Pernah tidak terfikir bagaimana sesuatu yang sifatnya memaksa dapat membuat seseorang sadar dalam hal ini sadar pajak. Jadi menurut saya sulit mengharapkan kesadaran untuk membayar pajak. Memang diakhir September 2012 telah terkumpul penerimaan pajak Rp. 584 triliun dari rencana Rp. 885 triliun (Antara news) walau sebenarnya di data yang ada di internal tanggal per hari ini ada cuman lebih suka data yang sudah dipublikasikan aja :D,  saya percaya hasil itu bukan datang dengan sendirinya.

Kenapa saya katakan mengharapkan kesadaran membayar pajak itu sulit sekali? Untuk menjawab itu saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh  seorang pengacara dan seorang legislator yang berpengaruh yang bernama John Marshal (24 September 1755 – 06 Juli 1835) mengatakan “The power to tax is the power to destroy“  dimana penekanan kewajiban negara harus didahulukan sebelum menuntut kewajiban membayar pajak. Tapi, lupakanlah…. kali ini saya mencoba kembali mengulang pelajaran yang pernah saya peroleh di Jurangmangu yang saya beri judul sekilas tentang hukum pajak.

Menelisik Akar Suatu Aturan

Sebelumnya mungkin kita pernah mendengar tentang hal-hal sebagai berikut :

  • Ordonansi Rumah Tangga (stbl 1908 No. 13)
  • Ordonansi Bea Balik Nama (stbl 1924 No. 291)
  • Ordonansi Pajak Upah (stbl 1934 No. 611)
  • Ordonansi Pajak Kendaran Bermotor (stbl 1934 No. 718)
  • Aturan Bea Materai (stbl 1921 No. 419)

Seiring dengan berjalannya waktu dan tuntutan jaman apalagi jika kita lihat tahun-tahun dalam aturan jelas sekali perlu dilakukan perubahan aturan maka dilakukanlah perubahan yang dikenal dengan istilah reform, dengan alasan semangat beberapa diantaranya adalah :

  1. Latar belakang baik budaya dan pandangan saat pengaturan terdahulu berbeda dengan Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
  2. Munculnya desakan pemikir-pemikir terdahulu untuk melakukan perubahan ketentuan yang lebih baik ke dalam bahasa kesatuan RI.

Maka munculah 5 Paket UU yang menjadi cikal-bakal ketentuan perpajakan di Indonesia sampai dengan hari ini, adapun ke 5 paket tersebut dengan perubahan terkini adalah :

  1. UU No. 6/1983  tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan runut perubahan pertama UU No. 9/1994, perubahan kedua UU No. 16/2000, Perubahan ketiga UU No. 28/2007, perubahan keempat UU No. 16/2009
  2. UU No. 7/1983  tentang Pajak Penghasilan dengan runut perubahan pertama UU No. 7/1991, perubahan kedua UU No. 10/1994, perubahan ketiga UU No. 17/2000, perubahan keempat UU No. 36/2008.
  3. UU No. 8/1983  tentang Pajak Pertembahan Nilai dengan runut perubahan adalah UU No. 8/1984, perubahan pertama UU No. 11/1994, perubahan kedua UU No. 18/2000, perubahan ketiga UU No. 42/2009
  4. UU No. 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dengan perubahan  UU No. 12/1994
  5. UU No. 13/1985 Tentang Bea Materai
Terkait dengan hal pemajakan, pada tahun 2007 diterbitkan aturan perpajakan yang meliputi :
  • UU No. 17/1997   tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, dengan perubahan UU No. 14/2002 tentang Pengadilan Pajak
  • UU No. 18/1997   tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, perubahan  dengan UU No. 34/2000,  UU No. 28/2009.
  • UU No. 19/1997   tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, perubahan dengan UU No. 19/2000.
  • UU No. 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB), dengan perubahan UU No. 20/2000.

Jenis Perpajakan Di Indonesia

Hal yang membuta alergi para pembayar pajak adalah banyak sekali jenis-jenis perpajakan yang ada di, dari banyaknya jenis-jenis itu pada prinsipnya dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu 1). Menurut golongan, 2). Menurut sifatnya, dan 3). Menurut kewenangan, berikut penjelasannya:

  1. Menurut Golongannya adalah terdiri atas pajak langsung, dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang pembayarannya dimana harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat atau tidak bisa dialihkan kepada pihak lain (misalnya  PPh).  Pajak tidak langsung adalah  pajak yang     pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak lain (misalnya PPN/PPnBM, Bea Materai).
  2. Menurut Sifatnya adalah pajak subjektif dan pajak objektif. Pajak subjektif adalah  pajak yang memperhatikan kondisi  keadaan sang wajib pajak itu sendiri . Dalam ini penentuan dalam besarnya pajak harus ada alasan objektif yang berhubungan erat dalam kemampuan membayar wajib pajak/sipembayar pajak (misalnya PPh). Pajak Objektif adalah pajak yang dinilai  berdasarkan  objektifitasnya dan tanpa diperhatikanya  keadaan diri sang wajib pajak (misalnya PPN, PBB).
  3. Menurut Kewenangannya. Apakah pengenaan ini termasuk atas Pajak Pusat atau Pajak Daerah (Baik pajak propinsi, pajak kabupaten/kota). Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Pajak pusat merupakan sumber penerimaan negara indonesia (PPh, PPN/PPnBM, dan Bea Materai). Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Pajak daerah merupakan salah satu sumber     penerimaan pemerintahan daerah. (Pajak tontonan, reklame, pajak kendaraan bermotor, PBB dan lain-lain).

Hukum Pajak

Prof. Dr. Rochmat Soemitro SH : “Suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak”.

Santoso Brotodihardjo : “Hukum pajak (Fiskal) adalah keseluruhan dari peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara, sehingga ia merupakan hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum)  yang berkewajiban membayar pajak (wajib pajak)”.

Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa pengertian Fiskal   dengan Pajak ada perbedaan, yaitu fiskal memiliki pengertian yang lebih luas dari pengertian pajak. Fiskal mencakup seluruh aspek keuangan keuangan negara, sedangkan pajak hanya merupakan salah satu bagian dari keuangan negara secara keseluruhan.

Hukum pajak dibedakan atas  atas 2 (dua)  yaitu hukum pajak material dan hukum pajak formal, beberapa pengertian kedua hal itu adalah :

  1. Hukum Pajak Material, adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa yang dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.  Atau segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak demikian juga hubungan hukum antara pemerintah dengan wajib pajak, termasuk didalamnya peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan, denda-denda dan hukuman-hukuman serta cara-cara tentang pembebasan dan pengembalian pajak. Berikut ini merupakan contoh-contoh hukum pajak material secara rinci, diantaranya :* UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
    * UU No. 18 tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM
    * UU No. 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB)
    * UU No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai
    * UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
    * UU No. 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
  2. Hukum Pajak Formal, hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa, apa dan berapa, misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak.  Berikut ini merupakan undang-undang yang memuat hukum pajak formal, yaitu : UU No. 16 tahun 2000 tentang KUP, UU No. 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa dan  UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Dasar Pemungutan Pajak

Sesuai dengan Pasal 23 UU Dasar 1945 tentang Hal Keuangan dalam ayat 2 dijelaskan bahwa ” Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang”. Dan sejalan dengan hal itu maka dibuatlah hukum positif perpajakan yang meliputi ke 5 (lima) UU seperti diuraikan di atas. Adapun asas-asas pemungutan bersumber dari buah pemikiran Adam Smith dimana pemungutan pajak yang dikenal degan nama four canon atau the four maxims sbb:

  1. Equality : Pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang  dengan kemampuannya. Dalam hal ini Negara tidak diperbolehkan mengadakan diskriminasi diantara sesama Wajib Pajak. Dalam keadaan sama Wjib Pajak harus diperlakukan sama. Dalam keadaan berbeda Wajib Pajak diperlakukan berbeda.
  2. Certainty: Pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai Subjek Pajak, Objek Pajak, Tarif Pajak, dan ketentuan mengenai pembayarannya.
  3. Convenience of payment: Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak, yaitu sedekat2nya dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.
  4. Economic of collections: Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin. Jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri.

Seperti halnya dengan asas-asas pemungutan maka agar suatu Undang Undang pajak dipandang adil,  maka syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan pemungutan pajak harus memiliki :

  1. Syarat Keadilan : Syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata. Yaitu dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan sesuai dengan manfat yang diterimanya. Syarat Keadilan ada 2: a). Keadilan Horizontal: Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) sama harus dikenakan pajak yang sama. b). Keadilan Vertikal Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama harus dikenakan pajak yang tidak sama.
  2. Syarat Yuridis: Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang karena bersifat dapat memaksa.
  3. Syarat Ekonomis: Pungutan pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi dan jangan mengganmggu kehidupan eknomis dari si Wajib Pajak. Jangan sampai akibat pemungutan pajak terhadap seseorang, maka orang itu jatuh melarat.
  4. Syarat Finansial: Sesuai dengan fungsi pajak sebagai sumber penerimaan Negara maka biaya pemungutan pajak tidak boleh terlalu besar, supaya ada penerimaan yang masuk ke kas Negara/daerah.

Setelah membaca secara sekilas asal muasal aturan adanya penarikan pajak, sangatlah jelas bahwa segala hal tentang pemajakan adalah dikendalikan oleh negara. Dan sebagai sasaran yang dikenakan pajak tentu sepakat untuk sebisa mungkin tidak membayar pajak atau setidaknya bayarnya dikit aja. Disamping pengalaman saya dalam pengumpulan pajak dan landasan di atas maka diawal tulisan ini sekali lagi saya tekankan bahwa kesadaran membayar pajak tidak perlu dipertanyakan, bisa kita pertanyakan sepanjang kewajiban negara didahulukan persis yang dikatakan eyang saya John Marshal diatas seperti pemberantasan korupsi, good governance serta terwujud fasilitas umum yang baik.

 

(Ditulis sebagai informasi dan arsip  🙂 )