Sebagai salah satu anggota tim pembahas yang juga sekaligus sebagai penelaah keberatan sering saya diperhadapkan atas suatu kasus sengketa dimana Laporan Keuangan wajib pajak telah diaudit oleh Akuntan Publik (AP)/Kantor Akuntan Publik (KAP) namun tetap saja hasil pemeriksaan memiliki ketetapan pajak yang cukup besar (SKPKB), saat terbukti bahwa ada sesuatu yang salah dengan laporan keuangan, akan dengan mudahnya wajib pajak menyalahkan KAP-nya, atau mengelak sebagai pegawai baru yang tidak mengetahui proses audit sebelumnya.
Itulah adalah satu alasan kenapa akhirnya saya kurang mengindahkan suatu laporan keuangan yang sudah di audit walau dengan opini apa pun dalam melakukan analisa maupun penelaahan suatu sengketa pajak. Walaupun saya sadar bahwa dalam pemberian opini laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan tentunya dilakukan proses audit sesuai dengan standar dan prosedur, yang dilakukan oleh akuntan publik independen dengan tujuan membantu memberikan kepercayaan kepada investor dan para pengguna laporan keuangan lainnya termasuk Direktorat Jenderal Pajak bahwa perusahaan telah melaksanakan pembukuan sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang Berterima Umum (PABU), namun kenapa? hampir semua berkas keberatan yang masuk laporan keuangannya adalah telah diaudit.
Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud mendiskreditkan siapapun namun menggugah setiap kita yang bersinggungan dengan perpajakan mulai dari wajib pajak, Akuntan Publik (AP), Konsultan Pajak, Account Reperesentative, Pemeriksa, Penelaah Keberatan dan lainnya untuk bersikap jujur, objektif dan profesional.
Keterkaitan Laporan Keuangan Dengan Kewajiban Perpajakan
Pada umumnya penyajian laporan keuangan merupakan hasil akhir (output) dari proses pembukuan (akuntansi) yang diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam perhitungan kewajiban pajak perusahaan. Oleh karena itu sama seperti pemeriksa pajak, penelaah keberatan pun dalam rangka meneliti hasil pemeriksaan secara substantif akan menggunakan laporan keuangan dan data akuntansi tentu setelah memperhatikan aspek formalnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh akuntan sebagai dasar menentukan opini terhadap laporan keuangan suatu perusahaan.
Pada umumnya wajib pajak menyajian laporan keuangan dalam SPT Tahunan Badan/Orang Pribadi (Pembukuan), laporan keuangan komersial yang dilengkapi dengan penjelasan koreksi fiskal, yang cukup memberi penjelasan mengenai laba-rugi berdasarkan koreksi fiskal sehingga dapat untuk dijadikan dasar dalam penghitungan kewajiban pajak sesuai UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) dan relevan dengan yang dikehendaki oleh pasal 28 ayat [7] UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009 (UU KUP). Hal ini membuktikan bahwa ada keterkaitan antara laporan keuangan terhadap kewajiban perpajakan seperti hal-hal sebagai berikut :
- Subjek pajak Badan dan Orang Pribadi yang memilih menggunakan pembukuan, dasar untuk menghitung penghasilan kena pajak (PKP) dan dasar menghitung kewajiban PPh-nya adalah laba dari kegiatan usaha, untuk mengetahui besarnya laba secara sistematis adalah melalui laporan laba-rugi (income statement) dalam laporan ini akan menyajikan pendapatan usaha, beban-beban usaha (termasuk harga pokok), selisih antara jumlah pendapatan dan beban usaha.
- Kewajiban jenis pajak PPN, bila komponen dalam pendapatan/biaya tersebut terdapat BKP/JKP yang terutang PPN, maka laporan laba rugi juga berkait dengan kewajiban PPN yang besarnya diperhitungkan melalui PPN Keluaran (Penjualan) dikurangi dengan PPN Masukan (Pembelian). Dengan penyajian yang baik akan dapat melihat kesamaan peredaran usaha (PPh Badan) dengan akumulasi Dasar Pengenaan Pajak pada SPT Masa PPN (Januari s.d Desember).
- Kewajiban pemotongan Jenis Pajak PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan, yang penghasilannya di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), beban gaji yang dibayarkan kepada karyawan adalah merupakan komponen beban yang menjadi pengurang pendapatan dalam laporan laba-rugi yang disajikan oleh perusahaan. Dapat ditelusuri kesamaan biaya pada rugi laba dengan objek PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21
- Kewajiban memotong Jenis Pajak Pasal 4 ayat [2] Final atas sewa tanah dan atau bangunan, yang ditempati/digunakan oleh perusahaan, hal ini berkait dengan beban sewa yang terdapat dalam komponen beban laporan laba-rugi, tidak berbeda dengan PPh 21, PPh Final pun sangat berkait dengan laba yang dicantumkan dalam laporan laba-rugi.
- Kewajiban pemotongan Jenis Pajak PPh Pasal 23 atas jasa-jasa pihak ketiga yang berkait dengan transaksinya. Bagi perusahaan yang usaha pokoknya memberikan jasa seperti konsultan juga berkait dengan PPh Pasal 23 atas pendapatan jasa yang artinya hal ini berkait dengan pencantuman pendapatan pada laporan laba-rugi.
- Adanya pengurangan atau penambahan aktiva tetap berupa tanah dan/atau bangunan yang tercantum dalam neraca, juga berkait dengan kewajiban BPHTB yang diwajibkan untuk melunasinya bagi pembeli dan PPh atas penjualan tanah dan atau bangunan dari segi penjual. Sehubungan dengan kepemilikan/ penggunaan/penguasaan atas tanah dan bangunan juga diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
- Kenaikan aktiva tetap yang terdapat dalam neraca melalui mekanisme penilaian kembali (revaluasi) juga merupakan obyek pajak. Pelaksanaan revaluasi aktiva tetap mengacu pada pasal 19 ayat [1] UU PPh. Selisih penilaian kembali antara harga pasar dan nilai buku suatu aktiva, merupakan obyek pajak penghasilan yang bersifat final.
- Pembagian dividen, adanya pembagian dividen didahului oleh pengumuman pembagian dividen kepada pemegang saham. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat [1] UU PPh, terutangnya dividen menimbulkan kewajiban pemotongan PPh Pasal 23. Dividen yang dibagi berkaitan erat dengan laba ditahan (retained earning) yang disajikan dalam neraca dan berkait pula dengan laba yang tercantum dalam laporan laba-rugi.
- WP yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan keuangan atau menyampaikan laporan keuangan yang isinya tidak benar, yang dapat berakibat merugikan Negara, diancam pidana penjara maksimal enam tahun dan denda paling banyak empat kali dari jumlah pajak yang tidak atau kurang disetor (Pasal 39 [1] UU KUP).
- Dan lain-lain
Hal ini menunjukkan betapa laporan keuangan memiliki berbagai keterkaitan (koherensi) yang kuat dengan berbagai kewajiban pajak, baik kewajiban membayar (pajak) atau timbulnya utang pajak, dan dapat pula timbul kewajiban untuk memotong pajak kepada pihak lain sehubungan dengan aktivitas usaha.
Begitu pentingnya laporan keuangan dalam perpajakan, sampai-sampai SPT yang dilaporkan tanpa dilampiri dengan laporan keuangan dapat dianggap tidak disampaikan. Dan bahkan gara-gara menyampaikan laporan keuangan palsu, WP dapat dikatagorikan melakukan tindak pidana yang diancam dengan sanksi penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak empat kali dari jumlah pajak terutang atau yang tidak/kurang disetor.
Pengaruh Opini Akuntan Dalam Perpajakan
Seperti sudah dijelaskan diawal tulisan, bahwa banyak berkas keberatan yang penulis tangani adalah wajib pajak yang sudah diaudit oleh Akuntan Publik (AP)/Kantor Akuntan Publik (KAP) bahkan dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sekalipun, ini membuktikan bahwa tidak ada pengaruh dan perbedaan antara yang sudah diaudit maupun tidak diaudit terkait dengan penyimpangan pajak.
Walau memang ada wacana, BAPEPAM dan pelaku usaha/wajib pajak yang terdaftar di bursa menuntut perlakuan perpajakan yang memiliki keberpihakan bagi wajib pajak terlebih bagi yang telah memperoleh opini WTP, misalnya fasilitas perpajakan dan tuntutan lainnya yaitu memfungsikan opini akuntan yang laporan keuangannya telah diaudit oleh akuntan publik dan mendapat opini WTP agar tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali wajib pajak terindikasi melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan masalah keuangan, akuntansi, atau masalah perpajakan.
Memang hati kecil mengaminkan seharusnya ada perbedaan perlakuan wajib pajak yang sudah diaudit oleh AP/KAP terlebih dengan opini WTP. Penulis pernah mencoba meyakinkan pimpinan bahwa sengketa wajib pajak telah dapat dibuktikan dengan dokumen lengkap bahkan sudah dijelaskan dalam laporan keuangan yang telah diaudit oleh KAP dengan opini WTP, namun tetap saja pimpinan penulis meminta bukti ke pihak lawan transaksi tentang perlakuan akuntansi dalam pembukuannya sehubungan dengan transaksi dengan wajib pajak yang bersengketa sebagai salah satu penguat keyakinan tim peneliti keberatan.
Kesimpulan
Penulis belum melihat ada pengaruhnya jika perusahaan sudah diaudit bahkan dengan opini WTP sekalipun tidak akan melakukan penyimpangan perpajakan. Memang ironi, seharusnya opini WTP KAP dapat dijadikan dasar oleh fiskus dalam pengawasan kewajiban perpajakan. Namun pada faktanya masih ditemukan penyimpangan perpajakan terhadap wajib pajak yang telah diaudit. Beda hal jika ada survey ataupun parameter yang independen yang mengatakan bahwa hasil penelitian terhadap wajib pajak yang telah diaudit dengan opini tertentu tidak ditemukan koreksi yang signifikan dalam mengemplang pajak negara, sehingga WP yang telah mengauditkan laporan keuangannya memiliki manfaat yang seimbang dari pengorbanannya yaitu biaya dalam proses audit. Sampai saat ini saya belum pernah melihat statistik atau hasil survey tersebut.
Sebuah Catatan
Dalam suatu obrolan dengan wajib pajak yang ditolak permohonan keberatannya, Wajib Pajak berencana akan mengajukan banding sempat hampir mengurungkan niatnya, begini ceritanya : Ketika sang manager (WP) diperintahkan untuk negoisasi terhadap Kantor Konsultan Pajak (KKP) yang akan mengurus bandingnya, dimana KKP meminta succes fee yang cukup besar yang membuat kedua biji bola mata sang manajer hampir keluar, memang MoU-nya jelas jika ditolak maka KKP tidak menerima fee (walau biasanya tetap diberikan sekedarnya), karena posisi wajib pajak masih lebih bayar (tidak ada pengaruh sanksi lebih besar akibat putusan banding jika ditolak) maka wajib pajak tetap memutuskan untuk banding.
Berbicara tentang AP/KAP dan KKP manager ini menceritakan banyak hal, tentang kenapa dia memilih untuk bekerja di perusahaan, terlebih dalam kondisi Direktorat Jenderal Pajak yang sudah melakukan reformasi total, profesional dan berdedikasi. Mungkin itulah mengapa pimpinan penulis menghimbau tim peneliti keberatan dalam setiap Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (SPUH) baik Surat Keputusan (SK)nya diterima maupun ditolak memastikan Direktur perusahaan diharuskan hadir mendampingi kuasa wajib pajak dengan alasan untuk menghindari informasi bias yang tidak diinginkan.