Ada rasa suka ketika seorang kawan mengajak diskusi terkait proses keberatan yang baru saja diajukan atas suatu ketetapan pajak yang telah dikeluarkan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak Republik Indonesia.  Berdasarkan penjelasannya atas pokok sengketa, saya melihat bahwasanya penetapan yang dilakukan cukup berdasar, hanya terkait sanksi yang dikeluarkannya tidak sesuai sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 113 UU Nomor 11 tentang Cipta Kerja dimana atas sanksi bunga bukan lagi 2% melainkan berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan.

Sebagai pelaksana yang pernah bertugas menjadi penelaah keberatan, saya memberikan informasi sebagaimana yang pernah penulis tuangkan dalam blog ini yang berjudul “Konsekuensi Atas Keputusan Keberatan dan Banding“. Mendengar informasi tersebut, Wajib Pajak berniat untuk mencabut permohonan keberatan dan menggantinya dengan permohonan pengurangan sanksi sebagaimana yang pernah juga penulis tuang dalam blog ini yang berjudul “Bila Pengurangan Sanksi Dapat Diterima?“. Dalam tulisan ini, penulis mencoba melengkapi rangkaian tulisan-tulisan sebelumnya yaitu terkait implikasi pencabutan permohonan keberatan, semoga memberikan informasi yang bermanfaat.

Alasan Pencabutan 

Pencabutan permohonan keberatan pajak yang sudah diajukan oleh kawan lama saya di atas jelas adalah karena yakin bahwasanya keberatannya akan ditolak dan opsi yang saya sampaikan cukup masuk akal yaitu mencabut permohonan, membayar pokok dan mengajukan pengurangan sanksi (Pasal 36 ayat 1 huruf c UU KUP). Alasan tersebut hanya bagian kecil dari banyaknya alasan Wajib Pajak mencabut permohonan keberatan yang sudah diajukan.

Perlu menjadi perhatian, pencabutan permohonan keberatan hanya dapat dilakukan sebelum dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (SPUH) oleh Kantor Wilayah dimana Wajib Pajak terdaftar. Posisi SPUH ini mirip seperti Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) saat proses pemeriksaan pajak.

Mengajukan Surat Permohonan Pencabutan

Dalam Bab IV Peraturan Menteri Keuangan nomor 9/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah terakhir dengan nomor 202/PMK.03/2015 tentang tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan khususnya pasal 11 ayat (2) menyebutkan  Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh Wajib Pajak, dilakukan melalui penyampaian permohonan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dapat mencantumkan alasan pencabutan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran III;
  • surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan tersebut ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan
  • surat permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan atasan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Konsekuensi Pencabutan Permohonan Keberatan

a. Anti Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP

Pencabutan permohonan keberatan berarti menyetujui apa yang tercantum dalam surat ketetapan dan tidak ada sengketa perpajakan, maka wajib pajak tidak diperkenankan mengajukan Pasal 36 ayat 1 huruf b UU KUP yaitu tentang permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, karena atas penetapan telah dianggap sudah benar.

b. Nilai Produk Ketetapan Menjadi Utang Pajak

Pencabutan permohonan keberatan berarti pajak yang masih harus dibayar dalam ketetapan (SKPKB atau SKPKBT) yang tidak setuju dalam risalah pembahasan akhir hasil pemeriksaan akan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak.

c. Sanksi STP Pasal 19 ayat (1) UU KUP stdtd Pasal 113 UU Cipta Kerja

Jika kita membaca pasal 25 ayat (7) UU KUP dikatakan “Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.” Maka akibat dari pencabutan permohonan, jangka waktu pelunasan pajak yaitu satu bulan sejak tanggal penerbitan SKPKB atau SKPKBT hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 9 ayat (3) UU KUP. Dari tertangguh karena mengajukan keberatan menjadi batal akibat dari pencabutan pengajuan keberatan sehingga terdapat keterlambatan, atas keterlambatan ini dikenai sanksi pasal 19 ayat (1) UU KUP sebagaimana diubah melalui pasal 113 UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Sanksi tersebut adalah apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar ( tarif bunga ditetapkan oleh Menteri keuangan) untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Penutup

Rangkaian pembahasan tersebut diatas kembali mengingatkan bahwasanya pengajuan permohonan keberatan sebaiknya dilakukan jika pokok sengketa memiliki cukup bukti dan landasan yang kuat akan dikabulkannya permohonan ditingkat keberatan atau banding. Namun, jika tidak sebaiknya mengajukan pencabutan keberatan jika tidak ingin mendapat sanksi 50% (keberatan) dari jumlah SKPKB yang kurang dibayar.

Pencabutan pengajuan permohonan keberatan sebagaimana diuraikan di atas, merupakan langkah bijaksana yang dapat dilakukan bagi perencana perpajakan dalam satu perusahaan. Karena penulis seringkali melihat wajib pajak kadang kurang memahami konsekuensi dari pengajuan keberatan dan atau banding yang bisa menjadi bom waktu dimasa berikutnya.