Sebagai petugas pajak dalam hal ini sebagai Penelaah keberatan (PK), sudah biasa berhadapan dengan konsultan yang menangani kasus sengketa wajib pajak karena hal ini sesuai dengan bunyi pasal 32 ayat (3) UU nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan KUP yang mengatakan “Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”, namun menghadapi wajib pajak yang menangani sengketa pajaknya secara langsung  adalah hal yang sangat jarang sekarang ini.

Sebagai Penelaah Keberatan, ada pertanyaan dalam hati sehubungan dengan banyaknya surat keberatan dan permohonan pengurangan sanksi yang masuk dan menjadi tunggakan pekerjaan penulis (Kebetulan wilayah penulis adalah salah satu wilayah yang paling banyak kawasan industrinya dibandingkan wilayah-wilayah lain), inilah korelasi yang mendasari saya untuk menulis hal ini, apa benar wajib pajak sekarang sudah paham ketentuan perpajakan (Paham dan tahu melakukan Keberatan, Pengurangan dan Banding serta Sengketa)?  dan Apa penyebab, wajib pajak lebih percaya menggunakan jasa pihak lain untuk menangani sengketa perpajakannya? Atau ada hal lainnya?

Memang, setiap petugas pajak tingkat akar rumput, tentu sering  mendapat keluhan dari wajib pajak tentang perlakuan petugas pajak maupun aturan perpajakan yang tidak berpihak terhadap usaha mereka namun karena beberapa hal sebagian dari mereka tidak mempermasalahkannya.  Dari keluhan-keluhan tersebut sementara ini saya menyimpulkan beberapa yang menjadi alasan mereka, kenapa mereka bermasalah dengan perpajakan, diantaranya:

  • Kekurangtahuan tentang ketentuan perpajakan, hal ini karena memang para wajib pajak lebih fokus berbisnis dan keuntungan, sehingga ketika mereka diperhadapkan dengan kewajiban perpajakan mereka alergi dan menyelesaikan dengan tidak sesuai ketentuan, sehingga bermuara kepada sengketa pajak.
  • Kurang paham tentang tugas dan fungsi Account Representative (AR), dari beberapa wajib pajak merasa kecewa karena tidak semua pertanyaan mereka dapat dijawab oleh AR secara tuntas, sehingga mereka akhirnya bermasalah dengan perpajakan.
  • Masalah biaya, bagi beberapa perusahaan besar tidak masalah dengan penggunaan jasa Kantor Akuntan Publik dan Kantor Konsultan Pajak (KKP) dalam penanganan kasus perpajakan mereka, disamping mereka memiliki tenaga yang handal dibidang perpajakan sendiri, namun bagi perusahaan kecil alasan biayalah yang menyebabkan mereka menghadapi kasus perpajakan sendiri bahkan membiarkannya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, seharusnya wajib pajak tidak memiliki alasan lagi sehingga mereka harus melakukan sengketa pajak, karena Direktorat Jenderal Pajak telah lebih dahulu melayani wajib pajak dengan fasilitas-fasilitas yang memudahkan wajib pajak dalam memahami ketentuan-ketentuan perpajakan, perbaikan pelayanan dengan konsep layanan unggulan serta terbebas dari budaya pungli yang telah merusak negeri ini, bahkan banyaknya kemudahan dan fasilitas yang mendukung usaha mereka, maka timbul pertanyaan, lalu apa yang menyebabkan banyaknya kasus sengketa pajak ini?

Dilihat Dari Institusi Direktorat Jenderal Pajak

Kita mengenal istilah esprit de corps yang pernah dikenalkan oleh Saudara saya Napoleon Bonaparte yaitu “the common spirit existing in the members of a group and inspiring enthusiasm, devotion, and strong regard for the honor of the group” semangat yang dimiliki setiap anggota kelompok dan mengobarkan semangat yang besar, kesetiaan, serta bakti yang kuat akan kehormatan kelompok. Bahkan baru-baru ini dengan semangat jiwa korsa (esprit de corps) beberapa prajurit rela melanggar hukum (akibat sistem hukum yang lemah) dengan konsekuensi kemungkinan hukuman berat. Saya sempat melihat bagaimana semangat itu jauh-jauh hari sebelum institusi saya ini melakukan modernisasi adalah institusi yang disegani, namun kini itu semua tinggal kenangan karena, fenomena sekarang ini semangat individualisme yang mendominasi, rasa kecurigaan diantara pegawai, dan belum lagi kepemimpinan (oportunis) yang ada hanya simbol tanpa eksistensi yang jelas.

Memang tidak ada alasan bagi kita untuk membela yang salah (bagi pelaku korupsi), namun tindakan-tindakan sekarang ini malah menciptakan upaya mencari jalan selamatkan diri masing-masing yang akhirnya berimplikasi negatif terhadap pekerjaan, wajib pajak dan hal yang paling penting adalah penerimaan negara. Institusi ini tidak akan lebih baik jika tidak memperhatikan kondisi tersebut. Beberapa komunikasi yang coba saya bangun untuk melihat akar permasalahan munculnya sengketa perpajakan, dibagi dari beberapa kasus sengketa yang meliputi :

  1. Pemeriksaan Rutin Lebih Bayar yang berakhir dengan ketetapan kurang bayar (SKPKB) atau lebih bayarnya berkurang (SKPLB). Wajib pajak  mengatakan adanya kesan kecurigaan Pejabat Fungsional Pemeriksa, terhadap kewajiban perpajakan namun tidak dapat dibuktikan secara ketentuan perpajakan sehingga dasar hukum yang dilakukan adalah berdasarkan asumsi. Beberapa wajib pajak bahkan tidak diberi kesempatan untuk menunjukan bukti-bukti yang dimiliki dengan alasan keterbatasan waktu sambil mempersilahkan menunjukan bukti-bukti itu nanti di Keberatan, di Banding.
  2. Pemeriksaan Khusus, berawal dari himbauan AR, diperiksa dan berakhir dengan ketetapan kurang bayar (SKPKB). Jika mekanismenya berjalan dengan baik tentulah tidak ada kasus sengketa dalam hal ini kecuali tentunya permintaan permohonan pengurangan sanksi.
  3. Pengawasan AR yang berakhir dengan tagihan pajak (STP), hal yang sama pada poin 2, jika mekanismenya berjalan dengan baik tentulah tidak ada kasus sengketa dalam hal ini kecuali tentunya permintaan permohonan pengurangan sanksi.

Dari beberapa penyebab di atas saya menyimpulkan ada sesuatu yang perlu diperbaiki sehingga nantinya kasus sengketa perpajakan yang timbul adalah murni karena suatu kasus perbedaan interprestasi ketentuan perpajakan. Institusi Direktorat Jenderal Pajak dalam reformasi, menurut saya juga transformasi organisasi telah menelurkan beberapa istilah, dalam hal ini saya memperhatikan dan membandingkan  2(dua) hal, jika saja hal ini dapat diperbaiki lebih sungguh lagi, yaitu  :

  1. Sumber Daya Manusia, dikenal dengan Account Representative,  yang mirip dengan apa yang dilakukan negara tetangga, di negara Australia ada media  Private Rulings dimana Wajib Pajak dapat mengajukan pertanyaan seputar hukum pajak yang berlaku kepadanya kepada otoritas pajak, sebelum  SPT dilaporkan kepada otoritas pajak, untuk mendapatkan kepastian bahwa SPT yang dilaporkan kepada otoritas pajak telah sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Private rulings dikeluarkan oleh otoritas pajak dengan mempertimbangkan konsistensi dengan peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan untuk Wajib Pajak lainnya, sehingga Wajib Pajak yang mengajukan Rulings dapat keberatan atas keputusan pihak otoritas pajak jika dianggap keputusan tersebut tidak konsisten dengan Rulings lain yang diketahuinya pernah dikeluarkan sebelumnya. Perbedaannya adalah jika AR bidang pekerjaannya menyeluruh (konon dari b sampai y :D) tidak begitu halnya di negara tetangga tersebut. Sehingga dengan kondisi ini jika berjalan sebagaimana mestinya tentu akan menghilangkan banyak kasus sengketa pajak.
  2. Suatu sistem, yaitu Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP), di negara yang sama dikenal dengan Integrated Quality Framework yaitu suatu sistem yang dibuat untuk memastikan kualitas pekerjaan telah dilakukan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.  Dilakukan monitoring terhadap  tahapan-tahapan pekerjaan, sehingga jika terdapat suatu kekurangan pada suatu tahap pekerjaan, dapat segera diketahui dan diperbaiki.  Dengan demikian, kekurangan atau kesalahan pada suatu tahap pekerjaan, tidak terbawa pada tahap pekerjaan selanjutnya. Sistem ini juga akan menilai administrasi, kelayakan, konsistensi, integritas, efektivitas, waktu, kebenaran, keterbukaan dan efisiensi suatu pekerjaan yang hasilnya secara sistem akan dianggap “tidak layak” jika di bawah benchmark, “layak” jika benar namun perlu perbaikan-perbaikan, “memenuhi standar” jika sama dengan benchmark, “high” jika menginspirasi perbaikan dalam lingkup sempit, “very high” jika menginspirasi perbaikan dalam lingkup lebih luas. Memang dengan SIDJP yang dimiliki sekarang ini akan terus mengalami perbaikan seperti janji Jepang untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia.

Itu adalah beberapa hal yang sudah dilakukan, namun pada faktanya masih belum mampu mengurangi kasus sengketa perpajakan yang ada, jika saja kedua hal ini dievaluasi kembali dan mengembalikan kepada tujuan fungsi, bukan niscaya akan berkurang wajib pajak yang melakukan sengketa perpajakan. 🙂

Dilihat dari Wajib Pajak (WP)

Jika saja kita menyadari bahwa semua uang pajak yang terkumpul  dari para pembayar pajak (WP) digunakan menurut peruntukan yaitu Belanja Pemerintah Pusat dan ke seluruh Pemerintah Provisi/Kota/Kabupaten sebagai Dana Perimbangan , Dana otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian. Maka dalam hal ini izinkan saya menyampaikan opini pribadi saya tentang wajib pajak menurut sudut pandang saya dengan pengalaman  bergaul dan berjibaku dengan wajib pajak, maka mereka (wajib pajak) dapat dibagi atas:

  1. WP yang paham dan patuh terhadap ketentuan perpajakan, dalam menghadapi wajib pajak ini, baik petugas pajak maupun wajib pajak harus rela menerima konsekuensi dengan dasar aturan perpajakan, (karena sangat memungkinkan adanya aturan yang inskonsitensi dengan aturan lainnya).
  2. WP yang tidak paham dan patuh terhadap ketentuan perpajakan, dalam menghadapi WP jenis ini sangatlah langka, pada umumnya jikapun harus berhadapan dengan situasi misalnya SKPKB  besar, maka wajib pajak akan memilih untuk menunda pembayaran atau melalui angsuran pembayaran.
  3. WP yang paham dan tidak patuh terhadap ketentuan perpajakan, jenis wajib pajak ini sangat banyak dan banyak dari mereka yang selamat karena terlindungi oleh SDM dan Sistem yang buruk.
  4. WP yang tidak paham ketentuan perpajakan dan mau membayar pajak, jenis wajib pajak ini menurut saya yang paling banyak, umumnya mereka memahami fungsi uang pajak dan ingin membayar namun terbentur dari kekurangtahuan mekanismenya. (mis : adanya pemikiran dan ketakutan jika membayar PPh Pasal 25 maka tidak akan pernah turun).
  5. WP yang tidak paham ketentuan perpajakan dan tidak mau membayar pajak, untuk wajib pajak jenis ini sama banyaknya dengan jenis pajak nomor 4, pada umumnya mereka adalah wajib pajak yang paling banyak protes dengan kebijakan perpajakan terlebih jika ada petugas fiskus yang terkait masalah hukum.
  6. WP yang cari duit dari pajak, jenis ini sangat sedikit dan menjadi buruan penyidik pajak contohnya adalah wajib pajak penerbit faktur pajak fiktif atau pengemplang uang pajak.

Bersambung…..   (saya suka dengan kata …. “sinergi!!,easy to say “)