Tidak dapat dipungkiri bahwasanya transformasi digital tumbuh demikian cepatnya, terlebih dalam kondisi Wabah Covid 19, dimana sebagian koordinasi pekerjaan dilakukan secara digital dengan memanfaatkan teknologi sebagai manifestasi dari bekerja di rumah. Sebelumnya pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan antisipasi untuk tetap dapat memajaki setiap transaksi yang dilakukan secara elektronik. Untuk dapat memahami dengan tuntas terkait pemajakan jenis ini, ada baiknya membaca terlebih dahulu beberapa tulisan atas transaksi elektronik ini sebelumnya yaitu :

Mengutip pernyataan H.G. Wells “Beradaptasi atau musnah? Sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi saat ini.” Demikian juga dengan perpajakan, pemerintah baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2020 yang secara tegas menerapkan pajak transaksi elektronik. Adapun tujuannya pemajakan dilakukan terhadap kegiatan usaha yang tumbuh adalah karena keterbatasan transaksi konvensional melalui tatap muka (social/physical distancing) akibat pandemi COVID-19 dan memberikan level playing field.

Sebagaimana kita ketahui bahwasanya pemajakan atas transaksi elektronik tersebut dibedakan atas penghasilan dalam negeri (WPDN) dan bisa merupakan penghasilan bagi wajib pajak luar negeri (WPLN). Dalam negeri apabila pusat administrasinya berada di dalam negeri, sementara Luar Negeri apabila pusat administrasinya berada di luar negeri.  Jika kaitannya perpajakan atas subjek pajak dalam negeri (SPDN) sudah sangat jelas aturannya, bagaimana dengan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) subjek pajak luar negeri? Maka Perpu nomor 1 tahun 2020 ini adalah cikal bakalnya.

Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE)

Sebagaimana kita ketahui, pada tanggal 25 November 2019, Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) (“PP No. 80/2019”). Perdagangan melalui sistem elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. PP No. 80/2019 diterbitkan sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU Perdagangan”) yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan dan pengawasan terhadap PMSE serta pelakunya dengan prinsip itikad baik, kehati-hatian, transparansi, keterpercayaan, akuntabilitas, keseimbangan, dan adil. Setiap pelaku usaha yang telah melakukan kegiatan PMSE sebelum berlakunya PP No. 80/2019 wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam PP No. 80/2019 paling lambat pada tanggal 25 November 2021.

Berdasarkan PP tersebut, yang termasuk dalam lingkup pengertian PPMSE adalah semua pihak yang menyediakan Jasa dan/atau sarana Sistem Elektronik sehingga memungkinkan suatu transaksi untuk kegiatan usaha PMSE dapat dilakukan. Pelaku Usaha tersebut menyelenggarakan jasanya dengan menyediakan sistem aplikasi untuk digunakan sebagai sarana Komunikasi Elektronik guna memfasilitasi kegiatan usaha Perdagangan dan/atau penyelesaian PMSE, meliputi berbagai model bisnis sistem penyelenggaraan PMSE. Model bisnis PPMSE antara lain:

  • retail online atau Pedagang yang memiliki sarana PMSE sendiri;
  • marketplace atau penyedia platformlpelantar sebagai wadah dimana Pedagang dapat memasang penawaran Barang dan/atau Jasa;
  • iklan baris online yaitu suatu platform/pelantar yang mempertemukan penjual dan pembeli dimana keseluruhan proses transaksi terjadi tanpa melibatkan PPMSE;
  • platform/pelantar pembanding harga;
  • daily deals

Perpajakan atas Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik 

Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atau pajak transaksi elektronik atas PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri yang memenuhi kehadiran ekonomi signifikan dan Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui PMSE.

Pendekatan kehadiran ekonomi signifikan adalah Pendekatan di mana kehadiran pajak pada suatu yurisdiksi akan muncul saat
perusahaan nonresiden memiliki keberadaan ekonomi yang signifikan berdasarkan faktor tertentu (OECD, 2019). Kriteria kehadiran ekonomi signifikan, adalah:

  • peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu;
  • penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau;
  • pengguna aktif media digital di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu;

dan Kriteria tersebut tidak berlaku kumulatif.

a. Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik dibayar dan dilaporkan oleh:

  • pedagang luar negeri,
  • penyedia jasa luar negeri, dan/atau
  • Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri.

Selain dilakukan oleh diri mereka sendiri, mereka dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memenuhi kewajiban tersebut. Perwakilan ini dapat berupa badan di Indonesia.

Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau PPMSE luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap dan dikenakan pajak penghasilan. Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, maka dikenakan pajak transaksi
elektronik.

Pajak transaksi elektronik dikenakan atas transaksi penjualan barang dan/atau jasa dari luar Indonesia melalui PMSE kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui PPMSE luar negeri. Besarnya tarif, dasar pengenaan dan tata cara perhitungan Pajak Penghasilan dan pajak transaksi elektronik akan diatur lebih lanjut atau dengan Peraturan Pemerintah.

b. Pajak Pertambahan Nilai

Sama dengan jenis pajak penghasilan, Kegiatan pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN yang terutang ,dilakukan
oleh:

  • pedagang luar negeri,
  • penyedia jasa luar negeri,
  • Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri,
    dan/atau
  • Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri,

yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Selain dilakukan oleh diri mereka sendiri, mereka dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memenuhi kewajiban tersebut. Perwakilan ini dapat berupa badan di Indonesia.

Sesuai aturan yang berlaku saat ini yang melakukan adalah konsumen (pihak yang melakukan impor) di dalam negeri melalui Surat Setoran Pajak. Sebagaimana kita ketahui berdasarkan Pasal 3A ayat (3) Undang-Undang PPN, orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan JKP dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Saat ini Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean (PMK 40). Beberapa poin yang diatur:

  1. kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN yang terutang berada di konsumen di Indonesia (orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean)
  2. Tarif yang dikenakan adalah 10% dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP (pihak pelaku PMSE luar negeri) c. Saat terutangnya PPN adalah saat dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean tersebut.
  3. PPN yang terutang wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
  4. SSP sebagaimana dimaksud merupakan dokumen tertentu yang dipersamakan kedudukannya dengan Faktur Pajak dan dapat dikreditkan oleh pihak yang memanfaatkan BKP tidak berwujud/JKP yang berstatus PKP sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam regulasi mengenai dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak (Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2019)
  5. Bagi PKP, PPN yang telah disetor dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bulan terutangnya pajak.

Mekanisme atau tata cara penunjukkan pelaku PMSE sebagai pemungut PPN PMSE akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan. Pelaku PMSE yang memenuhi kriteria tertentu akan dapat ditetapkan sebagai pemungut PPN PMSE.

c. Sanksi Perpajakan

Terhadap pelaku kegiatan PMSE yang tidak melakukan ketentuan pemenuhan kewajiban perpajakan:

  • dikenai sanksi administratif
  • pemutusan akses oleh Menkominfo atas permintaan Menkeu (setelah diberi teguran).

Tata cara pemberian teguran dan permintaan pemutusan akses terhadap pelaku kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang tidak melakukan kewajiban perpajakan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Penutup

Dapat dipastikan bahwa setiap negara sedang berkemas membuat regulasi terkait pajak atas transaksi elektronik karena jika tidak dilakukan akan membuka peluang praktik base erosion and profit shifting (BEPS). Bahkan Dirjen Pajak sebelumnya Robert Pakpahan pernah mengatakan besarnya potensi penerimaan pajak dari entitas ekonomi digital pada 2018, total konsumsi jasa dan barang tidak berwujud yang berasal dari luar negeri bisa mencapai Rp 93 triliun. Dari segi PPN  maka potensial yang seharusnya diperoleh mencapai Rp. 9,3 triliun.

Negara Prancis juga telah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Digital Service Tax (DST) yang kemudian disetujui Senat. Selanjutnya, RUU tersebut diteken oleh Presiden Prancis pada 24 Juli 2019 dan dirilis secara resmi pada 25 Juli 2019 serta berlaku surut mulai 1 Januari 2019. DST Prancis ditetapkan dengan tarif 3% dan menyasar perusahaan digital yang menerima pendapatan lebih dari Eu€750 juta atau setara dengan Rp11,37 triliun untuk layanan digital yang disediakan di seluruh dunia, dan Eu€25 juta atau setara Rp3,79 triliun untuk layanan di Prancis. 

Maka aturan DST melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2020 yang secara tegas menerapkan pajak transaksi elektronik adalah langkah yang tepat untuk menyasar penghasilan dari pemajakan yang dihasilkan dari transaksi elektronik yang selama ini luput dari pengaturan pajak domestik.

Download aturan :