Baru-baru ini dikantor saya datang tim dari pusat untuk mensosialisasikan peraturan yang diundangkan tanggal 03 Januari 2012 peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Terus terang saja mau atau tidak mau, suka atau tidak suka saya (Mungkin semua petugas pajak) harus memahami hal ini sebelum mereka menjelaskan kepada wajib pajak dengan bahasa yang mudah dan tepat. Saya tidak membahas hal-hal apa yang akan saya angkat dalam tulisan disini namun saya hanya mencoba memudahkan saya sendiri untuk melihat kembali jika ada petanyaan dari wajib pajak, kadang teknik ini berhasil yaitu saya minta waktu 10 menit untuk mendiskusikan pertanyaan wajib pajak (padahal saya baca lagi :D).
Konten Pasal PP No 1 Tahun 2012 BABI : Ketentuan Umum01. Definisi BAB II : Pengukuhan PKP 02. Pengukuhan PKP 03. Bentuk Kerjasama Operasi 04. Tanggung Renteng BAB III : BKP dan JKP 05. Pemakaian Sendiri 06. Penyerahan JKP 07. Non JKP dan Non BKP 08. Penyerahan Melalui Juru Lelang BAB IV : DPP 09. Dasar Pengenaan Pajak BAB V : Penghitungan PPN 10. Penghitungan PPN Pada Kontrak 11. Rumus Penghitungan PPN 12. Penghapusan Piutang dan Force Majeur 13. Salah Pungut PPN 14. Transaksi dengan Kurs Mata Uang Asing BAB VI : Pengkreditan Pajak Masukan 15. Tempat Lain Pengkreditan Impor 16. Barang Modal PKP Belum Berproduksi BAB VII : Saat Dan Tempat Terutang PPN 17. Saat Terutang PPN 18. Pemusatan PPN BAB VIII : Faktur Pajak 19. Batas Waktu Penerbitan Faktur Pajak 20. Pedagang Eceran
Hal-Hal Yang Menjadi Perhatian
1. Pasal 4 Tentang Tanggung Renteng
Adanya penjelasan lebih mendalam tentang tanggung jawab renteng. Pembeli BKP/JKP baru “tidak dapat” dikenakan tanggung jawab renteng jika tidak dapat membuktikan bahwa dia telah membayar PPN dan/atau PPnBM kepada penjual atau jika PPN dan/atau PPnBM tersebut dapat ditagih kepada penjual. Jika kedua syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka pembeli BKP/JKP dapat ditagih PPN dan/atau PPn BM dengan menggunakan ketetapan pajak. Atas jenis BKP/JKP serta kriteria dan/atau rincian BKP/JKP akan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan dengan batasan sesuai Pasal 4A UU.
Poin dan pemahaman saya sebagai berikut :
- Tanggung jawab renteng kepada pembeli tidak diberlakukan jika pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau pemberi jasa, dan atau pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP) dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.
- Jika penjual BKP/JKP belum PKP namun batasan omset terbukti telah mencapai 600 Jt maka pembeli yang telah PKP tetap berlaku tanggung renteng.
- Tanggung jawab renteng ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
2. Pengasan PPN Atas Pemakaian Sendiri
Sebelumnya materi tentang PPN atas pemakaian sendiri diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak. Tidak ada yang berubah seperti yang di atur dalam pasal 5 PP ini.
Penegasan pemakaian sendiri baik BKP atau JKP merupakan penyerahan yang terutang PPN atau PPnBM, pemakaian sendiri ini dibagi menjadi dua jenis yaitu pemakaian sendiri untuk tujuan produktif dan pemakaian sendiri yang bersifat konsumtif.
- Pemakaian Sendiri Yang Bertujuan Produktif artinya pemakaian BKP/JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Contoh Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut suku cadang.
- Pemakaian sendiri yang bersifat konsumtif artinya pemakaian BKP/JKP yang tidak ada kaitan dengan kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Contoh Pabrikan minuman ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan atau para tamu.
3. Bersambung…..
(Nanti dilanjutin…. saya main layangan dulu )
Hallo Pak Taripar Dolly,
Izin mengganggu, Pak. Saya tertarik membaca artikel pajak yg Bapak posting ini, terutama mengenai pembahasan tanggung jawab renteng.
Setelah membaca artikel Bapak, di benak saya muncul pertanyaan terutama di bagian “Hal-Hal Yang Menjadi Perhatian” poin pertama “1. Pasal 4 Tentang Tanggung Renteng” pada ulasan poin dan pemahaman Bapak di poin kedua yang berbunyi:
“Jika penjual BKP/JKP belum PKP namun batasan omset terbukti telah mencapai 600 Jt maka pembeli yang telah PKP tetap berlaku tanggung renteng”.
Sesuai dgn logika, memang pihak pembeli akan dikenakan tanggung renteng secara pihak penjual seharusnya sudah dikukuhkan sebagai PKP baik secara melapor sendiri atau secara jabatan. Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana perlakuan secara perpajakan dan dendanya di pihak penjual dan pembeli.
Pihak penjual tentunya harus membayar pajak pokok PPN yang seharusnya dipungut (yang proses pemungutannya mungkin akan langsung ditagih kepada pihak pembeli sesuai dengan logika tanggung renteng). Selain daripada pajak pokok PPN, sanksi apa lagi yang akan diberikan kepada pihak penjual baik itu berupa denda bunga atau denda kenaikan atau sanksi lain-lainnya?
Di pihak pembeli, tentunya seharusnya hanya dikenakan tagihan melalui SKPKB yang besaran pokoknya sebesar nilai PPN yang harus dipungut. Dimana menurut saya, PPN tidak dipungut karena:
1. Perkiraan omset per tahun di pihak penjual tidak melebihi 600 juta, tetapi karena adanya transaksi insidentil yang mempunyai nilai nominal yang agak besar, maka nilai omset per tahunnya ternyata menjadi lebih dari 600 juta. Dimana pihak penjual mungkin tidak menyadari bahwa ia harus melaporkan dirinya untuk dikukuhkan sebagai PKP karena pihak penjual belum melakukan perhitungan omset atau perhitungan omsetnya tidak dilakukan secara berkala. Atau pihak penjual sadar, tetapi telat melaporkan diri.
2. Pihak penjual tidak mengerti peraturan perpajakan yang menyebabkan dirinya tidak melaporkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP.
3. Pihak penjual tidak mau dikukuhkan sebagai PKP.
Nah, jika tanggung renteng diberlakukan, maka apakah pihak pembeli akan dikenakan sanksi lainnya berhubung kesalahan terjadi di pihak penjual. Dan apakah besaran pokok PPN yang ditagih melalui SKPKB bisa dijadikan Pajak Masukan bagi pihak pembeli. Jika ada sanksi lain yang berupa denda apakah hanya bisa dijadikan beban oleh pihak pembeli?
Sekian pertanyaan dari saya, mengingat bahwa penjelasan tanggung renteng ini akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang belum diterbitkan. Saya sebagai pihak akademis ingin mengetahui pendapat dan pandangan Bapak mengenai perihal sistem renteng, selaku Bapak adalah pegawai aktif di Dirjen Pajak yang lebih mengerti kondisi lapangan.
Terima kasih atas perhatiannya.
Salam,
Cipindo
Sesuai dgn logika, memang pihak pembeli akan dikenakan tanggung renteng secara pihak penjual seharusnya sudah dikukuhkan sebagai PKP baik secara melapor sendiri atau secara jabatan. Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana perlakuan secara perpajakan dan dendanya di pihak penjual dan pembeli?.
Seperti diketahui bahwa Pengusaha yang Tidak/Terlambat Lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, dapat dikenai sanksi sejak omset melebihi Rp. 600 juta.Pada pasal 5 ayat 2 PMK 68/2010 dikatakan Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dan Pasal 24 ayat 1 PP 74/2011 mengatakan Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
Pihak penjual tentunya harus membayar pajak pokok PPN yang seharusnya dipungut (yang proses pemungutannya mungkin akan langsung ditagih kepada pihak pembeli sesuai dengan logika tanggung renteng). Selain daripada pajak pokok PPN, sanksi apa lagi yang akan diberikan kepada pihak penjual baik itu berupa denda bunga atau denda kenaikan atau sanksi lain-lainnya?
Terhadap penjual karena seharusnya sudah PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f Pasal 14 Ayat (1) huruf d UU KUP masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. Terhadap pembeli PM tidak dapat dikreditkan
Di pihak pembeli, tentunya seharusnya hanya dikenakan tagihan melalui SKPKB yang besaran pokoknya sebesar nilai PPN yang harus dipungut. Dimana menurut saya, PPN tidak dipungut karena:
1. Perkiraan omset per tahun di pihak penjual tidak melebihi 600 juta, tetapi karena adanya transaksi insidentil yang mempunyai nilai nominal yang agak besar, maka nilai omset per tahunnya ternyata menjadi lebih dari 600 juta. Dimana pihak penjual mungkin tidak menyadari bahwa ia harus melaporkan dirinya untuk dikukuhkan sebagai PKP karena pihak penjual belum melakukan perhitungan omset atau perhitungan omsetnya tidak dilakukan secara berkala. Atau pihak penjual sadar, tetapi telat melaporkan diri.
2. Pihak penjual tidak mengerti peraturan perpajakan yang menyebabkan dirinya tidak melaporkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP.
3. Pihak penjual tidak mau dikukuhkan sebagai PKP.
Nah, jika tanggung renteng diberlakukan, maka apakah pihak pembeli akan dikenakan sanksi lainnya berhubung kesalahan terjadi di pihak penjual. Dan apakah besaran pokok PPN yang ditagih melalui SKPKB bisa dijadikan Pajak Masukan bagi pihak pembeli. Jika ada sanksi lain yang berupa denda apakah hanya bisa dijadikan beban oleh pihak pembeli?
1. Pada umumnya ditingkat petugas lapangan hanya berpatokan pada ketentuan yang ada
2. Pada saat pendaftaran dan pemberian SKT semestinya sudah diinformasikan tentang kewajiban dan ketentuan yang ada
3. Waduh
Pembeli tidak dapat mengkreditkan pajak masukan tersebut kecuali pembebanan dalam RL, Pada prinsipnya Penjual adalah penanggung jawab PPN (Menyetor PPN), namun hanya untuk kondisi tertentu pembeli dapat dikenai tanggung jawab renteng.
Menurut pandangan saya, agar penjual dan khususnya pembeli lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi. Mungkin sedikit dapat menambah wawasan jika membaca post saya tentang https://nusahati.com/2012/04/terhindar-dari-faktur-pajak-pajak-bermasalah/
Sebelumnya saya minta maaf kalau ada jawaban yang kurang pas dan semoga ada pembaca yang dapat menambahkan dan meluruskan
Terima Kasih Atas Perhatiannya
Hallo Pak Taripar Doly,
Saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas respons Bapak yang cepat dan atas jawaban Bapak yang sangat jelas.
Setelah saya membaca jawaban yang Bapak berikan atas pertanyaan saya, saya menyimpulkan bahwa dalam hal adanya kelalaian di pihak penjual yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak dilakukan, yang menyebabkan adanya kelalaian dalam hal pemungutan PPN di pihak penjual dan pembeli, maka:
1. Pihak penjual harus membayar pajak terutang PPN (secara tidak langsung melalui pihak pembeli dgn asas tanggung renteng) ditambah dengan sanksi bunga sebesar 2% dari DPP per bulan dihitung dari tanggal seharusnya dikukuhkan sebagai PKP.
2. Pihak pembeli melalui asas tanggung renteng harus membayar pajak PPN terutang yang seharusnya dipungut oleh pihak penjual dan tidak dikenakan sanksi apapun. Dan PPN yang dibayarkan tidak dapat dijadikan Pajak Masukan, hanya bisa dibebankan dalam RL. Dengan demikian pihak pembeli hanya bisa mendapatkan keringanan pembebanan atas Pajak Masukan-nya sebesar persentase tarif Pajak Badan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan pasal 31 E UU PPh.
Jika hal ini terjadi pada badan yang kegiatan usahanya termasuk yang dikenakan pajak final dan sumber pemasukannya hanya dari kegiatan tersebut, maka badan tersebut sama sekali tidak mendapat keringanan pembebanan Pajak Masukan, mengingat perhitungan pasal 25 dan 29-nya nihil. Apakah betul pemikiran saya yang seperti ini, Pak?
Pembeli tidak dapat mengkreditkan pajak masukan tersebut kecuali pembebanan dalam RL, Pada prinsipnya Penjual adalah penanggung jawab PPN (Menyetor PPN), namun hanya untuk kondisi tertentu pembeli dapat dikenai tanggung jawab renteng.
Apakah yang Bapak maksudkan adalah yang tertera dalam PP 1/2012 pasal 4 ayat 1 dan 2?
Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.
Salam,
Cipindo