Dalam bulan Desember 2013, saya menerima 2 (dua) email yang topiknya tidak jauh berbeda, adapun kedua email tersebut  menanyakan hal-hal sebagai berikut :

  1. Apakah perlu saya mengganti status usaha yang sebelumnya Orang Pribadi menjadi Badan, karena selama ini saya membeli dari Pengusaha Kena Pajak dan menerima faktur pajak, sementara saya bukan Pengusaha Kena Pajak?
  2. Apakah peredaran usaha yang melebihi Rp. 600.000.000,- dan dibawah Rp. 4.800.000.000,- diwajibkan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak, mengingat usaha saya hanya bertransaksi dengan konsumen langsung?

Melihat pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya menyimpulkan bahwa mungkin ini adalah implikasi dari pengenaan PPh Final 1% atas Usaha Kecil Menengah. Aturan ini positif atau negatif saya tidak tahu dan saya tidak akan membahasnya :D, karena yang saya coba kupas kali ini adalah tentang subjek pajak yang bernama Pengusaha Kecil. Adapun tulisan ini saya beri judul “Sekilas Tentang Pengusaha Kecil” dan harapannya semoga tulisan ini dapat memuaskan 2(dua) pengemail dengan topik yang mirip-mirip serta secara umum pembaca setia nusahati  serta sebagai arsip penulis.

Pengusaha

Pengusaha adalah Orang Pribadi atau Badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya :

  • Menghasilkan barang
  • Mengimpor barang
  • Melakukan usaha perdagangan.
  • Memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
  • Melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean

Jika pembaca melakukan salah satu kegiatan tersebut di atas dalam rangka pekerjaan, maka dipastikan bahwa pembaca adalah seorang Pengusaha, bukan seperti saya ini yang cuman kuli . Namun pembaca mungkin bukan merupakan subjek Pajak Pertambahan Nilai karena peredaran usaha (omset) dalam satu tahun belum mencapai Rp. 600.000.000,- dan/atau belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha Kecil

Dasar hukum  pengusaha kecil diatur dan dibahas dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 68/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil.

Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Seperti dijelaskan di atas bahwa pengusaha kecil adalah bukan pengusaha kena pajak, namun pengusaha kecil dapat menjadi pengusaha kena pajak apabila memilih untuk dikukuhkan  menjadi  PKP  .

Beberapa hal yang perlu diperhatikan  oleh pengusaha kecil terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai adalah :

  • Pengusaha Kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena  Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya melebihi batas tersebut.
  • Pengusaha sebagaimana dimaksud di atas wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi 600.000.000.

Poin di atas penting, karena apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan tersebut tidak dipenuhi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat mengukuhkan PKP secara jabatan. DJP dapat menerbitkan SKP/STP untuk masa pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai PKP terhitung sejak saat jumlah peredaran dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000.

Contoh :

Pak kumis bergerak dalam bidang perdagangan barang elektronik sejak 2 Januari 2010 terdaftar sebagai Wajib Pajak di KPP Pratama Karawang Timur. Peredaran bruto selama tahun 2010 sebagai berikut :

  1. Januari ……….. Rp. 100.000.000,-
  2. Februari ……… Rp.  175.000.000,-
  3. Maret …………. Rp.    50.000.000,-
  4. April …………… Rp.  200.000.000,-
  5. Mei ……………. Rp.  150.000.000,-
  6. Juni …………… Rp.  120.000.000,-
  7. Juli ……………. Rp.    75.000.000,-
  8. Agustus …….. Rp.   85.000.000,-
  9. September .. Rp. 115.000.000,-
  10. Oktober ……  Rp. 105.000.000,-
  11. Nopember … Rp.   95.000.000,-
  12. Desember … Rp.  130.000.000,-

Berdasarkan data tersebut di atas, diketahui bahwa sampai dengan bulan Mei 2010 omset Pak Kumis sudah mencapai Rp. 675.000.000,- maka sesuai pasal 4 ayat (2) aturan tersebut di atas paling lama tanggal 31 Juni 2010 pak kumis harus sudah melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Apabila Pak Kumis tetap tidak melaporkan usahanya sampai dengan masa Desember 2010, maka sesuai pasal 5 ayat (2) aturan yang sama Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak, terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), yaitu sejak masa Mei 2010 sebagai contoh di atas tentu beserta sanksi-sanksinya.

Dalam hal pengusaha telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha Kena Pajak

Pengusaha Kecil yang telah melewati batasan seperti disebutkan di atas diwajibkan untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Dan sejak dikukuhkan maka Pengusaha Kecil telah menjadi subjek PPN yaitu Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.

Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan :

  1. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  2. memungut pajak yang terutang;
  3. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
  4. melaporkan penghitungan pajak

Penutup

Berdasarkan uraian tentang pengusaha kecil di atas, harapan saya pertanyaan yang disampaikan sebagaimana dituliskan di awal tulisan sudah dapat dijelaskan, dan kesimpulan saya sebagai berikut :

  • Pilihan apakah tetap menjadi status Orang Pribadi atau Badan tetap berada ditangan wajib pajak karena pembelian dengan Faktur Pajak tetap tidak akan berpengaruh sepanjang wajib pajak Non PKP, namun apabila telah menjadi PKP tidak ada perbedaan baik status usahanya  Orang Pribadi atau Badan.
  • Apabila melebihi Rp. 600.000.000,- dan dibawah Rp. 4.800.000.000,- wajib pajak harus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai wajib pajak, jika tidak ingin ditetapkan secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak ditempat wajib pajak terdaftar. Ada kemungkinan wajib pajak merasa sulit karena selama ini transaksi dengan konsumen langsung dan lebih banyak pembelian dengan bukan PKP, hal ini dapat disikapi dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak  Masukan yang berbeda dengan mekanisme umum tentang pengkreditan pajak masukan.

 

Artikel Terkait :