Sejak tahun 1984, Indonesia memasuki era baru sistem pemungutan pajak, dengan beralihnya sistem perpajakan Official Assesment menjadi Self Assessment yang memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
Perkembangan dunia yang pesat membuat Indonesia harus mengikuti tren pajak global seperti kompetensi pajak, peningkatan kontribusi penerimaan pajak, mencegah penghindaran, serta terobosan administrasi dalam rangka meningkatkan kepatuhan. Salah satunya adalah meluncurkan peraturan untuk mempermudah pelaku usaha khususnya pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah.
Ketentuan Tahun 2013
Istilah pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang sering kita didengar dalam perspektif perpajakan diperuntukan bagi penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Adapun peredaran bruto tersebut adalah tidak melebihi Rp. 4.8 Miliar dalam satu tahun pajak, baik bagi Orang Pribadi (kecuali pekerjaan bebas) maupun Badan (tidak termasuk bentuk usaha tetap).
Hal ini muncul pertama kali melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (PP 46 2013) yang berlaku sejak 1 Juli 2013 dengan pertimbangan memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memiliki peredaran bruto tertentu. Kemudahannya adalah bagi Pelaku UMKM mekanisme perpajakannya adalah dengan cara mengalikan peredaran bruto usaha dengan tarif 1% bersifat Final.
Ketentuan Tahun 2018
Karena bersifat wajib, dimana pelaku usaha yang mengalami kerugian akan tetap membayar pajak akibat dasar penghitungannya adalah peredaran usaha yang diterima, maka dengan pertimbangan memberikan kemudahan dan lebih berkeadilan ketentuan PP 46 2013 diganti melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 (PP 23 2018) yang berlakusejak 1 juli 2018.
Adapun perubahan dalam PP 23 2018 ini meliputi yang berbeda dengan ketentuannya adalah meliputi:
- Tarif bersifat final menjadi 0.5%
- Diberikan pilihan apakah dikenai PPh berdasarkan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31 E UU PPh
- Diberikan batas jangka waktu tertentu pengenaan PPh yang bersifat final yaitu paling lama:
- 7 (tujuh) tahun bagi Wajib Pajak Orang Pribadi;
- 4 (empat) tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan
- 3 (tiga) tahun pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Jangka waktu tertentu terhitung sejak Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak berlakunya PP 23 2018. Dan/atau Tahun Pajak berlakunya PP 23 2018, bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya PP 23 2018. PPh terutang dilunasi dengan cara disetor sendiri atau dipotong atau dipungut oleh pemotong atau pemungut pajak dalam hal Wajib Pajak bersangkutan melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut pajak.
Ketentuan Tahun 2022
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang penyesuaian pengaturan di bidang pajak penghasilan atau sering disebut peraturan pemerintah sapu jagat karena mencabut banyak peraturan pemerintah termasuk PP 23 Tahun 2018. Adapun dasar penerbitan PP 55 2022 ini sesuai dengan pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 7 Tahun 2021 yang menyebutkan penghasilan tertentu lainnya, termasuk penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang diatur dalam atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Perbedaan mendasar dalam PP 55 2022 dibandingkan PP 23 2018 adalah khusus bagi pelaku UMKM Orang Pribadi atas bagian peredaran bruto dari usaha sampai dengan Rp. 500 juta dalam 1 (satu) Tahun Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan. Bagian peredaran bruto dari usaha tidak dikenai Pajak Penghasilan merupakan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sejak Masa Pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak. Ketentuan Wajib Pajak Orang pribadi pelaku UMKM tidak dikenai PPh final atas omset Rp 500 juta berlaku mulai tahun pajak 2022 dan seterusnya.
Simpulan
Melihat jalan panjang perlakuan perpajakan sektor usaha yang dimiliki orang pribadi maupun badan yang memenuhi kriteria tertentu seperti keterbatasan modal dan batasan omset yang sebelumnya tidak menjadi tolak ukur karena berpatokan hanya pada peredaran usaha setahun tidak lebih dari Rp 4.8 miliar.
Namun, dalam PP 55 Tahun 2022 dipandang perlu untuk memberikan perlakuan lebih khusus kepada pelaku UMKM Orang Pribadi, yaitu untuk bagian omset dalam setahun sampai dengan Rp 500 juta dibebaskan dari pengenaan PPh Final 0,5%.
Bagimana dengan kewajiban pelaporan perpajakan bagi pelaku UMKM Orang Pribadi yang omsetnya masih dibawah Rp 500 Juta? Walaupun tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah pelaku UMKM Orang Pribadi yang omsetnya masih dibawah Rp 500 Juta tetap perlu menyampaikan pelaporan SPT Masa PPh Orang Pribadi atau tidak, akan tetapi untuk mengetahui apakah omset pelaku UMKM Orang Pribadi berada dibawah Rp 500 juta dapat terlihat dalam pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang tetap wajib disampaikan.
Sumber : https://www.neraca.co.id/article/191489/seluk-beluk-perpajakan-pelaku-umkm