. Kebencian bertumbuh di dalam hati sebagai bibit yang terus menjadi besar, berakar, dan akhirnya mungkin menjadikan kita orang yang sangat kejam, tidak berperikemanusiaan, dan akhirnya menjadi perusak hidup sendiri, perusak hidup orang lain, perusak masyarakat, bahkan perusak komunitas gereja yang seharusnya penuh cinta kasih.

Apa sebenarnya “kebencian” itu? Mengapa ada rasa benci dalam hidup manusia? Kebencian itu sesungguhnya ada gunanya atau tidak? Jikalau kebencian itu tidak perlu, mengapa Tuhan tidak menciptakan manusia dalam keadaan yang tidak mungkin membenci dan hanya mungkin mengasihi saja? Jika kebencian itu perlu, dalam hal apakah kita perlu membenci?

Kasih dan Kebencian

Kebencian merupakan salah satu emosi yang dimiliki oleh Kristus, itulah sebabnya kebencian tidak dapat dikatakan tidak perlu. Ketika Anak Allah berada di dunia, Dia pun mempunyai kebencian, sehingga kebencian pun merupakan suatu emosi manusia yang sama pentingnya dengan emosi kasih. Kasih dan kebencian, keduanya sejajar dan seimbang. Keduanya berada dalam satu emosi. Emosi kasih tidak mungkin menghindarkan diri dari kebencian. Emosi kebencian tidak mungkin menghindarkan diri dari mempunyai kasih. Kasih dan kebencian adalah dua aspek dari satu esensi. Kasih tidak bisa tanpa kebencian, dan kebencian tidak bisa tanpa kasih.

Bolehkah kita minta Tuhan menyingkirkan yang separuh dan menyisakan paruhan satunya lagi? Bolehkah kita meminta supaya kita hanya mempunyai kasih dan tidak mempunyai kebencian? Tidak bisa. Tuhan Allah pun sendiri mempunyai emosi yang terdiri dari dua aspek ini. Allah membenci dan Allah mengasihi. Allah adalah kasih, tetapi Allah juga api yang menghanguskan, yang akan membasmi dan menghancurkan segala sesuatu yang tidak berkenan dan tidak sesuai kehendak-Nya. Kebencian harus ada sebagai dasar tindakan dalam menyelesaikan sesuatu sesuai dengan kehendak dan substansi Tuhan Allah sendiri. Tetapi selain kebencian juga ada aspek emosi yang lain, yaitu cinta kasih. Jadi, kebencian dan kasih sama-sama bersifat mutlak. Jika demikian, apakah salah ketika kita membenci? Bolehkah kita berdoa, “Tuhan, singkirkan semua kebencian dari hati saya supaya saya tidak pernah bisa membenci lagi?”  Tidak bisa. Kebencian bukan saja ada sebagai fakta, tapi kebencian juga mutlak diperlukan, karena di dalam diri Allah pun ada kebencian. Mengapa Pdt. Stephen Tong berkata demikian? Bukankah kekristenan hanya mengajarkan kasih dan menolak kebencian? Ini merupakan pandangan yang muncul dari pengajaran yang tidak seimbang. Namun untuk menghindari salah pengertian tentang kebencian, dalam mempelajari kita harus membedakan berbagai aspek kebencian, dan memahami obyek apa yang boleh kita benci dan obyek apa yang tidak boleh kita benci.

Di sini dikatakan Yesus Kristus dipuji. “Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan, sebab itu Allah, Allah-Mu mengurapi Engkau dengan minyak sorgawi.”   Ini adalah Allah Tritunggal : Allah Bapa mengurapi Allah Anak dengan Allah Roh Kudus. Allah Anak mempunyai emosi yang kudus seperti Allah Bapa, maka Allah Bapa memberikan kenikmatan emosi kudus yang berlipat ganda dengan Allah Roh Kudus. Alkitab sepenuhnya adalah wahyu Tuhan yang mengungkap rahasia Allah. Ayat sebelumnya mengatakan, “Tetapi tentang Anak Ia berkata,”  Jadi, Allah Bapa mengatakan kepada Allah Anak bahwa Dia sangat diperkenan oleh Allah Bapa.

Seorang anak yang dipuji oleh bapanya adalah anak yang mengerti isi hati bapanya. Kadang kita berkata kepada anak kita, “Papa sangat bangga mempunyai anak seperti kamu. Karena kamu mengerti isi hati Papa, kamu meneruskan apa yang Papa inginkan. Kamu mencapai apa yang Papa harapkan darimu. Kamu mengejar target yang benar.” Sang bapa menikmati anak.

Demikianlah Allah Bapa menikmati Allah Anak dan berkata, “Anak-Ku. Engkau begitu mencintai keadilan. Engkau begitu membenci kefasikan. Sebab itu Aku mengurapi Engkau dengan minyak sukacita.”  Allah Bapa mengurapi Allah Anak dengan Allah Roh Kudus, sehingga Roh Kudus memenuhi Yesus Kristus dengan sukacita. Membenci dan mengasihi adalah emosi. Sukacita juga adalah emosi. Jadi, Allah kita bukan seperti Allah yang diajarkan teolog-teolog yang keterlaluan rasional sehingga seolah-olah di dalam kekristenan tidak ada lagi emosi. Itu pandangan yang tidak benar. Itulah bedanya Reformed Injili dengan gereja-gereja Reformasi yang sangat ketat secara doktrin, tetapi tidak pernah memiliki aspek-aspek kenikmatan emosi.

Saya berani mengatakan bahwa saya adalah orang yang sangat rasional. Saya juga adalah orang yang sangat emosional. Pada waktu saya menciptakan lagu, emosi saya keluar. Pada waktu saya berkhotbah, emosi dan rasio saya keluar. Pada waktu memutuskan sesuatu, emosi, rasio, dan kemauan, ketiganya keluar. Kadang seseorang menitikberatkan pada satu aspek saja. Tapi dalam pelayanan saya, ketiganya sering keluar menjadi satu. Ketika kamu menganalisis apa yang saya khotbahkan, khotbah saya sesuai dengan jalannya logika. Tapi saya begitu antusias menyampaikannya, bukan seperti mengajar teori, tapi dengan emosi penuh untuk masuk dalam kebenaran yang saya percayai, cintai, jalankan, dan beritakan. Saya berharap apa yang saya katakan boleh diterima pendengar saya. Di situ kemauan harus takluk pada kemauan Tuhan Allah. Ini mungkin salah satu hal yang sulit bagi anak muda yang mau melayani Tuhan dalam ketiga aspek ini. Jikalau kita hanya mengerti Firman Tuhan secara akademis, memberikan doktrin secara rasional, tapi diri kita tidak terjun langsung dalam mencintai kebenaran, dan mau menjalankan kebenaran, maka kita sulit membangun gereja secara stabil dan sehat.

Allah Bapa mengucap kalimat pujian kepada Allah Anak. Alkitab mencatat ungkapan Allah Bapa terhadap Allah Anak : “Engkau mencintai keadilan. Engkau membenci kefasikan. Engkau memiliki arah emosi yang begitu jelas.”  Yang dicintai adalah keadilan, yang dibenci adalah kefasikan. Di sini tidak dikatakan mencintai kebenaran, harta, atau manusia, tapi mencintai prinsip yangmerupakan sifat moral ilahi sendiri. Engkau mencintai keadilan. Engkau membenci kefasikan. Emosi Kristus telah masuk di dalam aspek-aspek yang begitu hebat. Ketika Kristus dan orang percaya membenci kefasikan dan mencintai keadilan, maka Allah Bapa akan mengurapi dengan sukacita sorgawi. Maka kini, bukan saja penempatan emosinya yang tepat, yaitu mencintai keadilan dan membenci kefasikan, tetapi juga ditambah dan diberi imbalan emosi yang kudus luar biasa, yaitu sukacita. Artinya, bukannya karena mencintai keadilan, seseorang menjadi berkesusahan, sebaliknya dia malah bersuka. Membenci kefasikan tidak menjadikan seseorang susah payah tetapi justru mendapat sukacita. Kalau sukacita sudah diberikan sebagai urapan sorgawi, maka emosinya tadi akan dipenuhi dengan kenikmatan penyertaan dan kelimpahan sebagai imbalannya, dan itu akan menjadikan kita merasa ringan sekali.

Orang yang membenci kefasikan harus berjuang. Perjuangannya itu akan terasa berat sekali. Sambil membenci kefasikan, sambil mendapat perlawanan dan permusuhan yang sengit, sambil membenci kefasikan, sambil merasa diri terikat pada tugas berat yang tidak bisa dijalankan dengan mudah dan lancar. Kamu membenci korupsi, tapi ketika kamu membasmi korupsi, kamu harus menghadapi koruptor yang membencimu, sehingga mereka akan menyerang kamu. Di situ kamu merasa berat melakukan tugas itu. Bebannya berat, tetapi Tuhan Allah justru berjanji bahwa emosi yang benar akan diberi imbalan emosi kenikmatan. Semakin saya memikirkan ayat-ayat seperti ini, semakin saya merasa Alkitab begitu berbeda dengan ajaran-ajaran lain di dalam dunia.

Membenci Dosa, Bukan Orangnya

Orang dunia, kalau sudah membenci, hidupnya menjadi pahit, tidak ada sukacita. Ketika dia menginginkan sukacita palsu, cara yang dipakai adalah membunuh orang lain. Itulah kebencian yang berdosa. Saddam Hussein, begitu bertemu musuh, langsung menembak. Yang tidak taat kepadanya langsung ditembak mati. Ada kebencian dalam hatinya. Sepuluh tahun yang lalu, saat Perang Teluk, tentara koalisi Amerika yang tertangkap dijebloskannya dalam sel dan diancam akan dipotong hidung, telinga, tangan, bahkan alat kelamin. Semua yang mendengar ancaman ini dan yang sudah dipukuli dan dianiaya, akhirnya menjadi gila seumur hidup. Bagi orang yang menyimpan kebencian dan mencetuskan kebencian itu di dalam kelakuan yang membalas dendam, kebencian itu mungkin menjadi kepahitan bagi dirinya, dan destruktif bagi orang lain. Mungkin presiden Bush juga mempunyai kebencian di dalam hatinya, karena setelah Perang Teluk, Saddam Hussein meletakkan selembar foto ayah Bush (presiden Bush senior) di depan pintu sebuah hotel tua mewah di Bagdad, sehingga setiap orang yang masuk hotel menginjak muka Bush senior sehingga hati Bush junior terbakar dengan kebencian.

Kalau dunia ini penuh dengan kebencian yang melawan kebencian, perdamaian akan hilang. Saya harap Bush memiliki kebencian terhadap kemungkinan adanya pemusnahan besar-besaran melalui senjata kimia. Hanya Tuhan yang mengetahui kebencian seperti apa yang ada di dalam hatinya. Kalau seseorang dipenuhi dengan kebencian, maka dendam akan menjadi dasar tindakan untuk membalas. Membalas adalah tindakan penghancuran yang akan menjadi kepahitan dan kerugian bagi diri sendiri dan bagi orang lain, sehingga tidak ada kenikmatan di dalamnya.

Tetapi ada semacam kebenacian yang akan diberi imbalan sukacita oleh Allah. Ini mengherankan, bukan? Inilah kebencian yang akan diberi imbalan sukacita oleh Allah, yaitu semakin kamu membenci kefasikan, kamu akan semakin bersukacita. Semakin kamu mencintai keadilan, kamu akan semakin bersukacita. Jadi emosi yang satu diberi imbalan dengan emosi yang lain. Ini adalah pernyataan Firman Tuhan.

Selama di dunia, Yesus Kristus tidak pernah memiliki musuh (maksudnya, tidak menjadikan orang lain musuh-Nya, yang ada ialah orang memusuhi Dia). Dia tidak pernah membenci orang yang memusuhi Dia. Dia bahkan mengajarkan, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Matius 5:44). Kalau begitu, apa yang dibenci Yesus? Yesus membenci kefasikan, bukan membenci orang fasik. Membenci dosanya, bukan membenci orangnya. Di sini kita melihat bagaimana cara menimbang atau mengevaluasi kerohanian seseorang. Ketika seseorang mempunyai kebencian yang ditujukan kepada orang, maka kerohanian orang itu belum matang. Tetapi kalau kebencian itu ditujukan kepada dosa, seraya tetap mengasihi orang yang melakukan dosa tadi, inilah orang yang matang kerohaniannya.

Tuhan membenci dosa, tetapi Tuhan mengasihi orang berdosa. Mari kita belajar dari Tuhan. Mari kita belajar semakin menyerupai Pencipta dan Penebus kita. Di lubuk hati kita yang paling dalam, dan dengan segala kejujuran, adakah orang yang kita benci? Kalau ada, mengapa kita membencinya? Bukankah dia juga adalah orang yang diselamatkan oleh Tuhan? Bukankah Kristus juga mati bagi Dia? Jika Yesus rela mati baginya, tapi kamu membenci dia, bahkan mengharapkan dia mati, apakah kamu benar-benar murid Kristus? Di dalam hati orang percaya sejati, seharusnya tidak ada musuh atau orang yang harus menjadi sasaran kebencian kita. Orang Kristen yang menamakan diri sebagai anak Allah tidak seharusnya mempunyai kebencian terhadap siapa pun, kecuali membenci kesalahan diri yang menyebabkan diri menjadi rusak. Terhadap oranglain, belajarlah untuk tidak membenci siapa pun, tapi hanya membenci dosa dan kesalahan yang ada padanya.

Seorang ibu menggendong anaknya, “Mukamu kotor sekali.” Lalu mencuci mukanya. Waktu dicuci, sekali pun sudah dicuci dengan sabun, kotorannya masih melekat. Itu bukan kotoran atau tinta yang mudah dibersihkan, tapi kotoran dari aspal. Maka si ibu menggosok dengan keras, anak itu menangis karena dia tidak bisa membedakan ibunya sedang membersihkan atau menyiksa dia. Ibunya mau membersihkan kotoran yang ada di muka anak itu, bukan mau menggosok supaya kulitnya sakit. Tapi anak itu tidak bisa membedakan.

Mari kita melihat dari ilustrasi ini : waktu kamu mendoakan orang lain, kamu tidak senang akan sesuatu yang ada padanya. Tapi hal ini jangan menjadikan  kamu tidak senang kepadanya. Kadang-kadang kerohanian kita belum sampai ke taraf sedemikian. Kita bukan saja tidak senang dosanya, kita juga tidak senang orangnya, tetapi kita tidak berhak untuk tidak senang kepada siapa pun. Dosanya tidak kita senangi, tapi orangnya tetap harus dikasihi. Orangnya tetap harus dikasihi, tetapi dosanya harus kita benci. Sikap demikianlah yang menjadikan kita serupa dengan Yesus Kristus.

Yesus Kristus tidak pernah membenci orang. Dia adalah Pribadi yang penuh dengan cinta kasih. Kasihnya memiliki dasar atau prinsip yang mencintai keadilan. Mencintai keadilan harus menjadi prinsip dasar kita, baru dari situ kita bisa membedakan bagaimana seharusnya kita bersikap. Kita berdoa syafaat bagi dia, dan meminta Tuhan mengampuni dosanya, tetapi kita tetap membenci dosanya sambil tetap mengasihi orangnya.

Kebencian Sebagai Kekuatan Besar

Kebencian selalu timbul dalam hati kita secara diam-diam, sehingga seringkali kita tidak sadar, mulai bertumbuh sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan, sampai akhirnya menjadi suatu kekuatan yang besar sekali. Saya mengakui bahwa kadang-kadang kebencian dapat mendorong orang melakukan pekerjaan besar. Karena ada kebencian, muncul kemarahan. Kemarahan menjadikan kamu mempunyai kekuatan luar biasa. Manusia biasanya tidak sadar seberapa besar potensinya sampai pada saat kehormatan dirinya disadarkan, mulai melepaskan dan menggunakan potensi atau gudang energi yang ada dalam jiwanya. Di situ dia mulai melakukan hal yang besar. Tapi, kapan kehormatan diri disadarkan? Kehormatan diri selalu disadarkan pada waktu kamu dihina. Hal yang paling kamu ingat adalah saat kamu dipermalukan di depan umum, dihina, ditusuk dengan kalimat yang tajam, dan diremehkan. Saat itu kamu sadar. “Bukankah saya ini manusia? Mengapa saya dihina?”  Saat itu kamu mulai menyadari kehormatanmu. Jangan kita lupa, jika kita dipermalukan atau dinilai secara tidak sesuai atau tidak seharusnya, itu anugerah Tuhan. Dari sini kita belajar untuk menghargai anugerah Tuhan. Bukan untuk membenci seseorang.

Suatu hari ada seseorang dari Cina menelpon saya dan mengatakan bahwa dia sudah dipermalukan seseorang. Lalu saya berkata, “Engkau harus berterima kasih kepada orang itu.”  Dia menjawab, “Mengapa saya harus berterima kasih kepada orang itu?”  “Karena Tuhan telah memakai dia untuk membuat kamu sadar siapa kamu.”  “Ini sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan.” katanya. Apa maksudnya? Melalui orang yang menyerang dan menghina itu, Tuhan membuat kamu sadar apa yang seharusnya kamu koreksi. Melalui apa yang dikerjakannya, secara tidak sadar orang itu tidak tahu kesalahan dirinya sendiri, sebab dia mengira kamu yang salah. Setelah itu kamu belajar banyak. Maka kamu seharusnya berterima kasih kalau ada orang yang tidak senang kepadamu. Ada seorang berkata kepada saya, “Saya seorang lesbian. Ketika saya menyatakan cinta saya, orang itu menolak.”  Saya berkata, kamu harus bersyukur kamu ditolak, sehingga kamu  tidak terjerumus lebih dalam. Semua hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita, semua hal yang melukai hati kita, kadang-kadang adalah anugerah Tuhan yang besar, karena akan menghindarkan kita dari dosa. Kita harus bersyukur kepada Tuhan.

Ada seorang di luar negeri berkata kepada saya, “Ketika saya mendengarkan khotbahmu, saya lihat kamu selalu berkhotbah dengan cara antithesis. Apakah memang itu metodemu?”  Saya berkata, “Silahkan analisis, saya hanya tahu mengatakan apa yang seharusnya saya katakan di dalam pengalaman pergumulan saya. Saya bukan orang yang terlalu rajin membaca segala macam buku, tetapi saya adalah orang yang rajin memikirkan segala aspek. Semua hal yang saya anggap penting, akan saya pikirkan dari segala segi sampai ke antitesisnya.”

Kita berterima kasih kepada Tuhan ketika ada orang yang tidak senang kepada kita. Kita berterima kasih kepada Tuhan ketika ada yang melukai kita, karena justru melalui penghinaannya itu kita disadarkan akan potensi diri yang belum digali dan belum diperkembangkan. Tidak peduli saat mengejek atau menghina, orang itu sedang sadar atau tidak. Kalau ia sadar, dia bertanggung jawab kepada Tuhan pada waktu dihakimi. Kalau dia tidak sadar, kita harus mengampuni dan mendoakannya. Kalau ada seseorang secara sadar maupun tidak sadar melukai kita sehingga mengganggu kehormatan kita, di situlah kita sadar bahwa diri kita memiliki potensi. Potensi-potensi itu dilepaskan dengan sesuatu emosi untuk menggarap dan memikirkan apa yang harus kita lakukan. Di situ bahaya mulai keluar.

Ketika seseorang menyadari bahwa dia harus membalas dendam atau harus membenci orang lain, karena kehormatan dirinya terganggu, dia dapat merasakan energi dua kali, empat kali, sepuluh kali lipat dari biasanya sehingga orang yang dihina mempunyai kemungkinan sukses lebih dari orang yang dimanja. Orang yang dipermalukan kadang mempunyai niat untuk berjuang terus sampai akhirnya sukses. Mereka yang lancar, yang sukses, yang selalu mendapatkan kedamaian, harmonis, malah tidak pernah mempunyai kesuksesan apa-apa. Kesuksesan itu harus dibedakan antara kesuksesan bagi dirimu atau kesuksesan bagi Tuhan Allah. Itu bedanya Kristen dengan non-Kristen.

Adolf Hitler, seorang diktator Jerman, adalah salah satu contoh orang yang telah melepaskan energi di dalam dirinya begitu banyak karena benci. Orang seperti Mao Ze Dong dan Stalin, mempunyai kebencian lebih besar dari siapa pun. Akhirnya selama mereka hidup, berpuluh-puluh juta orang harus mati karena kebencian mereka. Kekuatan yang terlepas dari hidup mereka begitu besar mempengaruhi sejarah berpuluh-puluh tahun, dalam satu zaman banyak orang takluk kepada mereka. Orang semacam demikian menjadi diktator, menaklukkan banyak orang. Tapi orang yang menguasai orang lain melalui ancaman atau penganiayaan adalah orang yang rendah. Menaklukkan orang dengan kekudusan dan teladan yang agung, itu adalah orang yang agung.

Dalam peribahasa Tionghoa, ada dua macam pemerintah : yang satu adalah “jalan raya” (wang dao : the way of the King); cara mendidik dan memerintah seperti seorang raja), yang satu lagi adalah “jalan gundik” (ba dao : orang yang kasar, liar, buas, tapi perkasa). Istilah “raja” bukan berarti kedudukan saja, tetapi berarti cara menguasai yang benar. Pada zaman Tiongkok kuno, ada tiga raja : Tang Yao, Wu Shuen, dan Xia Yu. Ketiga orang ini adalah orang hebat, karena mempunyai moral yang begitu tinggi, sehingga yang dipimpin merasa tidak ada orang lain selain mereka bertiga yang lebih cocok menjadi raja. Jadi, saat itu raja tidak menurunkan kedudukannya pada anaknya. Orang berkata, “Anakmu bagus, anakmu cocok untuk menjadi penerusmu.”  Tetapi dia menjawab, “Tidak, saya menemukan ada yang lebih bagus dari anak saya. Mengapa harus anak saya? Cari yang lebih baik daripada anak saya. Yang lebih baik, lebih pintar, lebih bermoral, dan lebih mencintai rakyat, biar dia yang meneruskan aku.”  Maka waktu Tang Yao meninggal dunia, dia menunjuk seorang yang bernama Wu Shuen, bukan anaknya sendiri, untuk meneruskannya. Ini dipuji dalam sejarah sampai hari ini. Inilah yang disebut wang dao. Tapi sesudah Xia Yu, karena begitu berjasa, orang-orang meminta anaknya menjadi raja, dan akhirnya menjadi sebuah tradisi bahwa anak raja, tidak peduli baik atau tidak, meneruskan ayahnya menjadi raja, karena dianggap berdarah biru.

Pengalaman Yang Menimbulkan Kebencian

Kebencian menyinggung perasaan sampai ke kedalaman hatimu, sekaligus menggugah kehormatanmu yang dirugikan, akhirnya melepaskan tenaga spiritual yang tidak kamu sadari. Karena itu, kita harus hati-hati dengan bibit kebencian yang timbul setelah kita mengalami pengalaman tertentu. Pengalaman tertentu ini bisa dibagi menjadi beberapa macam :

  1. Ketika Kita Dirugikan Secara Fisik dan Harta, Ada orang yang pernah mengatakan, “Saya tidak mau menjadi orang Kristen. Saya benci karena pernah ditipu orang Kristen.”  Orang Kristen menipu kamu? Banyak orang menamakan diri Kristen, apalagi penipu. Penipu mengatakan, “Saya ini Kristen,  jangan takut.” Itu supaya kalimatnya di dengar orang. Orang yang tidak mau percaya Tuhan Yesus karena sudah pernah ditipu orang Kristen, adalah orang yang sudah mencampuradukkan orang Kristen yang baik dengan orang Kristen yang jahat, mencampuradukkan harta dengan jiwanya, mencampuradukkan orang Kristen dengan Tuhannya. Inilah ketidakmahiran manusia, sehingga ketika mengalami keadaan atau pengalaman yang merugikan, dia selalu menimbulkan kebencian. Dan yang dibenci itu tidak dibeda-bedakan, langsung dicampuradukkan. Mungkin kamu pernah membenci karena orang itu pernah merugikan kamu secara fisik atau harta benda.
  2. Ketika Kehormatan, Harkat, dan Hak Asasi Kita Direbut, Kita membenci ketika kehormatan, harkat, atau hak asasi kita direbut. Di Shanghai, pernah terjadi rasialisme di mana semua orang Cina melawan orang Barat. Saat itu di Shanghai ada daerah-daerah pinjaman orang Prancis dan Jerman, di mana imperialism memakai tempat-tempat yang paling baik untuk mereka, sementara orang Cina tidak boleh masuk. Ada sebuah taman di Shanghai yang dimiliki oleh orang Prancis. Taman itu bagus sekali, karena orang Prancis sangat mengerti bagaimana menata pohon atau tanaman dalam taman. Suatu hari di taman itu di pasang papan “Orang Cina dan anjing tidak boleh masuk.” Karena ketika duta besar Prancis masuk ke taman itu, ada sesuatu turun dari pohon dan mengenai mukanya, dan dilihatnya orang Cinalah yang menyebabkannya. Dia jengkel sekali, maka dia menulis larangan itu. Setelah papan itu dipasang, mahasiswa yang melihatnya menjadi benci luar biasa, dan ribuan mahasiswa melawan orang Prancis sampai membunuh beberapa orang. Mengapa? Benci! Kalau harta dirugikan, timbul benci. Kalau muka di robek, timbul benci. Kalau diperlakukan tidak adil, timbul benci. Kebencian menggairahkan dan melepaskan energi  yang ada di dalam menjadi sebuah kekuatan untuk melawan dan memusuhi, sehingga menimbulkan ketidakberesan.
  3. Ketika Orang yang Kita Hormati Dibunuh atau Dihina, Kebencian timbul karena orang yang paling dihormati dibunuh atau diejek oleh orang lain. Itu menjadi salah satu sebab mengapa cerita silat di Tiongkok tidak habis-habis. Kamu membunuh ayahku, maka aku akan membunuhmu; kamu membunuh aku, maka anakku akan membunuhmu; anakku membunuhmu, maka cucumu membunuh anakku; menjadikan cerita silat tidak habis-habis karena balas dendam yang tanpa henti. Jadi kalau orang yang dihormati dibunuh, maka kampung dan kampung, suku dan suku, provinsi dan provinsi berperang besar. Dalam kaitan peperangan di Irak, Paus Yohannes Paulus II berkata, “Jangan memakai peperangan Irak menjadi suatu perselisihan dan kebencian antara Kristen dan Islam.”  Kalimat itu bagus sekali. Kadang melalui sesuatu yang terjadi, kita menghasut. Dan menjadikannya isu ras, agama, suku dan kebudayaan. Orang yang berbuat begitu, hatinya jahat sekali. Kalau kebencian terjadi antar-pribadi, selesaikanlah antar-pribadi. Barangsiapa bisa memperdamaikan, orang itu disebut anak Allah. Ini Alkitabiah. Kalau kamu mampu memperdamaikan orang, kamu anak Allah. Gereja sangat memerlukan orang yang berperan seperti ini. Setiap orang yang mempunyai sifat sangat terbiasa dengan keadaan diri sendiri, tidak biasa melihat cara orang lain, maka ketika melihat orang lain yang berbeda cara, akhirnya tidak bisa toleran, menjadi benci, membunuh, dan sebagainya. Padahal cukup beri tahu orang tersebut cara dari sudut yang berbeda. Waktu kecil saya melihat satu buku yang bercerita tentang dua orang anak yang berasal dari dua tempat yang berbeda, berkuda menuju satu tempat yang sama, yaitu tempat patung kuda. Orang yang satu melihat patung tersebut dan berkata, “Wah, bagus sekali patung besi ini.”  Orang yang satu lagi segera berkata, “Ini patung perunggu, bukan besi!” Akhirnya dua orang pendekar itu mulai berkelahi sampai perang. Ada seorang yang lewat bertanya kepada keduanya, “Mengapa berperang?”  Yang satu menjawab, “Karena dia mengatakan besi sebagai perunggu!”  Sementara yang lain menjawab, “Karena dia mengatakan perunggu sebagai besi!”  Ternyata patung tersebut memang sengaja dibuat separuh besi dan separuh perunggu. Jadi, orang yang satu melihat dari sisi besi, orang yang satunya lagi melihat dari sisi perunggu, dan keduanya jujur tidak berbohong. Jadi mereka mengamuk dan marah karena saat itu mereka hanya melihat separuh. Karena itu, kalau ada orang sedang berselisih, jangan kamu hanya mendengar sepihak lalu ikut bertarung. Itu bodoh. Seperti halnya patung besi dan perunggu tadi, memang ada hal yang harus dilihat dari dua pihak. Memang tidak mudah untuk memperdamaikan orang. Spinoza, mengatakan perselisihan selalu terjadi karena ada orang yang memakai istilah yang sama dan memiliki definisi yang lain. Saya terkejut. Perkataannya ini benar sekali. Kita menemukan istilah “esensi” dan “substansi” yang dipakai oleh Immanuel Kant, artinya berbeda sekali dari pengertian Spinoza. Orang Jerman seperti Kant begitu teliti sehingga tidak mungkin mencampur-baurkan istilah esensi dan substansi. Kalau kita tidak belajar, kita akan memakai terminologi dengan sembarangan. Motif dan tujuan berbeda sepuluh sepuluh ribu kilometer. Tapi kita berbicara campur-baur karena kita tidak belajar dan tidak disiplin dalam hal ini. Saya menemukan bahwa istilah “esensi” yang dipakai oleh Kant justru adalah istilah “substansi” yang dipakai oleh Spinoza. Sebaliknya, istilah “substansi” yang dipakai oleh Kant justru adalah istilah “esensi” yang dipakai oleh Spinboza.  Jadi kalau kamu memperhatikan apa yang mereka bicarakan, arti substansi yang dipakai oleh Kant sama dengan arti esensi yang dipakai oleh Spinoza. Demikian pula arti esensi yang dipakai oleh Kant sama dengan arti substansi yang dipakai Spinoza. Jadi, istilah yang sama dipakai untuk definisi yang berbeda sekali. Kadang-kadang karena definisi yang tidak jelas, orang mulai bertarung. Berbahagialah orang yang mendamaikan orang lain karena ia akan disebut anak Allah. Tetapi kalau orang berselisih, lalu kamu menambah bensin, menambah kayu, sehinga api semakin besar, dan kamu senang, maka kamu adalah anak setan. Mau jadi anak Allah atau anak setan? Jika kamu mengaku anak Allah, sudah berapa banyak orang berkelahi karena hasutanmu? Sudah berapa banyak orang yang berkelahi menjadi harmonis karena kamu ikut memperdamaikannya? Kalau kamu adalah anak Allah, belajarlah memperdamaikan, bukan merusak, bukan membenci, bukan membuat permusuhan, bukan memisahkan. Seorang filsuf Gerika, Empedokles, menemukan bahwa di dalam dunia ada empat unsur yang paling penting, yaitu api, air, angin, dan tanah. Ini tidak benar, tetapi menjadi pelajaran penting dalam sejarah filsafat kuno. Dia mengatakan keempat hal ini dapat di-interaksikan. Api dan angin bersatu akan menjadi panas. Angin dan air bersatu menjadi dingin. Api dan tanah bersatu menjadi kering. Tanah dan air menjadi satu menjadi basah. Lalu dia berkata bahwa segala sesuatu hanya tersimpul dalam dua prinsip, yaitu: tergabung atau terpisah. Yang tergabung adalah kasih, yang terpisah adalah benci. Seluruh dunia, seluruh sejarah, dan seluruh alam semesta hanya terdapat dua prinsip: kasih dan benci, benci dan kasih. Di mana ada kasih, di sana harmonis mulai membesar. Di mana ada benci, di sana mulai meretak dan terpecah belah. Gereja juga demikian. Saya tidak terlalu setuju dengan teori empat unsur ini. Tetapi William Turner, seorang pelukis dari Inggris, memakai empat unsur ini sebagai filsafat melukis. Di London, ada sekitar 120 lukisan Turner yang mempergunakan filsafat ini sebagai dasar melukis. Kasih mempersatukan, benci memisahkan. Kasih memperdamaikan, benci memisahkan. Kasih mengharmoniskan, benci mengakibatkan perceraian. Hanya dua unsur ini. Allah kita adalah Allah yang kasih, sekaligus mempunyai kebencian. Kasih kepada apa? Benci kepada apa? Kita benci karena apa? Karena dirugikan harta? Karena orang yang dihormati dibunuh?
  4. Ketika Orang Tidak Mencapai Target Yang Diinginkan, Kebencian timbul karena kamu tidak mencapai target yang kamu tetapkan bagi dirimu. Ketika seseorang ingin mencapai ini dan itu, lalu berjuang, namun sampoai dewasa dia masih gagal mendapatkan apa yang dia inginkan tersebut, maka mulailah timbul kebencian di dalam hatinya. Pada waktu kebencian itu mulai timbul, hidupnya mulai berubah. Misalnya, seseorang ingin sekali menjadi kaya, tetapi sampai usia lima puluh tahun dia masih belum bisa menjadi kaya, maka dia mulai membenci diri dan membenci orang kaya. Mengapa?  Dia benci karena tidak bisa mencapai target keinginan hatinya. Ketika ada orang yang menurutnya tidak seharusnya kaya tetapi menjadi kaya, maka dia mulai berusaha menghancurkannya, atau merusak namanya, atau melakukan berbagai tindakan lainnya. Dalam masalah ini, kebencian juga bisa menimbulkan kekuatan destruktif yang luar biasa. Sebenarnya, sangatlah wajar jika seseorang ingin mencapai target hidupnya. Manusia dicipta menurut kesempurnaan Tuhan Allah, sehingga ada konsep kesempurnaan yang mutlak di dalam dirinya. Inilah yang membuat manusia mempunyai angan-angan, cita-cita dan target yang tinggi. Semua itu lumrah. Tetapi ketidak-seimbangan antara kekuatan aspirasi dan kemampuan untuk mencapainya akan menjadi penjara bagi diri orang itu sendiri. Orang yang mempunyai aspirasi yang besar sekali dan memiliki kemampuan yang kecil sekali, tidak akan dapat mencapai apa yang diinginkannya, dan itu bisa membuat dia mulai membenci orang lain dan membenci diri. Memenjarakan diri adalah suatu kebodohan. Kita boleh berencana, tapi setelah itu serahkanlah kepada Tuhan. Apakah mencapainya atau tidak, itu bukanlah hal yang utama. Daud ingin sekali mendirikan Bait Allah yang besar, tetapi Allah tidak mengizinkannya. Kata-Nya, “Karena tanganmu banyak menumpahkan darah, maka biarlah anakmu, Salomo, yang membangun Bait Allah untuk-Ku.” (band. 1 Tawarikh 28:3,6). Biarlah dari sini kita belajar. Kita boleh memiliki target, kita boleh memiliki sasaran, tetapi mencapainya atau tidak, kita serahkan sepenuhnya pada Tuhan. Kalau tidak, kita akan menjadi orang yang dipenuhi kesusahan dan kebencian akibat tidak mencapai target yang kita harapkan. Akhirnya, semua itu mengikat kita seperti penjara.
  5. Ketika Cinta Ditolak, Terakhir, kita membenci karena terlalu mencintai seseorang, tapi akhirnya ditolak. Ini pengalaman yang lebih mudah kita mengerti. Kalau kita mencintai seseorang sampai tidak bisa hidup tanpa dia, dan sewaktu tidak mendapatkan dia, maka dia yang tidak boleh hidup. Di tengah benci dan cinta hanya ada satu garis, dan garis itu begitu tipis. Sehingga mudah sekali dari benci menjadi cinta, atau dari cinta menjadi benci. Dari benci menjadi cinta mudah sekali ketika sesuatu yang kita inginkan baru tercapai atau didapati. Tetapi begitu yang kita cintai tidak kita dapati, lebih mudah lagi dari cinta menjadi benci. Emosi betul-betul satu hal yang sangat besar dan tidak dapat diukur oleh logika. Pada waktu David Hume tua, dia mengaku, “Alam terlalu kuat bagi prinsip-prinsip.”  Bolehkah saya memakai prinsip-prinsip untuk mengukur emosi? Tidak bisa. Alam semesta terlalu kuat untuk diikat dengan prinsip-prinsip. Dari kalimat itu, saya memikirkan lagi. “Hidup terlalu kuat bagi logika, cinta terlalu kuat bagi argument.” Ketika kamu mencintai seseorang, apakah kamu harus memilih alasan yang cukup terlebih dahulu baru mencintai, atau mencintai dahulu baru mencari-cari alasan? Apakah ketika kamu mau mencintai seseorang, kamu terlebih dulu berpikir, melakukan analisis, memberi nilai dulu, baru kemudian mencintai? Atau yang terjadi justru sebaliknya? Arthur Schopenhauer mengatakan bahwa manusia didorong oleh kemauan. Kemauan dulu yang muncul, baru emosi, lalu mencari bantuan melalui rasio. Sesudah jatuh cinta, baru “saya cinta karena ini, karena itu.”  Rasio kita seringkali menjadi budak kemauan. Karena itu, manusia bukanlah orang pintar karena diikat oleh kemauan, dan kemauan itu mengarahkan seluruh hidupnya untuk berjalan sesuai dengan apa yang dia mau. Ketika kamu sudah menginginkan sesuatu, kamu mencari-cari alasan, sehingga tidak ada orang yang dapat menang berdebat denganmu tentang apa yang kamu inginkan. Alasan-alasan itu adalah fungsi rasio yang menjadi budak kemauan. Pemikiran Schopenhauer kemudian dikembangkan oleh Friedrich Nietzsche lebih lanjut dalam bukunya The Will to Power, yang meneruskan pemikiran ini dalam filsafat Jerman. Benarkah kebencian mempunyai kekuatan untuk mengatasi rasio kita? Benar! Ketika kamu mencintai seseorang, tetapi orang itu tidak menanggapi kamu, kamu bisa mengharapkan dia mati, karena kamu berubah menjadi sangat membencinya. Kamu melihat begitu banyak orang yang membunuh orang lain dan sebagian orang yang dibunuh adalah orang-orang yang pernah mereka cintai tetapi kemudian mengecewakan mereka. Kalau seseorang tidak pernah kita cintai, dia tidak menimbulkan gangguan dalam jiwa kita. Ketika dia kita cintai, lalu membuat kita kecewa, maka timbullah kebencian dan pembunuhan. Hal seperti ini menjadi lebih serius dan lebih bermasalah pada orang-orang homoseks. Orang homoseks, kalau pihak yang satu menikah, maka pihak yang lain mau membunuh dia karena tidak mendapatkannya. Berhati-hatilah dengan orang-orang seperti ini. Jangan mempersamakan seks yang tidak beres dengan cinta yang murni. Orang homoseks memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki pihak lain secara keseluruhannya, sehingga kalau dia tidak mendapatkan, dia akan menghancurkan semua yang dulu dia cintai tapi sekarang tidak dia dapatkan. Ini semua adalah kejatuhan manusia yang menimbulkan kesulitan-kesulitan emosi yang luar biasa.

Belajar Memiliki Emosi Kristus

Di dalam emosi ada dua aspek cinta dan aspek benci. Bagaimana saya bisa menguduskan aspek cinta setelah kejatuhan Adam? Mari kita kembali belajar dari Yesus Kristus. Kita memang diperbolehkan mempunyai target yang tinggi. Kita boleh memiliki kemauan yang besar. Kita boleh mempunyai ambisi yang besar. Tetapi semua itu harus ditaklukkan di bawah prinsip yang telah diteladankan oleh Yesus Kristus, yaitu mencintai keadilan dan membenci kefasikan.

Karena mencintai keadilan, maka kamu harus mengendalikan kebencianmu ke arah yang kudus. Kalau kamu benar-benar mencintai keadilan sebagai prinsip-prinsip hidup, dan dari situ mengetahui apa yang harus dibenci maka hidupmu pasti beres. Orang yang tidak bisa menggabungkan dan mengharmoniskan kedua hal ini, ketika membenci selalu menganggap dirinya sedang menjalankan keadilan. Ini fatal sekali. Seringkali kita bertanya pada seseorang, “Mengapa kamu membenci dengan begitu kuat?”  Dia menjawab, “Saya sedang melakukan keadilan.”  Orang yang mencintai keadilan akan membenci dosa, bukan orang berdosa; orang yang bisa memisahkan antara “dosa” dan “orang berdosa” dengan baik adalah orang yang sudah matang, karena emosinya itu telah dikuduskan oleh Tuhan. Dia akan bisa mengatakan, “Yang saya benci bukan kamu. Yang saya benci adalah dosa yang ada padamu. Karena itu dengan cinta kasih aku datang kepadamu, memberi anjuran dan penguraian, hai saudara yang terkasih, tinggalkanlah dosa itu.”  Nah, ini cara yang benar. Memang tidak mudah.

Saya takut orang yang belajar EQ (Emotional Quotient, yaitu Inteligensia Emosi dari seseorang. Pemikiran ini mengajar untuk memberikan timbangan terhadap IQ (Inteligensia Quotient), hanya sebagai pelajaran rutinitas, pelajaran teknik, dan pelajaran akademis. Di dalam Kekristenan, semua teori bukanlah teori buatan. Semua teori adalah kebenaran yang dilaksanakan dan digenapkan oleh Kristus. Dalam iman Kristen, Yesus Kristus sendiri menjadi wujud dari segala moral, pelaksana dari segala ide, wahyu Tuhan Allah tentang kewajiban manusia secara wujud. Di dalam diri Kristus, apa yang dikatakan dan dilakukan-Nya merupakan wahyu Allah yang paling klimaks yang diberikan kepada manusia. Maka pada waktu kita melihat Kristus, kita bukan hanya melihat seorang pengajar teori yang hebat, melainkan melihat satu Kebenaran yang sedang hidup. Kita melihat wujud Kebenaran itu sendiri, pelaksana kehendak Allah itu sendiri.

Orang Kristen yang baik adalah orang Kristen yang mewujudkan kebenaran melalui pelaksanaan hidupnya, bukan hanya mengajar melalui lidah. Saya sendiri sebagai hamba Tuhan harus menjalankan, mengalami, menghidupkan apa yang berani saya ajarkan. Itulah kesulitan menjadi seorang Kristen.

Kalau kamu betul-betul mengasihi keadilan, barulah kamu mengetahui apa yang harus kamu benci, yaitu membenci kefasikan. Jadi di sini bukan mengasihi daging, mengasihi orang, mengasihi seks, atau mengasihi suatu obyek yang kelihatan, tetapi mengasihi sebuah prinsip keadilan. Lalu ketika kamu membenci, kamu bukan membenci orangnya, tapi membenci kefasikannya. Ini ajaran dan hidup Yesus Kristus. Karena Engkau mengasihi keadilan, karena Engkau membenci kefasikan, maka Allah Bapa mengurapi Engkau dengan minyak kesukaan. Demikian juga Roh Kudus akan memberikan sukacita kepada setiap orang yang mencintai keadilan dan membenci kefasikan. Puji Tuhan.

Mari kita hidup di dalam cinta yang kudus dan hidup dalam kebencian yang suci. Kita perlu menghilangkan kebencian, kemarahan, kecemburuan, dendam, kedengkian yang berdosa, tetapi kita boleh membenci, cemburu, yang sesuai dengan emosi Tuhan. Kita harus mencintai yang dicintai Tuhan, membenci yang dibenci Tuhan. Itu namanya sinkronisasi emosi. Kita harus senantiasa berdoa, “Tuhan, ajarkan aku mencintai yang Engkau cintai, ajarkan aku membenci yang Engkau benci. Sehingga cintaku, kebencianku, cemburuku, sukacitaku, berada di dalam apa yang Kau senang, Kau suka, Kau benci.”

Semakin tinggi sinkronisasi emosi ini semakin meningkat pula kerohanianmu. Semakin kamu bersatu dengan emosi Tuhan, kamu akan semakin dewasa, semakin sempurna, dan semakin menyerupai Tuhan. Kamu bukannya melakukan cinta kasih secara paksa, bukan melakukan kebencian secara tidak rela, tetapi karena kamu betul-betul mencintai keadilan, betul-betul membenci kefasikan; maka sambil membenci kefasikan ada kesukaan, sambil mencintai keadilan ada kesukaan.

Bagi seorang hakim, ketika dia semakin mencintai keadilan, mungkin  dia semakin terancam oleh orang-orang yang tidak senang kepadanya. Mungkin hidupnya akan semakin pahit, semakin berbahaya, tetapi kalau dia mengerti ayat ini, dia akan semakin menikmati sukacita meskipun dibunuh. Yesus tidak pernah menangis mengeluh karena naik ke kayu salib. Yesus tidak membalas dendam ketika dipakukan oleh orang berdosa. Dalam keadaan paling sulit, Dia berkata, “Ya Bapa, inilah kehendak-Mu yang indah.”  Pada waktu dipaku, Dia berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34). Yesus mempunyai sukacita dalam menjalankan kehendak Tuhan berdasarkan cinta-Nya kepada kebenaran, kebencian-Nya kepada kefasikan.

Mari kita mempersembahkan emosi kebencian yang ada di dalam diri kita ke dalam tangan Tuhan kita, supaya semakin dikuduskan, supaya kita dapat membenci sesuai dengan kehendak Tuhan. Amin.

 

Sumber :
 
Nama Buku        :  Pengudusan Emosi
Sub Judul          :  Kebencian Yang Kudus
Penulis              :  Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit            :  Momentum, edisi kedua, tahun 2011
Halaman           :  333 – 360

 

Diambil dari : https://www.facebook.com/notes/sola-scriptura/kebencian-yang-kudus-artikel-pdt-dr-stephen-tong/475145349200590