Pada tulisan terdahulu telah dijelaskan sekilas tentang Pengusaha Kecil, adapun penjelasan sebelumnya masih mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai. Pengertian Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Namun dengan motivasi memberikan kemudahan kepada pengusaha yang memiliki peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tertentu, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai batasan pengusaha kecil terkait kewajiban Pajak Pertambahan Nilai. Maka dikeluarkan Peraturan Perubahan yang ditetapkan tanggal 20 Desember 2013 dan mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2014 (sejak tujuh hari yang lalu). Maka kali ini dengan tujuan menginformasikan kepada pembaca nusahati serta mengupdate informasi seputar Pajak Pertambahan Nilai, penulis memberi judul tulisan ini adalah Sekilas Perubahan Batasan Pengusaha Kecil, semoga informasi yang bermanfaat.
Poin Ketentuan Lama Dan Baru
Adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai. Adapun poin pokok perubahannya adalah tentang batasan peredaran usaha. Jika sebelumnya batasannya tidak melebihi Rp. 600.000.000,- sekarang menjadi tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,-. Dan perubahan-perubahan itu hanya terkait pada pasal 1 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7. Tentang PMK Nomor 197/PMK.03/2013 dapat di download di SINI.
Pengusaha Kecil
Seperti kita ketahui bahwa dalam pasal 3a UU PPN pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.
Ini menjelaskan bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:
- Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- Memungut pajak yang terutang;
- Menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
- Melaporkan penghitungan pajak.
Namun kewajiban ini tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,- kecuali pengusaha kecil ini memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha kecil memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, Undang-Undang ini berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.
Sudut Pandang
Wakil Direktorat Jenderal Pajak (Kepala Seksi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak dalam sebuah media) menyatakan bahwa tujuan perubahan batasan Pengusaha Kecil ini untuk mendorong wajib pajak dengan omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun lebih banyak berpartisipasi menggunakan skema Pajak Penghasilan (PPh) Final sebagaimana didasarkan atas Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46 tahun 2013 yang telah berjalan sejak Juli 2013, dan tidak perlu khawatir lagi dengan efek perpajakan PPN-nya. Karena dengan naiknya batasan omzet ini, maka PKP dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dan memilih menjadi non-PKP tidak diwajibkan lagi untuk membuat faktur pajak dan tidak perlu lagi melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) masa PPN.
Namun jika menilik permasalahan yang ada, sepertinya kebijakan ini sebagai puncak dari manifestasi rasa putus asa yang di alami pimpinan DJP itu sendiri, karena selama ini pun memang DJP mengalami kesulitan untuk mengontrol penerimaan PPN dalam hal ini dari PKP berskala kecil. Walaupun sebenarnya jenis PKP berskala kecil ini sudah diberi kemudahan sebagaimana disebutkan Pasal 9 ayat (7) UU PPN dikatakan demikian “dalam Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak yang dimana Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.”
Karena ketentuan ini pun tidak membuat PKP berskala kecil itu semakin patuh membayar pajak (dalam hal ini jenis pajak PPN) ke negara, sehingga blass ajalah jumlahnya agar sinkron dengan ketentuan PP 46 yang sudah berlaku sejak Juli 2013 lalu…. entahlah kemana arah benang merah efek PP 46 ini menuju, hal yang anomali lagi adalah tetap saja target penerimaan pajak tidak pernah turun.
Target Pajak 2014
Jakarta, 30 Desember 2013 (sebagaimana dikutip dari Media Briefing) – Pada Tahun 2014 mendatang, target penerimaan pajak dalam APBN 2014 dipatok diatas seribu triliun atau mencapai Rp1.110,2 triliun. Angka ini naik sebesar Rp115 triliun atau tumbuh sekitar 11,6% dibandingkan dengan target pajak dalam APBN-P 2013 sebesar Rp995,2 triliun. Peran penerimaan pajak ini adalah sebesar 66,6% dari total pendapatan negara sebesar Rp1.667.1 triliun. Tentunya, untuk mengamankan agar target penerimaan pajak tersebut tercapai, maka Direktorat Jenderal Pajak telah menyusun langkah optimalisasi penerimaan pajak yang dijabarkan dalam bentuk program kerja strategis, yaitu :
- Penyempurnaan Sistem Administrasi Perpajakan Untuk Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak (WP). Saat ini, Ditjen Pajak telah menyempurnakan cara pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan menggunakan internet atau dikenal dengan e-filing. Selain itu, juga akan diimpelmentasikan penggunaan electonic faktur (e-faktur) dalam administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Bulan Juli 2014.
- Ekstensifikasi WP Orang Pribadi Berpendapatan Tinggi dan Menengah, Kegiatan ekstensifikasi yang dilakukan akan lebih fokus kepada orang pribadi yang memiliki potensi untuk membayar pajak, sehingga kontribusi dominan penerimaan pajak akan bergeser secara bertahap dari Wajib Pajak Badan ke Wajib Pajak Orang Pribadi. Seperti layaknya negara maju, maka penerimaan dari Wajib Pajak Orang Pribadi lebih besar daripada Wajib Pajak Badan sehingga tidak terlalu riskan terhadap perubahan ekonomi global.
- Perluasan Basis Pajak, Termasuk Kepada Sektor-Sektor Yang Selama Ini Tidak Terlalu Banyak Digali Potensinya, Sektor-sektor yang akan digali potensinya karena belum tersentuh secara maksimal diantaranya sektor perdagangan (Usaha Kecil dan Menengah) yang memiliki tempat usaha di pusat-pusat perbelanjaan dan sektor properti.
- Optimalisasi Pemanfaatan Data dan Informasi Berkaitan dengan Perpajakan dari Institusi Lain. Optimalisasi Implementasi Pasal 35A UU KUP karena persoalan utama yang dihadapi Ditjen Pajak untuk mengali potensi pajak adalah kurangnya data eksternal yang valid.
- Penguatan Penegakan Hukum bagi Penghindar Pajak. Untuk memberikan rasa keadilan, maka bagi Wajib Pajak yang tidak menjalani kewajiban perpajakannya dengan benar akan dilakukan penegakan hukum mulai dari pemeriksaan, penyidikan dan penagihan.
- Penyempurnaan Peraturan Perpajakan Untuk Lebih Memberikan Kepastian Hukum dan Perlakuan Yang Adil dan Wajar. Ditjen Pajak telah membentuk Tim Harmonisasi Peraturan Perpajakan untuk mengkaji dan mengharmonisasi semua peraturan perpajakan sehingga lebih memiliki kepastian hukum dan berkeadilan.
Dengan adanya program kerja strategi tersebut, kinerja Ditjen Pajak kedepan akan semakin terarah, fokus dan berorientasi hasil. Sehingga, target penerimaan pajak 2014 akan tercapai walaupun ditenggarai masih dibayangi kondisi ekonomi global yang belum pulih akibat kebijakan tapering off dari Bank Sentral AS.
“Optimisme adalah suatu variabel, dimana tidak ada kebodohan di dalamnya (Mr. Moonlight)”