Semua Pengusaha Kena Pajak (PKP) pasti mengenal jenis pajak yang satu ini yaitu Pajak Pertambahan Nilai/PPN (value added tax/VAT), namun tidak semua PKP mungkin mengetahui bilamana PPN pertama kali dikenakan di Indonesia? karena memang tidak ada ruginya jikapun tidak mengetahuinya :D. Namun perlu kiranya kita sedikit mengetahui muasal pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dinegara kita yang permai ini :). Disni penulis mencoba mengkompilasi sedikit informasi tentang sejarah Pajak Pertambahan Nilai semoga dapat menambah wawasan kita.
Sejarah Pajak Pertambahan Nilai
Teknik pemajakan atas PPN didasarkan pada metode pengkreditan pajak, dimana bentuk awalnya merupakan pemajakan atas penjualan yang merupakan pemajakan atas konsumsi. Evolusi consumtion taxes yang terjadi di Prancis dari tahun 1917 – 1920 dengan pemberlakuan Bea Materai kepada konsumen yang kemudian berkembang antara tahun 1920 – 1936 dengan pemberlakuan Pajak Penjualan yang diberlakukan secara umum dengan tarif pajak antara 0,5% – 10% dengan subjek pajak terdiri dari personal tax payer (Orang Pribadi) dan corporate tax payer (Badan). Dalam kurun waktu tersebut diberlakukan tarif khusus yang dikenakan satu kali terhadap kegiatan produksi. Kini untuk menjamin netralitas pajak terhadap kegiatan usaha maka diterapkan destination principle (ekspor dibebaskan pengenaan pajak penjualan, sedangkan impor tetap dikenakan pajak penjualan). Antara tahun 1936 – 1939 pemberlakuan pajak umum atas semua komoditi dikenakan satu kali pada tingkat produksi dengan tarif awal sebesar 6%. Di masa ini untuk menjamin netralitas pajak terhadap kegiatan usaha, juga diterapkan destination principle. Anatara tahun 1939 – 1948 diterapkan pajak umum atas transaksi turunan dari tipikal pajak penjualan tahun 1920 an. Akibat sistem perpajakan yang kompleks terhadap penjualan maka pada kurun waktu 1948 – 1954, akibat kebutuhan akan restorasi ekonomi pasca perang telah mendorong Prancis mereformasi sistem perpajakan atas penjualan tersebut yang salah satu hasilnya adalah penerapan Pajak Pertambahan Nilai (value added tax/VAT), disamping penerapan pajak penjualan atas subjek/objek pajak tertentu.
Negara-negara besar seperti Prancis, USA, Inggirs serta 60 negara-negara lain diseluruh dunia termasuk Indonesia sampai sekarang ini masih tetap menganut sistem perpajakan berdasarkan Pajak Pertambahan Nilai (value added tax/VAT) sebagai teknik pemajakan atas penjualan, karena PPN itu sendiri sebenarnya merupakan bahagian dari consumption tax hanya pemajakannya berbeda dengan pajak penjualan (sales tax) karena adanya tax invoice system.
PPN Di Indonesia
Yang perlu kita sadari bahwa sejak jaman pra Kemerdekaan sebelum tahun 1951 Indonesia masih menggunakan sistem pajak bekas kolonial. Maka untuk menghilangkan sisa kolonial di Indonesia dikeluarkan UU Darurat thn 1951 ditetapkan Pajak Penjualan atau yang biasa disebut PPn. Pengenaan PPn di Indonesia hanya bertahan hingga tahun 1983 karena terjadi pengenaan pajak berganda oleh PPn sehingga dilakukanlah suatu Tax Reform dengan mengeluarkan 5 paket UU, dalam Tax Reform tersebut banyak unsur perpajakan yang diganti dan ditambah. salah satunya mengganti pengenaan Pajak Penjualan menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPn menjadi PPN).
PPn diganti agar pengenaan pajak berganda tidak terjadi sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya penggelapan pajak. Dalam Pajak Penjualan (PPn) pajak dikenakan berlipat-lipat sehingga terjadi ketidak netralan perdagangan. Beban pajak yang dipikul menjadi tdk pasti. Dan tidak ada mekanisme pembebanan Pajak Masukan atau Pajak Keluaran dalam tiap transaksi PPn, ketika barang dijual dikenakan 10% atas nilai jual sehingga pengenaan pajaknya besar dan secara kalkulasi dunia usaha merugikan karena barang yang dijual akan semakin mahal.
Contoh PPn Barang dari pabrikan dijual Rp. 1000 + PPn Rp100 = 1100, jika hingga berapa kali pedagang maka pengenaan PPn tetap terjadi hingga konsumen akhir, misal dari Rp. 1.100 tersebut oleh distributor dijual Rp. 1.100+ Rp.400 adalah Rp. 1.500 maka PPn Rp. 1.50 dijual Rp. 1.650. dan seterusnya maka pengenaan Pajak seperti ini menyebabkan banyak penggelapan maka diubah agar beban pajak dapat dialihkan kepada pihak yang mengkonsumsi Barang/jasa yg menjadi obyek pajak, bukan dibebankan oleh penjual.
Contoh PPN (Reform) : Barang dari produsen dijual Rp. 1.000 maka PPN Rp. 100, dr Distributor jual 1500, karena Pajak Masukan 100 telah disetor, maka distributor hanya menyetor Rp. 50, sehingga tidak terjadi pengenaan pajak berganda dengan mekanisme Pajak Masukan dan Pajak Keluaran. Pajak Masukan sendiri hanya berupa Faktur Pajak atas penerimaan barang dari penjual, mekanisme dapat dibaca di mengenal faktur pajak.
Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
- Pajak Tidak Langsung, Beban pajak dipikul oleh konsumen akhir. Pengusaha akan menggeser beban pajak kepada Pembeli, sesuai dengan mata rantai produksi dan distribusi hingga ke konsumen akhir melalui pengenaan pajak secara bertingkat. Pengusaha menggeser beban pajaknya melalui pengkreditan pajak.
- Pajak Konsumsi, yaitu dimana pemikul beban pajak akan berakhir pada konsumen akhir dan PPN hanya dikenakan atas konsumsi BKP/JKP yang dilakukan didalam negeri. Dan tipe konsumsi yaitu semua pembelian yang digunakan untuk produksi termasuk pembelian barang modal dikurangkan dari penghitungan nilai tambah.
PM atas perolehan modal dapat dikreditkan dengan PK sehingga dapat dikenakan pajak satu kali.(pasal 9) - Bersifat Netral, Pengenaan PPN didasarkan pada “destination principle” dan hanya dikenakan atas nilai tambahnya saja. PPN dipungut di tempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi.
- Pajak Objektif, PPN hanya dikenakan bila terdapat faktor objektif, yaitu:keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenai pajak. PPN akan mendahulukan Objek, baru kemudian mencari Subjeknya.
- Indirect Subtraction / Credit / Invoice Methode, Pajak yang dipungut oleh PKP tidak secara otomatis wajib dibayar ke kas Negara. PPN terutang yang wajib dibayar ke kas Negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar kepada PKP lain yang dinamakan Pajak Masukan (PM) dengan PPN yang dipungut dari pembeli yang dinamakan Pajak Keluaran (PK). Untuk mendeteksi kebenaran jumlah PK maupun PM ini dibutuhkan dokumen penunjang sebagai Alat Bukti. Alat penunjang ini dinamakan Faktur Pajak (Tax Invoice) sehingga mekanisme ini dinamakan juga (Invoice Methode).
- Tarif Tunggal, Tarif Penyerahan BKP/JKP 10% (Sepuluh Persen) dan tarif Eksport 0% (Nol Persen).
(Semoga sekilas ini dapat bermuanfaat… 🙂 ).
Sangat bermanfaat & Membantu. Good Luck Bos