… Sebelumnya

Kita telah membicarakan iman yang sederhana, fundamental, iman natural, iman permulaan, yaitu iman yang paling dasar, yang tidak mungkin tidak ada pada setiap orang. Sesungguhnya Tuhan sudah memberikan iman, iman yang diberikan adalah iman bibit, yang sangat awal di hati manusia sejak lahir. Ketika ibumu melahirkan engkau, Tuhan sudah membubuhkan benih iman di dalam hatimu. Manusia sejak bayi berbeda dari binatang, karena binatang tidak membawa iman ke dunia. Orang atheis, walaupun mengaku tidak beragama, tetapi di dalam hatinya sudah mempunyai kesadaran dan prinsip tahu bahwa Tuhan ada, sehingga perasaan takut kepada Tuhan bukan hanya dimiliki orang Kristen yang mendengar firman dan khotbah saja, tetapi setiap manusia pasti memiliki perasaan takut tersebut.

Tuhan berkata, “Murka Allah nyata dari sorga atas kefasikan dan kelaliman manusia.” Orang fasik dan lalim adalah orang yang tidak beribadah, yang tidak takut Tuhan, dan hidup sembarangan. Orang-orang seperti ini akan menerima murka Tuhan. Ketika berkesempatan seminar bersama Gus Dur, saya berkata, “Presiden yang baik adalah yang takut akan Tuhan dan mencintai rakyat.” Inilah dalil yang berlaku ribuan tahun. Jika raja tidak takut Tuhan dan tidak mencintai rakyatnya, lalu berkuasa sewenang-wenang, menggunakan kekerasan untuk menindas, menguasai, dan mengatur bangsa, akhirnya akan terjadi revolusi dan raja itu akan dibunuh. Itu semua karena kemarahan Tuhan turun dari sorga, nyata kepada orang yang fasik, tidak takut kepada Tuhan, dan lalim, berbuat kejahatan kepada sesama manusia.

Roma 1:18-20 menuliskan, “Murka Allah sudah dinyatakan dari sorga atas kefasikan dan kelaliman manusia, yang tidak melakukan kebenaran dan menindas kebenaran.” Ada tiga istilah di sini, yaitu satu untuk Tuhan, satu untuk manusia, dan satu untuk kebenaran: tidak takut Tuhan, tidak mengasihi manusia, dan menindas kebenaran.

Siapa yang menindas kebenaran? Benarkah kebenaran itu ditindas? Di mana kebenaran itu berada? Dan bagaimana menindasnya? Apakah pada bayi sudah ada kebenaran? Apakah di dalam diri setiap orang ada kebenaran?

Ya, ada kebenaran pada diri setiap manusia. Socrates, 2.400 tahun yang lalu telah mengatakan, “Saya tidak menemukan kebenaran, saya tidak dapat mengajarkan kebenaran kepadamu, karena kebenaran itu sudah ada di dalam hatimu.” Kebenaran itu telah ada di dalam hati setiap orang sejak lahir. Socrates juga mengatakan, “Ibuku menolong orang melahirkan bayi, dan aku menolong orang untuk melahirkan kebenaran.” Kebenaran yang dikatakan di dalam Roma 1:18-20 sama dengan kebenaran yang dikatakan oleh Socrates 400 tahun sebelumnya, yaitu kebenaran yang asli, yang sudah ditanam dan tersembunyi di dalam hati dan hidup manusia.

Tuhan sudah memberikan kebenaran kepada manusia dari sejak lahir. Hal ini tidak terjadi pada binatang mana pun juga. Itu sebabnya, Tuhan mengizinkan engkau membunuh binatang, tetapi membunuh manusia akan dihukum oleh Tuhan. Barang siapa mengalirkan darah sesama manusia, darah dia juga harus dialirkan, seperti yang tertulis di dalam Kejadian 9:6. Itu berarti, hidup manusia begitu berharga, sehingga engkau tidak seharusnya membunuh dan mengalirkan darahnya, karena hidupnya begitu bernilai dan tidak ada nilai sebesar apa pun yang bisa dibandingkan dengan nilai kehidupan. Darah harus dibayar darah, hidup harus diganti hidup.

Di dalam hati setiap manusia tersembunyi kebenaran yang tidak seorang pun dapat menghapusnya, menggantikannya, menguranginya, atau melecehkannya. Hidup manusia mengandung kebenaran dan kebenaran ini tidak disadarinya pada saat masih bayi. Ketika engkau dididik, maka engkau mulai mengerti. Menurut filsafat Tionghoa, ada dua alasan manusia perlu dididik:

  • Mencius mengatakan bahwa manusia perlu pendidikan karena di dalam diri manusia ada potensi baik yang perlu dididik, diajar, dan dikembangkan.
  • Sun Tzu mengatakan bahwa manusia perlu dididik karena pada dasarnya manusia itu jahat adanya, maka perlu dididik supaya dari jahat menjadi baik.

Jikalau kita memang jahat, kita perlu diubah menjadi baik, sehingga perlu pendidikan; tetapi jika kita sudah baik, kita perlu diperkembangkan, sehingga perlu pendidikan. Alkitab mengandung keduanya, di mana manusia tadinya baik, tetapi setelah berdosa menjadi jahat. Tidak benar jika manusia itu pada dasarnya baik. Kalau memang pada dasarnya baik, mengapa ada dosen yang berzinah, mengapa ada orang yang sambil mengajar orang lain, sambil sendiri berbuat dosa? Maka, itu justru menunjukkan ketidakbaikan manusia. Tetapi kalau tidak baik, apakah dia tidak boleh mengajar? Boleh, dia tetap boleh mengajar, karena bagaimanapun guru bersalah, pengajarannya masih baik untuk murid, sehingga jangan melihat kejelekannya, tetapi dengar kebenaran ajarannya. Kamu mendengar orang Farisi mengajarkan Taurat, dengar kalimatnya, tetapi jangan ikuti teladannya. Ini yang Alkitab ajarkan. Di sini kita melihat semua pengajaran dan teori yang paling baik, semua pengajaran filosofis yang penting, dan tradisi kebudayaan manusia yang agung, yang ada di dalam dunia ini sudah tersembunyi di dalam pengajaran Alkitab.

Kita tidak boleh berkhotbah atau mengajar mentah-mentah mengikuti theologi Barat, karena theologi Barat hanya salah satu aliran dalam upaya mengerti Kitab Suci. Bagaimana hebatnya theologi Barat, tetap kurang sesuatu yang harus kita gali dari Kitab Suci. Saya bukan hanya mengajarkan filsafat Tionghoa kepada Anda, karena filsafat Tionghoa bagaimanapun mendalamnya kurang konsep dosa yang tuntas dan kurang pengertian keselamatan sebagai unsur kebudayaan yang paling penting. Saya akan memberikan pengajaran dari Kitab Suci dibandingkan dengan filsafat Barat, edukasi Timur, atau kebudayaan dunia ini. Saya akan berjuang membawa engkau keluar dari pengertian manusia berdasarkan dosa menjadi pengertian wahyu Allah berdasarkan Roh Kudus.

Tuhan sudah menanam kebenaran di dalam hati manusia, tetapi Tuhan mengatakan bahwa dunia tidak ada kebenaran karena manusia menindasnya. Kelaliman, di dalam bahasa Gerika adikia (Ing: unrighteousness), yang berarti ketidakbenaran manusia, akan menerima hukuman murka dari sorga. Murka ini akan menghakimi orang yang sudah mempunyai kebenaran tetapi menindasnya. Mereka yang menindas kebenaran akan menerima hukuman murka Allah, karena mereka menindas kebenaran yang sudah nyata bagi mereka. Yang disebut “sudah nyata” berarti mereka telah mempunyai pengenalan tentang Tuhan Allah melalui wahyu, bukan melalui bukti. Maka Theologi Reformed sangat tuntas dengan apologetika presuposisi (presuppositional apologetics), bukan dengan apologetika pembuktian (evidential apologetics). Ini adalah dua macam dan dua wilayah apologetika yang sangat berbeda kualitas satu dengan yang lainnya. Jika saya membuktikan Allah, akhirnya hanya orang pandai yang mendengar bukti, merasa ini masuk akal, baru percaya. Maka itu berarti Allah harus, perlu, dan bisa dipercaya melalui bukti. Alkitab tidak pernah mengatakan, “Buktikan Allah ada, lalu engkau percaya kepada-Nya.” Ayat seperti ini tidak pernah muncul, karena Alkitab tidak pernah mengajar kita bahwa membuktikan Allah ada, barulah kita mempunyai iman. Alkitab mengatakan, “Allah sudah menyatakan.”

Ada dua perbedaan yang mendasar dari cara apologetika yang ada. Pertama, apologetika yang benar didasarkan pada pernyataan diri Allah. Wahyu pernyataan Allah diinisiasi oleh Allah sendiri, Allah adalah inisiator utama, Allah yang menghendaki, dan kehendak itu dimulai juga dari dan oleh diri-Nya sendiri. Ia menyatakan diri-Nya, membuat manusia tahu akan keberadaanNya, Allah yang rela menyatakan diri. Kedua, inisiator dari pernyataan apologetika ini juga dari Allah. Bukan hanya dimulai dari Allah menyatakan (mewahyukan) diri, tetapi Allah juga yang berinisiasi awal, beraksi awal, untuk menyatakan diri. Manusia hanya bisa bereaksi, berespons terhadap tindakan Allah. Maka, semua pemahaman bahwa manusia yang menjadi inisiator, manusia yang menentukan cara, manusia yang membuktikan Allah ada, adalah pemahaman dan metode yang salah. Jadi, 1) apologetika harus dimulai dari Allah, bukan dari manusia, dan 2) Allah yang menyatakan diri-Nya, bukan manusia yang membuktikan. Inilah metode presuposisi, di mana Allah berinisiatif dan manusia berespons. 

Bersambung

Sumber : https://www.buletinpillar.org/pdf/fisik/pillar-211-202102.pdf