Sebelumnya …

Perampasan Barang-Barang Tertentu sebagai Pidana Tambahan

Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan pidana tambahan. Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu:

  • Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
  • Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang;
  • Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

Perampasan atas barang-barang yang tidak disita sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila barang-barang tersebut tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim tidak dibayar. Kurungan pengganti ini juga dihapus jika barang-barang yang dirampas diserahkan.

Pidana Denda & Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Pada Tindak Pidana Korupsi

Kerugian Keuangan negara Suatu Sudut pandang

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan kerah putih yang serang kali meresahkan masyarakat. Korupsi dalam segala bentuknya tentu saja membuat kesengsaraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hilangnya uang Negara dikarenakan korupsi tentu saja membuat hak-hak rakyat yang diatur oleh konstitusi dasar Indonesia yaitu Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) menjadi tersingkirkan. Hak hak masyarakat untuk kesejahteraan seperti pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, papan, sarana tranportasi, akses terhadap teknologi menjadi sulit. Intinya adalah bahwa korupsi menghadirkan banyak kekecewaan bagi rakyat banyak. Korupsi pada dasarnya adalah menghabiskan anggaran Negara
yang awalnya ditujukan untuk kepentingan rakyat untuk kemudian diambil menjadi keuntungan pribadi atau sekelompok orang.

Korupsi tentu saja memberikan kerugian pada keuangan Negara. Alokasi dana dibuat oleh pemerintah untuk kesejahteraan atau untuk kepentingan rakyat menjadi sia-sia karena diambil oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian Negara. Terhadap kerugian keuangan Negara ini, pemerintah membuat undang-undang tentang korupsi, baik yang lama yaitu UU No.3 Tahun 1971, maupun yang baru yaitu UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU no. 20 tahun 2001, menetapkan bahwa kerugian keuangan Negara harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi.

Suatu tindakan dikatakan telah merugikan keuangan Negara yang ditimbulkan dari akibat perbuatan tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah adanya kerugian yang ditimbulkan pada keuangan Negara atau perekonomian Negara. Berdasarkan Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Perbendaharaan Negara ( UU No. 1 tahun 2004), yang dimaksud dengan kerugian Negara atau daerah adalah : “Kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka dapat dikemukakan unsur-unsur kerugian Negara yaitu:

  • Kerugian Negara merupakan berkurangnya keuangan Negara berupa uang berharga, barang milik Negara dari jumlahnya dan/atau nilai yang seharusnya;
  • Kekurangan dalam keuangan Negara tersebut harus nyata dan pasti jumlahnya atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan besarnya, dengan demikian kerugian Negara tersebut bukan hanya merupakan indikasi atau berupa potensi terjadinya kerugian;
  • Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik disengaja maupun lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat.

Dalam penjelasan umum atas UU no. 31 Tahun 1999 disebutkan mengenai keuangan Negara adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara baik ditingkat pusat maupun di daerah, dan (b) berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara, sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan maupun usaha bermasyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, balk ditingkat pusat maupun didaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (22) UU No. 1 tahun 2004 sebagaimana dikemukakan diatas, maka dapat dilihat bahwa konsep dianut konsep kerugian Negara dalam arti delik materill dimana perbuatan atau tindakan dapat dikatakan merugikan keuangan Negara dengan syarat harus adanya kerugian Negara yang benar-benar nyata, sedangkan dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 dijelaskan bahwa kerugian Negara dalam konsep delik formil dikatakan dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Dari beberapa ketentuan diatas, dapat dikatakan bahwa konsep kerugian Negara dalam arti delik materil tidak dapat lagi digunakan atau tidak dapat lagi dipertahankan karena untuk dapat atau tidaknya suatu tindakan sebagai korupsi harus adanya tindakan persiapan yang dilakukan tetapi belum nyata dapat merugikan keuangan Negara. Tindakan persiapan tersebut juga akan mengarah pada perbuatan yang dapat merugikan keuangan Negara sehingga untuk mencegah agar suatu tindak pidana korupsi betul-betul merugikan keuangan Negara maka sebaiknya dipergunakan konsep delik formil dalam bentuk menentukan apakah telah terjadi kerugian keuangan Negara atau tidak.

Pidana Denda

Denda adalah salah satu sanksi hukum yang bersifat membayar sesuatu dengan jumlah yang telah ditentukan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang dilakukan oleh pembuat kesalahan. Dalam hukum perdata denda sering kita jumpai sebagai sanksi dari kondisi wanprestasi yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka hubungan antara orang perorang seperti perjanjian, antara warga negara dengan pemerintah misalnya keterlambatan membayar pajak dan lain sebagainya. Hukum pidanapun mengatur demikian, khususnya dalam kasus korupsi. “Pembayaran denda dan uang pengganti” adalah salah satu tuntutan Jaksa Penuntut Umum selain pengambalian uang hasil korupsi ke Negara dan pembayaran uang pengganti. Aturan hukum mengenai denda secara umum adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP. Dimana dengan memperhatikan ketentuan aturan denda dalam Pasal KUHP tersebut maka dapat diperoleh kontruksi hukum sebagai berikut :

  • Jika Pidana denda tidak dibayar, maka pidana denda tersebut dibayar dengan pidana kurungan. Dengan kontruksi demikian maka jika pembayaran uang pengganti tidak dibayar terpidana maka diganti dengan pidana kurungan dan jika pidana kurungan tersebut telah dijalani terpidana maka konsekuensi lebih lanjutnya uang pengganti tersebut menjadi hapus; 
  • Terpidana berwenang membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan membayar dendanya. Dengan konsekuensi tersebut maka jika uang pengganti tersebut dibayar pidana kurungan tersebut tidak perlu di jalani;

Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan

Secara umum jenis pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia dapat dilihat pada pasal 10 KUHP yang terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan, Pidana pokok meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tambahan. Pidana tambahan meliputi pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang bukti dan pengumuman putusan hakim.

Uang pengganti sudah dikenal pada tahun 1960 melalui Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yaitu daam Pasal 16 ayat (3), bahwa terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Setelah Perpu Nomor 24 Tahun 1960 diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, ketentuan tentang uang pengganti tetap diatur dengan rumusan yang sama, yakni dalam Pasal 34 ayat (3). Demikian pula halnya dalam UU Tipikor, ketentuan uang pengganti diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b.

Dalam tindak pidana korupsi, pidana tambahan sebagaimana Pasal 10 KUHP diperluas pengertiannya dalam redaksi Pasal 18 (1) Undang Undang Pidana Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa: “Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan adalah:

  • Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitupun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;
  • Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
  • Penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktupaling lama 1 (satu) tahun; dan
  • Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Jenis Pidana tambahan yang kerap muncul dalam perkara korupsi adalah pembayaran uang pengganti. Pidana tambahan uang pengganti terhadap terdakwa biasanya muncul dalam suatu perkara yang terdapat kerugian Negara didalamnya. Basrief Arief (Jaksa Agung periode 26 Nopember 2010 – 20 Oktober 2014) berpendapat “pengembalian kerugian Negara dari tindak pidana korupsi melalui uang pengganti merupakan salah satu upaya penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Selain dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b dan pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, aturan mengenai uang
pengganti dapat ditemukan juga dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi (selanjutnya disebut PERMA No. 5 tahun 2014). PERMA No.5 Tahun 2014 ini sebagaimana dalam konsideran menimbang merupakan pedoman dari Mahkamah Agung dalam penjatuhan pidaa tambahan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.

Pembayaran uang pengganti sendiri dapat dikenakan baik terhadap pelaku yang merupakan subyek hukum perorangan dan atau korporasi, dengan ketentuan bahwa korporasi yang dikenakan pidana tambahan uang pengganti terhadap korporasi tersebut tidak dapat dijatuhi penjara pengganti atas uang pengganti”. Adapun pidana tambahan uang pengganti hanya dapat dikenakan kepada tedakwa dalam perkara bersangkutan sebagaimana rumusan Pasal 6 PERMA No. 5 ahun 2014, dan tidak dapat dikenakan kepada pihak lain diluar terdakwa dalam perkara bersangkutan. Dalam hal tidak pidana korupsi dilakukan secara bersama-sama, maka hakim dapat menjatuhkan besaran uang pengganti didasarkan harta benda yang diperoleh masing-masing terdakwa, mengingat dalam pasal 4 PERMA No. 5 Tahun 2014 menyatakan bahwa uang pengganti tidak dapat dijatuhkan secara tanggung renteng.14Akan tetapi dalam hal harta benda perolehan korupsi masing-masing terdakwa tidak diketahui secara pasti jumlahnya, uang pengganti dapat dijatuhkan secara proporsional dan objektif sesuai dengan peran masing-masing terdakwa dalam tindak pidana korupsi yang dilakukannya.

Besaran pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian Negara yang diakibatkan sebagaimana redaksi pasal 1 PERMA No. 5 Tahun 2014. Besaran uang pengganti tak harus sama dengan besar kerugian Negara karena dalam suatu kasus sangat mungkin bahwa apa yang dinikmati dari pelaku korupsi tak hanya sebatas kerugian Negara yang ditimbulkan dari perbuatannya.

Penjatuhan pembayaran uang pengganti terhadap tindak pidana korupsi selain yang terkait dengan kerugian keuangan Negara dapat dijatuhkan jika terdakwa atas perbuatannya memperoleh hasil korupsi, sementara itu tidak semua hasil korupsi tersebut dapat dikenakan perampasan berdasarkan pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang PTPK, sebagaimana contoh dalam perkara penyuapan, harta yang diterima penerima suap pada dasarnya adalah hasil korupsi. Harta tersebut pada prinsipnya haruslah dirampas menjadi milik Negara. Namun sangat mungkin harta tersebut sudah tidak berada ditangan terdakwa, balk seluruhnya maupun sebagian sehingga tidak dapat dikenakan penyitaan pada saat penyidikan dan perampasan.

Pidana Denda dan Pengembalian Kerugian Pendapatan Negara dalam Tindak Pidana Perpajakan

Kerugian Pada Pendapatan Negara

Keuangan Negara merupakan semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu balk berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan….

(Bersambung)