Pada tulisan terdahulu yang berjudul “Sekilas Muasal Pajak Pertambahan Nilai“, diuraikan tentang sejarah dan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia, pemahaman akan PPN tersebut tidak akan tuntas jika tidak dituangkan pula hal-hal seputar PPN lainnya, khususnya dalam tulisan kali ini adalah Subjek dan Objek PPN itu sendiri.

Salah satu filosofi pengenaan PPN ditinjau dari ilmu perpajakan, bahwa PPN  adalah  Pajak Objektif. Disamping Pajak Objektif PPN juga merupakan Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri serta Pajak Tidak Langsung. Konsumsi Umum Dalam Negeri artinya pajak yang timbul akibat suatu peristiwa hukum yang menjadi beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis. Dalam hal ini yang dikenai pajak adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-barang dalam proses produksi, dan ditujukan pada konsumen akhir. Pajak Tidak Langsung dikatakan demikian karena beban pembayaran pajaknya dipikul oleh konsumen, namun penanggung jawab atas penyetoran PPN ke Kas Negara dibebankan kepada penjual.

Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestandIstilah tersebut mengacu kepada keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek pajak. PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat penghasilan tertentu. Siapapun yang mengonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN, akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang atau jasa tersebut.

Subjek Pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama. Hal ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak Penghasilan (PPh), yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah.

Untuk lebih lengkapnya penulis mencoba menginformasikan kembali dalam blog Nusahati dengan Judul Sekilas Tentang Subjek Dan Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN), adapun tujuan penulisan ini sebagai pengulangan pembelajaran bagi penulis :), dan semoga bermanfaat juga buat pembaca setia nusahati.

Subjek Pajak Pertambahan Nilai

Subjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), pengertian PKP sesuai pasal 1 angka 15 disebutkan Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP (Pasal 3, PMK 68/PMK.03/2010).

Sementara pengertian Pengusaha sesuai pasal 1 angka 14 adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya :

  • menghasilkan barang,
  • mengimpor barang,
  • mengekspor barang
  • melakukan usaha perdagangan,
  • memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean,
  • melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

Undang-undang PPN tidak menyebutkan secara jelas siapa-siapa yang termasuk subjek PPN, maka untuk memudahkan memahami, dapat dilihat ketentuan-ketentuan sebelumnya berdasarkan Pasal 18 Undang-undang PPN mengenai ketentuan peralihan, yaitu berdasarkan PP Nomor 22 tahun 1995, PP Nomor 28 Tahun 1988 serta PP Nomor 75 Tahun 1991 yang dapat disebutkan beberapa contoh yang termasuk pengusaha kena pajak sebagai subjek PPN, yaitu:

  1. Pabrikan.
  2. Importir.
  3. Agen utama atau penyalur utama.
  4. Pengusaha pemegang hak atau menggunakan paten atau merek dagang Barang Kena pajak.
  5. Pedagang besar.
  6. Eksportir.
  7. Pedagang eceran besar.
  8. Pemborong atau kontraktor.
  9. Pengusaha bidang telekomunikasi.
  10. Pengusaha jasa angkatan udara dalam negeri.
  11. Pengusaha lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Kewajiban Subjek Pajak

Kecuali Pengusaha Kecil, Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan :

  1. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  2. memungut pajak yang terutang;
  3. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
  4. melaporkan penghitungan pajak.

Pengusaha Kecil adalah adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan tidak wajib melakukan hal tersebut di atas kecuali memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Namun Pengusaha Kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena  Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya melebihi batas tersebut.

Objek Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan Undang-undang Nomor 42 tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan pajak penjualan atas Barang Mewah, maka rumusan objek PPN secara umum terdapat dalam pasal 4 UU Nomor 42 Tahun 2009 sebagai berikut:

  1. Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
  2. Impor barang kena pajak.
  3. Penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
  4. Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
  5. Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
  6. Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak
  7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
  8. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak

Secara khusus Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) timbul  sejak UU Nomor 11 Tahun 1994 yaitu dalam Pasal 16C dan Pasal 16D dengan bunyi pasal tersebut sebagai berikut :

  1. Pasal 16C : “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan“. (PMK-163/PMK.03/2012 Tentang Batasan Dan Tata Cara Pengenaan PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri).
  2. Pasal 16D :”Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut  tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan“.

Pengertian Barang Kena Pajak

Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN, sementara pengertian barang adalah adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud (Pasal 1 angka 2 dan 3 UU PPN).

Pada prinsipnya semua barang  merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang ditentukan lain oleh UU PPN  itu  sendiri.  Kita ketahui bahwa UU PPN menganut azas negatif list dimana diatur secara rinci oleh Undang Undang PPN tentang barang-barang yang tidak dikenakan PPN, yaitu di Pasal 4A ayat (2) Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009 artinya secara otomatis barang-barang lainnya merupakan Barang Kena Pajak.

Perlu kita pahami bahwa terdapat beberapa pengertian yang masuk dalam wilayah atau kondisi-kondisi tertentu yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak dan bukan penyerahan Barang Kena Pajak. Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) adalah kondisi-kondisi sebagai berikut :

  1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
  2. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing).
  3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
  4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak
  5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.
  6. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
  7. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
  8. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak;

Sedangkan yang bukan termasuk pengertian Penyerahan Barang kena Pajak adalah kondisi-kondisi sebagai berikut :

  1. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
  2. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
  3. penyerahan Barang Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
  4. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
  5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c UU PPN.

Penyerahan barang yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) harus memenuhi syarat-syarat  sebagai berikut:

  1. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
  2. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
  3. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
  4. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya

Pengertian Jasa Kena Pajak

Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang PPN, sementara pengertian Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan  (Pasal 1 angka 5 dan 6 UU PPN). Kita ketahui juga bahwa UU PPN menganut

Pada prinsipnya semua jasa merupakan Jasa Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yg ditentukan lain oleh UU PPN  itu  sendiri. Kita ketahui bahwa UU PPN menganut azas negatif list dimana diatur secara rinci oleh Undang Undang PPN tentang jasa-jasa yg tidak dikenakan PPN, yaitu di Pasal 4A ayat (3) Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009, artinya  secara otomatis juga bahwa  jasa-jasa lainnya merupakan Jasa Kena Pajak.

Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.

Penyerahan jasa yang terutang Pajak Pertambahan Nilai harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
  2. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
  3. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai; misalnya : Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Ekspor Jasa Kena Pajak

Pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean. (Pasal 4 ayat 1 huruf h).

Jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai PPN Tarif 0% sesuai dengan Pasal 2 ayat (3)PMK-70/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan PMK-30/PMK.03/2011 tentang Batasan Kegiatan Dan Jenis Kena Pajak Yang Atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, adapun jenis jasa tersebut adalah :

  1. Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan
  2. jasa perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan
  3. jasa konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi, yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan.
  4. untuk selain Jasa Maklon; a). jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau b). jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.

Atas Ekspor tersebut diwajibkan untuk membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak dengan mekanisme, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Ekspor Jasa Kena Pajak harus membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak, dan Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak tersebut dilampiri dengan invoice sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Loading…..