Seorang rekan sekaligus peserta brevet perpajakan bertanya kepada saya “Apa saja kebijakan perpajakan terkait Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)?” ini merupakan pertanyaan yang menarik pastinya sering ditanyakan, untuk itulah penulis mencoba menuangkannya dalam tulisan berikut ini dan kiranya kita yang sekaligus sebagai pemerhati bisnis dan pajak dapat mengantisipasi adanya perubahan-perubahan baik fenomena bisnis dan ketentuan perpajakan yang berimplikasi pada kondisi usaha dan penerimaan negara dari sektor pajak.
Seperti kita ketahui bahwa negara-negara ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) atau Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara terdiri dari Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malasya, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Singapura. Maka praktisnya setiap transaksi dari beberapa sektor perekonomian akan dilakukan pembebasan terkait arus masuk dan keluar antara negara-negara tersebut.
Masyarakat Ekonomi ASEAN
Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) adalah sebuah sistem perdagangan bebas antar negara anggota ASEAN, sistem ini telah direncanakan untuk dilaksanakan sejak tahun 1997 pada KTT Kuala Lumpur pada Desember 2007 namun baru dilaksanakan resmi sejak 31 Desember 2015. Dalam sistem ini diantaranya dihilangkan pengenaan bea cukai dimana negara-negara dalam lingkup ASEAN bebas dalam memasukan jenis barang dan jasa yang dikenal dengan 5 (lima) pilar. Adapun yang bebas keluar masuk di dalam kawasan ASEAN adalah meliputi ke 5 (lima) pilar tersebut yaitu:
- Arus Barang
- Jasa termasuk jasa dari pekerja bebas meliputi paras Insinyur, arsitek, akuntan, dokter dan lain-lain
- Modal
- Investasi; dan
- Tenaga kerja terlatih meliputi tenaga parawisata, dokter, tenaga survei, praltisi medis, perawat dan lain-lain.
Adapun yang menjadi harapan dari pembentukan MEA adalah agar stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN menjadi lebih terjaga, terjadi peningkatan daya saing kawasan, dan menorong pertumbuhan ekonomi serta mengurangi kemiskinan negara anggota hal ini juga untuk dapat menyaingi China dan India dalam hal menarik investasi asing.
Perbedaan Tarif Pajak Antar Negara ASEAN
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dengan adanya kebijakan pembebasan lima pilar ekonomi di kawasan ASEAN akan memberikan pengaruh dalam ketentuan perpajakan seperti kebijakan pemotongan pajak (witholding tax) serta perluasan jaringan penghindaran pengenaan pajak berganda antar negara anggota. Perbedaan tarif diantara negara anggota akan membuat investor mudah untuk berpindah hal ini merupakan merupakan salah satu bentuk efesiensi dalam berinvestasi. Hal yang sudah dilakukan oleh Indonesia diantaranya adalah memberikan fasilitas tax holiday hingga 20 tahun serta dengan kebijakan reinventing policy yang dilakukan di tahun 2015 adalah wujud dari antisipasi awal.
Setelah pemberlakuan MEA ini dimungkinkan akan ada perubahan ketentuan seperti harmonisasi aturan terkait tarif demi menghindari pelarian modal (capital flight) kenehara yang rendah pajak guna menghindari pajak yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena tarif dimasing-masing negara ASEAN berbeda-beda seperti tarif PPh Badan di indonesia sejak taun 2010 adalah 25% masih lebih tinggi dibandingkan Singapura sebesar 17% dan Thailand sebesar 23%. Indonesia dan Malaysa memilik tarif yang sama yaitu 25% sementara Filipina dengan tarif tertinggi yaitu sebesar 30% (rencananya Filipina akan menurunkan tarifnya menjadi 20% ditahun 2019).
Untuk tarif atas Pajak Pertambahan Nilai (VAT) atau di Singapura & Malsya dikenal dengan nama Goods and Services Tax (GST) juga memiliki tarif yang berbeda diantara negara ASEAN. Indonesia memiliki tarif yang sama dengan negara Kamboja dan Laos. Tarif tertinggi untuk jenis pajak atas konsumsi ini adalah Filipina sebesar 12% dan tarif yang terendah adalah Singapura dan Thailand sebesar 7%. Malasya terkait Pajak Penjualan dan Jasa memiliki tarif 5%, 20% atau 25%.
Pengaruh Dalam Ekonomi dan Perpajakan
Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) bagaikan pedang bermata dua yang dapat memberi pengaruh positif dan dampak negatif dalam setiap negara Anggota. Dampak positif diantaranya Indonesia dapat memperluas jaringan ke lima pilar di atas seperti pemasaran barang dan jasa yang dapat meningkatkan perekonomian Indonesia.
Dampak negatifnya memberikan konsekuensi penghapusan hambatan tarif dan non tarif antar negara ASEAN yang berpotensi menurunkan penerimaan pajak. Adapun jenis pajak yang jelas berpengaruh adalah Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang meliputi :
- PPh Pasal 22 Impor
- PPN dan PPnBM Impor
- Bea lainnya
Disamping hal tersebut di atas dampak negatif lainnya adalah terjadi base erosion and profit shifting (erosi basis pajak dan perpindahan laba). Ini adalah aktivitas untuk memindahkan keuntungan yang diperoleh dari kegiatan di suatu negara ke negara lain yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Ada tiga mekanisme yang dilakukan, yakni hybrid mismatches, special purpose entities (SPE), dan transfer pricing.
Hybrids mismatched ialah upaya mengeksploitasi perbedaan aturan pajak terhadap transaksi atau aset tertentu oleh perusahaan yang melakukan transaksi atau terdaftar lintas negara. Kemudian SPE bermakna, entitas tanpa pegawai atau kehadiran fisik yang bertujuan agar keuntungan yang didapat terkena perlakuan layaknya wajib pajak dalam negeri dengan tarif lebih murah.
Sedangkan transfer pricing yaitu penetapan harga transaksi antar perusahaan terafiliasi atau memiliki hubungan istimewa. Transfer pricing bisa dimanfaatkan secara sengaja untuk mengurangi beban pajak perusahaan, dengan mencatatkan harga transaksi yang lebih rendah dari harga wajar.
Penutup
Jauh sebelum pelaksanaan MEA sesungguhnya persaingan diantara negara ASEAN sendiri sudah berlangsung seperti perang dalam pemberian insentif, bagaimana kita berusaha untuk mendapatkan investasi Samsung dengan menawarkan pembebasan PPh Badan selama 10 Tahun sementara vietnam menawarkan selama 15 tahun. Demikian halnya perebutan investasi General Motor, Filipina menawarkan pembebasan PPh Badan selama 8 tahun, bahkan Thailand menawarkan pembebasan yang sama ditambah dengan hibah 15 Juta Dollar untuk sarana pelatihan (dream.co.,id).
Mau tidak mau baik pelaku usaha dan pelaku perpajakan harus siap dan terus berbenah?!
Artikel Terkait :