Sebagaimana kita ketahui bahwasanya UU KUP tidak mengatur secara khusus tentang pelaksanaan pidana denda apabila terdakwa tidak mampu membayar pidana denda yang dijatuhkan, karena memang seyogyanya semangat yang ada dalam UU KUP adalah ultimum remedium yang dijabarkan dalam pasal 8 UU KUP. Namun, kita memahami jika UU KUP dalam hal pelaksanaan pidana denda mengacu pada pasal 30 dan 31 KUHP, dimana apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan pengganti.

Maka, yang menjadi pertanyaan adalah apabila terpidana pajak  tidak sanggup membayar pidana denda sebesar dua kali pajak terutang yang dikenakan kepadanya akan secara otomatis diberlakukan pidana pengganti denda berupa kurungan? Bagaimana memang jika itu yang dikehendaki oleh terpidana pajak, dimana lebih menyelamatkan harta/aset hasil dari tindak pidana perpajakannya.

Berikut ini ditulis dan diuraikan pemikiran-pemikiran terkait hal ini dalam seri Pidana Uang Pengganti & Perampasan Aset : Darah Segar Penerimaan Negara, yang dimentori langsung oleh rekan penulis bernama Gunawan (gundul tapi menawan) yang adalah Penyidik PNS di Direktorat Jenderal Pajak dan juga merupakan rekan seangkatan dan seperguruan di sebuah desa bernama Jurangmangu puluhan tahun lalu, yang malang melintang dalam persoalan pidana perpajakan.

Pemikiran

Jika kita membaca pasal 18 angka (1) huruf b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menyatakan sebagai pidana tambahan adalah pembayaran uang pengganti (perampasan aset) yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Artinya selain dapat dijatuhi pidana pokok terdakwa dalam perkara korupsi dapat dijatuhi pidana tambahan.

Jika kita menelisik lebih dalam, maka aturan tersebut merupakan konsekuensi dari akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga mengembalikan kerugian keuangan negara tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti.

Dengan dasar tersebut, tindak pidana pajak juga berpengaruh terhadap keuangan negara sehingga penerapan yang sama tentang pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti (perampasan aset) sebagaimana tindak pidana korupsi juga perlu diterapkan dan diadopsi dalam UU KUP.

Permasalahan

Penanganan perkara tindak pidana dibidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak harus melaui peradilan yang terdapat diperadilan umum, dikarenakan pengadilan pajak hanya terbatas menangani perkara/sengketa dibidang pajak berkaitan banding maupun gugatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak.

Sementara dalam Undang-Undang perpajakan diatur adanya 2 (dua) macam sanksi yang dapat diterapkan kepada Wajib Pajak apabila Wajib Pajak melanggar Undang-Undang terkait perpajakan yaitu sanksi administrasi (berupa denda, bunga, dan kenaikan) dan sanksi pidana.

Dalam praktek penegakkan hukum pajak di Indonesia, berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sekalipun KUHP mengatur masalah-masalah tindak pidana secara umum, namun KUHP dapat juga diberlakukan untuk tindak pidana pajak sepanjang Undang-Undang Perpajakan tidak mengatur secara tersendiri. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan yaitu : “ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Sedangkan KUHAP sebagai hukum acara dalam rangka menegakkan hukum formal merupakan hukum acara untuk menegakkan semua ketentuan pidana yang diatur termasuk ketentuan pidana dalam undang-undang perpajakan.

Sebagaimana dikemukakan diawal tulisan, UU KUP tidak mengatur secara khusus tentang pelaksanaan pidana denda apabila terdakwa tidak mampu membayar pidana denda yang dijatuhkan. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 103 KUHP, maka seharusnya pelaksanaan pidana denda dalam UU KUP harus mengacu kepada pelaksanaan denda didalam KUHP yang diatur dalam Pasal 30 dan 31 KUHP, dimana apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan pengganti.

Jika berkaca dari hal tersebut, maka pelaksana pidana perpajakan dapat diganti dengan pidana kurungan pengganti, adalah sesuatu yang kontra produktif dengan fungsi perpajakan itu sendiri sebagai pengumpul penerimaan negara melalui pajak.

Perumusan

Permasalahan yuridis dalam pelaksanaan pidana denda kepada Wajib Pajak berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan diatas , yaitu Pasal 39 UU KUP tidak mengatur tentang pidana kurungan pengganti pidana denda. Masalah-masalah terkait dengan pelaksanaan pidana denda dalam rangka memulihkan kerugian negara atau kerugian pendapatan negara dapat dirumuskan sebagai berikut :

  • Bagaimanakah penerapan & pelaksanaan pidana denda terhadap Wajib Pajak yang putusan pengadilannya telah memiliki kekuatan hukum?
  • Apakah mekanisme pelaksanaan pidana denda kepada Wajib Pajak sudah ada selama ini dapat memulihkan atau mengembalikan kerugian pada pendapatan negara?
  • Adakah mengadopsi Pidana tambahan berupa Pembayaran Uang Pengganti Pidana Denda sebagaimana dipraktekan pidana tambahan dalam UU Tindak Pidana Korupsi dapat diadopsi kedalam UndangUndang Perpajakan sehingga dapat meningkatkan kegiatan untuk pemulihan atau pengembalian kerugian pada pendapatan Negara atas tindak pidana perpajakan yang terjadi?
  • Adakah mengadopsi penerapan perampasan aset terdakwa dalam undang-undang perpajakan dapat memulihkan atau mengembalikan kerugian negara atau kerugian pada pendapatan Negara dalam tindak pidana dibidang perpajakan ?

Perteorian Pidana

Jenis Pidana dalam Hukum Indonesia

Hukum pidana Indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni,

1. Pidana Pokok, berupa

  • Pidana Mati
  • Pidana Penjara
  • Pidana Kurungan
  • Pidana Denda

2. Pidana Tambahan

  • Pencabutan hak-hak tertentu
  • Perampasan barang-barang tertentu
  • Pengumuman putusan hakim

Adapun mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok, dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan atau tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 250, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan.

Pidana Denda di Indonesia

Meningkatnya penggunaan sanksi pidana denda diluar KUHP (UndangUndang Pidana Khusus) dapat ditemukan antara lain pada: (a) UU Nomor 7/Drt/1955 tentang Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, (b)UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, (c) UU No. 7 tahun 1992 jo UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan, (d) UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, (e) UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, (f) UU no. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, (g) UU 23 tahun 1997 tentang UU PLH, (h) UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, (1) UU No 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi, (j) UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, (k)UU No. 15 tahun 2001 tentang merk, (I) UU No. 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, (m) UU No. 15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang, (n) UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, (o) UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, (p) UU no. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, (q) UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, ( r ) UU No No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran, (s) UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

Meningkatnya penggunaan sanksi pidana denda seperti disebutkan diatas, banyak pakar berpandangan sebagai suatu hal yang wajar karena masyarakat itu terus mengalami perkembangan, hukum pun terus berkembang mengikuti dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan keseluruhan uraian diatas, eksistensi pidana denda sebagai sarana pemidanaan sudah tidak diragukan lagi. Perkembangannya dapat dilihat dari maraknya pendayagunaan sanksi pidana denda dalam perundang-undangan khusus, dan pandangan positif para ahli mengenai penggunaan pidana denda pun menyiratkan harapan yang cerah terhadap prospek sanksi pidana denda.

Kelebihan & Kekurangan Pidana Denda

Dari segi ekonomi, tidak disangkal bahwa pelaksanaan pidana penjara bila dihitung dari biaya yang mesti dikeluakan (social cost) begitu besar, karena dengan dipenjara seorang pelaku harus dibiayai dan difasilitasi, bangunan-bangunan untuk menempatkan mereka didalam lembaga tersebut. Dan ini seringkali menimbulkan masalah keuangan bagi Negara.

Sebagai jenis pidana non-kustodial, maka tidak mengherankan kalo pidana denda menjadi pusat perhatian sebagai alternative pidana perampasan kemerdekaan, karena keburukan-keburukan terhadap penjatuhan pidana penjara (perampasan kemerdekaan/custodial) tidak berlaku terhadap pidana denda yang mempunyai kelebihan (kebaikan) dibandingkan perampasan kemerdekaan yakni:

  • Dengan menjatuhkan pidana denda, tidak atau hampir tidak menyebabkan stigmatisasi. Anomitas terpidana akan tetap terjaga, karena kebanyakan dari mereka takut untuk dikenal sebagai orang yang pernah mendekam dalam penjara oleh lingkungan social atau lingkungan kenalan mereka, oleh karena itu terpidana merasakan kebutuhan untuk menyembunyikan identitas mereka atau tetap anonym / tidak dikenal;
  • Pidana denda tidak menimbulkan tercerabutnya terpidana dari dari lingkungan keluarga;
  • Dengan penjatuhan pidana denda, secara ekonomis Negara akan mendapatkan pemasukan berupa uang atau setidaknya menghemat biaya social jika dibandingkan dengan pidana penjara;

Kebaikan lain dari pidana denda jika dibandingkan dengan jenis pidana custodial (perampasan kemerdekaan) maupun pidana mati menurut Sutherland & Cresey, yakni pembayaran denda mudah dilaksanakan dan dapat direvisi apabila ada kesalahan, dan yang tak kalah penting adalah pidana denda membuat lega dunia perikemanusiaan.

Pidana Denda Dalam KUHP

Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua jika dibandingkan dengan pidana penjara. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh hakim/pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karena is telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan sebagai berikut :

  • a. Pasal 30 ayat 1, berbunyi: banyaknya denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen;
  • b. Pasal 30 ayat 2, berbunyi: jika dijatuhkan hukuman denda, dan denda tidak dibayar, maka diganti dengan hukuman kurungan;
  • c. Pasal 30 ayat 3, berbunyi lamanya kurungan pengganti itu sekurangkurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan ;
  • d. Pasal 30 ayat 4, berbunyi : dalam putusan hakim ditentukan, bahwa bagi denda setengah rupiah atau kurang, lamanya kurungan pengganti denda itu satu hari, bagi denda yang lebih besar daripada itu, maka bagi setiap setengah rupiah diganti tidak lebih daripada satu hari, dan bagi sisanya yang tidak cukup setengah rupiah, lamanya pun satu hari;
  • e. Pasal 30 ayat 5, berbunyi: hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama lama lamanya delapan bulan, dalam hal mans maksimum denda itu dinaikkan , karena berulang melakukan kejahatan atau lantaran hal-hal yang ditentukan pada pasal 52;
  • f. Pasal 30 ayat 6, berbunyi: hukuman itu sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan;
  • g. Pasal 31 ayat 1, terpidana dapat segera menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda;
  • h. Pasal 31 ayat 2, is setiap waktu berhak membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan membayar dendanya
  • i. Pasal 31 ayat 3, pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah mulai menjalani pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.

Perampasan Barang-Barang Tertentu sebagai Pidana Tambahan

Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan pidana tambahan. Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda.

Bersambung…