Beberapa waktu lalu diruang kelas, salah seorang peserta brevet yang juga merupakan karyawan dalam suatu perusahan mengatakan bahwa kriteria Wajib Pajak Patuh (Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.03/2003) telah dihapuskan sehingga perusahaannya mengajukan permohonan untuk mendapat perusahaan dengan kriteria Resiko Rendah (Low Risk) sebagaimana diatur dalam 71/PMK.03/2010 dan PER-31/PJ/2010. Setelah saya pertegas, peserta tersebut mengaminkan bahwa atas Kriteria Wajib Pajak Patuh bukan dihapus namun permohonan mereka sebelumnya di tolak, pastinya dengan alasan tertentu. Kriteria wajib pajak patuh maupun Kriteria Resiko Rendah adalah berbicara tentang fasilitas yang diperoleh oleh wajib pajak/perusahaan untuk memudahkan beberapa hal termasuk kemudahan pelayanan Restitusi. Kemungkinan besar beberapa perusahaan sudah memahami fasilitas-fasilitas perpajakan karena pada umumnya perusahaan besar sudah menggunakan konsultan bahkan tax planner tersendiri, beberapa fasilitas tersebut semisal :

  • Fasilitas PPh dan PPN yang tersedia langsung didalam UU.
  • Fasilitas khusus untuk Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)
  • Fasilitas dalam rangka meningkatkan ekpor Non Migas yaitu Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).
  • Fasilitas khusus untuk proyek yang dibiayai dengan hibah/pinjaman luar negeri.
  • Fasilitas SKB (Surat Keterangan Bebas) dan pengurangan angsuran PPh 25.
  • Fasilitas Penyusutan Dipercepat, Metode Pencatatan Selisih Kurs
  • dll

Dalam tulisan kali ini coba saya tuliskan kembali tentang fasilitas didalam jenis pajak khusus Pajak Pertambahan Nilai. Secara umum kita mengetahui bahwa diantara fungsi pajak disamping untuk mengisi penerimaan negara (Budgetair) juga untuk mengatur  perkenomian suatu negara (Regulerend), berangkat dari mengatur perekonomian negara tersebutlah maka ada fasilitas tersebut.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga  atas Undang-undang  Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, di dalamnya memberlakukan negative list untuk pengenaan PPN. Adapun tujuan pemerintah memberlakukan pengecualian untuk transaksi tertentu diantaranya beralaskan :

  1. Untuk efisiensi dan kemudahan administrasi.
  2. Untuk mengontrol harga untuk barang-barang strategis
  3. Untuk insentif ekonomi di bidang usaha tertentu, semisal barang tambang dari sumbernya, barang kebutuhan pokok
  4. Untuk insentif bidang sosial, semisal jasa pelayanan kesehatan medik, jasa pelayanan sosial, jasa keagamaan, jasa pendidikan
  5. Untuk menghindari timpang tindih pajak berganda dengan pajak daerah, semisal pajak atas Usaha Perhotelan maupun Restoran

Ditinjau dari sudut objek PPN dapat dibagi menjadi 4 yaitu, (empat)

  1. Terutang PPN,
  2. Terutang PPN namun Tidak Dipungut (Pasal 16b ayat 1) selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah. “Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk : a) Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean; b) Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; c) Impor Barang Kena Pajak tertentu; d) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.” dan (Pasal 16b ayat 2). Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan. Contoh : Fasilitas PPN di Kawasan Bebas yaitu Batam, Karimun, bintan. Dan Fasilitas PPN di Kawasan Berikat serta Proyek Pemerintah yang dananya berasal dari hibah/bantuan luar negeri.
  3. Barang dan Jasa yang Tidak dikenai PPN (Pasal 4a) : Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
    1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
    2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
    3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
    4. uang, emas batangan, dan surat berharga.
  4. Terutang PPN namun dibebaskan (Pasal 16b ayat 2), Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan. Contoh Impor dan atau penyerahan BKP Tertentu/JKP Tertentu, serta Impor dan atau penyerahan BKP Tertentu yang bersifat Strategis.

 I. Fasilitas Perpajakan Di Kawasan Berikat

Tempat Penimbunan Berikat dapat berupa Suatu Bangunan, Tempat, atau Kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk. (PMK No 147/PMK.04/2011 stdd PMK No 44/PMK.04/2012). Tempat Penimbunan Berikat yang Pengawasan sepenuhnya merupakan wewenang DJBC, dapat berbentuk :

  • Gudang Berikat;
  • Kawasan Berikat;
  • Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat;
  • Toko Bebas Bea;
  • Tempat Lelang Berikat; atau
  • Kawasan Daur Ulang Berikat.

Kawasan Berikat merupakan tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang  impor, Dan/atau barang yg berasal dari  Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDDP) yang diolah atau digabungkan yang hasilnya terutama untuk di ekspor.

Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB) adalah badan hukum yang melakukan kegiatan menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat. Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat. Pengusaha di Kawasan berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat yang selanjutnya disingkat PDKB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan Berikat yang statusnya sebagai badan hukum yang berbeda.

 Dalam Pasal 14 ayat (1) PMK Nomor 147/PMK.04/2011 stdd PMK Nomor 44/PMK.04/2012. Diatur bahwa PPN dan PPh Pasal 22 Impor tidak dipungut atas:

  1. Impor Bahan Baku dan Bahan Penolong untuk diolah lebih lanjut;
  2. Impor Barang Modal yang dipergunakan di Kawasan Berikat;
  3. Impor Peralatan perkantoran;
  4. Pemasukan Barang Hasil Produksi Kawasan Berikat lain untuk diolah lebih lanjut
  5. Impor kembali barang hasil produksi Kawasan Berikat
  6. Pemasukan kembali barang hasil produksi Kawasan Berikat dari Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat (TPPB)
  7. Impor barang jadi untuk digabungkan dengan barang hasil produksi Kawasan Berikat yang semata-mata untuk diekspor;
  8. Impor pengemas dan alat bantu pengemas untuk menjadi satu kesatuan dengan barang hasil produksi Kawasan Berikat.

Dalam Pasal 14 ayat (2) PMK Nomor 147/PMK.04/2011 stdd PMK Nomor 44/PMK.04/2012. Diatur bahwa PPN dan PPh Pasal 22 Impor tidak dipungut atas: PPN dan PPnBM tidak dipungut atas pemasukan barang dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDDP), yaitu:

  1. Pemasukan barang ke Kawasan Berikat untuk diolah lebih lanjut;
  2. Pemasukan kembali barang dan Hasil Produksi Kawasan Berikat dalam rangka subkontrak dari Kawasan Berikat lain atau perusahaan industri di TLDDP ke Kawasan Berikat;
  3. Pemasukan kembali mesin dan/atau cetakan (moulding) dalam rangka peminjaman dari Kawasan Berikat lain atau perusahaan di TLDDP ke Kawasan Berikat;
  4. Pemasukan Hasil Produksi Kawasan Berikat lain, atau perusahaan di TLDDP yang Bahan Baku untuk menghasilkan hasil produksi berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, untuk diolah lebih lanjut oleh Kawasan Berikat;
  5. Pemasukan hasil produksi yang berasal dari Kawasan Berikat lain, atau perusahaan di TLDDP yang Bahan Baku untuk menghasilkan hasil produksi tersebut berasal dari TLDDP, yang semata-mata akan digabungkan dengan barang Hasil Produksi Kawasan Berikat untuk diekspor; atau
  6. Pemasukan pengemas dan alat bantu pengemas dari TLDDP.

Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila Pengusaha dalam kawasan berikat dalam melakukan pembelian dari TLDDP namun dalam hal fasilitas PPN tidak digunakan (PPN dibayar/dipungut) maka PPN yang dibayar tersebut tidak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kawasan Berikat. Pengusaha Kawasan Berikat yang juga berstatus sebagai WP Patuh atau PKP Berisiko Rendah tidak dapat memanfaatkan fasilitas pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

Seperti diketahui bahwa pada umumnya pengusaha dalam kawasan berikat dalam melakukan penjualan untuk diekspor kembali sehingga diperoleh skema sebagai berikut :

  • PDKB melakukan impor BKP mendapat fasilitas PPN tidak dipungut
  • PDKB melakukan pembelian dari TLDDP mendapat fasilitas PPN tidak dipungut
  • PKP yang merupakan TLDDP memungkinkan untuk melakukan restitusi
  • PDKB melakukan ekspor dikenakan PPN dengan tarif 0%

Namun adakalanya PDKB dalam melakukan penjualan disamping ekspor juga melakukan penjualan di dalam negeri sehingga diluar dari skema di atas diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

  • Apabila hasil produksi Kawasan Berikat dijual ke dalam negeri, maka Fasilitas PPN  tidak dipungut atas impor dan pembelian barang harus dibayar.
  • Atas penjualan tersebut tetap dipungut PPN dalam negeri (Pajak Keluaran).

II. Fasilitas Perpajakan Di Kawasan Bebas

Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 27 April 2012 di Batam, Presiden Republik Indonesia mengumpulkan semua kepala daerah yang mendapat fasilitas kawasan bebas tentu bertujuan untuk membahas peluang dan tantangan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas serta peluang investasi di perbatasan. Kawasan Bebas di Indonesia itu adalah :

  1. Sabang diatur dalam Perpu No. 2 Tahun 2000
  2. Batam diatur dalam PP No. 46 Tahun 2007
  3. Bintan diatur dalam PP No. 47 Tahun 2007
  4. Karimun diatur dalam PP No. 48 Tahun 2007

Adapun dasar hukum tentang Kawasan Bebas diatur dalam  pasal 16 B UU PPN, PP No. 10 Tahun 2012 dan PMK No. 62 tahun 2012. Pengaturan Fasilitas Fiskal dalam PP No. 10 Tahun 2012 tersebut,  yaitu :

  • Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas wajib dilakukan di Pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, yakni yang telah mendapatkan izin dari Menteri Perhubungan dan telah mendapatkan penetapan sebagai Kawasan Pabean (Pasal 2 ayat (2) dan (3)).
  • Pengusaha di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (Pasal 4 ayat (1)) ;
  • Penyerahan barang di Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN (Pasal 4 ayat(2));
  • Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dipungut PPh Pasal 22 UU PPh, dan/atau pembebasan cukai ;

Skema Transaksi Di Kawasan Bebas

 

 Pengaturan BKP Tidak Berwujud dan JKP

  1. Pemanfaatan  Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN (Pasal 33 ayat (1))
  2. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN (Pasal 33 ayat (2))
  3. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya, dibebaskan dari pengenaan PPN (Pasal 33 ayat (3))
  4. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, dikenai PPN (Pasal 33 ayat (4))
  5. Dikecualikan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4), untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN (Pasal 33 ayat (5))
  6. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN (Pasal 33 ayat (6))
  7.  Penyerahan Jasa Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang penyerahannya dilakukan di tempat lain dalam Daerah Pabean, dipungut PPN (Pasal 33 ayat (7))
  8. Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN (Pasal 33 ayat (8))
  9. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dipungut PPN (Pasal 33 ayat (9))
  10. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN (Pasal 33 ayat (10))
  11. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus, dipungut PPN (Pasal 33 ayat (11))

Pengaturan Jasa Angkutan Udara (Pasal 34 PP 10/2012 dan Pasal 7 PMK 62/2012)

  1. Atas penyerahan jasa angkutan udara di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN
  2. Atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, dikenai PPN
  3. Atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, dikenai PPN

Pengaturan Jasa Telekomunikasi(Pasal 35 PP 10/2012 dan Pasal 8 PMK 62/2012)

  1. Atas penyerahan jasa telekomunikasi di dalam kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN
  2. Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari tempat lain dalam Daerah Pabean atau Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas, dikenai PPN
  3. Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean atau Tempat Penimbunan Berikat, dikenai PPN
  4. Dikecualikan dari ketentuan pengenaan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas penyerahan jasa telekomunikasi dengan menggunakan jaringan berkabel (fixed line) di Kawasan Bebas

III. Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

Dengan motivasi untuk mendorong pertumbuhan industri dalam negeri  dengan cara memberikan insentif bagi pelaku industri sebagai efesiensi dan penekanan pengeluaran agar industri dapat maju maka diberikanlah suatu fasilitas KITE sebelumnya dikenal dengan sebutan “drawback system”.. Umum memahami bahwa fasilitas KITE merupakan salah satu fasilitas dari Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Bea Cukai yang langsung berpengaruh dengan Direktorat Jenderal Pajak yaitu untuk meningkatkan ekpor Non Migas. Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) adalah pemberian pembebasan dan/atau pengembalian Bea Masuk (BM) dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor.

Perbedaan mendasar antara Kawasan Berikat dan KITE adalah, Kawasan Berikat  diberikan terhadap perusahaan/lembaga sedangkan KITE diberikan kepada barangnya (PMK 147/PMK.04/2011). Adapun varian fasilitas yang diberikan adalah pembebasan dan pengembalian dengan penjelasan sebagai berikut :

  1. Pembebasan :  Barang dan/atau bahan asal impor untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain di Perusahaan dengan tujuan untuk diekspor dapat diberikan Pembebasan serta PPN dan PPnBM tidak dipungut. Beberapa karakteristiknya adalah 1).  Pada saat impor bahan baku: Bea Masuk / Cukai bebas, PPN / PPnBM tidak dipungut (tetapi dengan jaminan). 2). PPh Pasal 22 dibayar Jaminan dikembalikan setelah ekspor/jual ke Kawasan Berikat.
  2. Pengembalian : Barang dan/atau bahan asal impor dan/atau hasil produksi dari Kawasan Berkat untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain yang telah dibayar BM dan/atau Cukainya dan telah diekspor dapat diberikan Pengembalian saat 1). Pada saat impor Bea Masuk/Cukai/PPN/PPnBM bayar, 2). Pengembalian diberikan setelah ekspor/jula ke Kawasan Berikat.

Ketentuan Umum lainnya yang perlu diketahui:

  • Pembebasan atau Pengembalian juga dapat diberikan terhadap hasil produksi yang bahan bakunya berasal dari impor yang diserahkan ke Kawasan Berikat untuk diproses lebih lanjut.
  • Tidak dapat diberikan Pembebasan atau pengembalian KITE terhadap bahan bakar, minyak pelumas dan barang modal.
  • Hasil produksi dapat dijual ke dalam negeri setelah ekspor/jual ke kawasan berikat, maksimum 25%-nya (artinya 75% diperuntukan untuk ekspor). Tetapi tidak diberikan pembebasan atau pengembalian
  • Hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi, hasil produksi yang rusak dan bahan baku yang rusak yang bahan bakunya berasal dari impor oleh Perusahaan dapat dijual ke dalam negeri atau dimusnahkan

Untuk mendapatkan fasilitas KITE, perusahaan harus mendapatkan NIPER (Nomor Induk Perusahaan) yang terdiri dari NIPER pembebasan dan atau NIPER Pengembalian dari Kepala Kantor Wilayah Ditjen Bea dan Cukai.

Pertanyaannya adalah,  siapakah yang mengawasi bahwa fasilitas yang diberikan berjalan sesuai dengan koridor yang ditetapkan, DJBC kah? atau DJP? Atau sepenuhnya berharap kepada pelaku Industri itu sendiri?

Beberapa dasar hukum untuk referensi fasilitas KITE yaitu :

  1. PMK No. 253/PMK.04/2011 tentang Pengembalian Bea Masuk yang telah dibayar atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
  2. PMK No. 254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan Bea Masuk yang telah dibayar atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
  3. UU No. 17 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan .

 

 

Bersambung…

(Dikompilasi dari berbagai sumber sebagai informasi dan arsip ogut 🙂 )