Dalam kelas perpajakan khususnya materi PPh Badan hal yang penting disampaikan adalah persoalan tarif, bahwasanya tarif PPh Badan terdiri atas  4 (empat) kondisi yaitu :

  • tarif 1% dari peredaran bruto, hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2018  tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Artinya untuk penggunaan tarif ini dibatasi omsetnya antara Rp. 1,- s.d. Rp. 4.800.000.000,-.
  • tarif diskon  (25% x 50%) atau 12,5% dari  peredaran bruto yang tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,-  untuk yang peredaran bruto keseluruhan  sampai dengan Rp. 50.000.000.000,-. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 31E UU PPh.
  • tarif 20% dari Penghasilan Kena Pajak, hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat 2b yaitu khusus bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya.
  • tarif 25% dari Penghasilan Kena Pajak, hal ini bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang omsetnya melebihi batasan Rp. 50.000.000.000n-   sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat 2 UU PPh.

Kondisi pemberlakuan tarif sebagaimana diatas menghasilkan konribusi penerimaan pajak sepanjang tahun 2018 adalah sebanyak 35% terhadap total penerimaan PPh Non Migas, sementara PPh Non Migas mencapai 52% dari total keseluruhan realisasi penerimaan pajak. Hingga akhirnya terdengarlah wacana bahwasanya pemerintah akan melakukan penurunan tarif PPh Badan yang sebelumnya 25% (Pasal 17 ayat 2 UU PPh) menjadi 20%.  Tarif PPh Badan di Indonesia memang lebih tinggi dari Singapura, Kamboja, Thailand, dan rata-rata tarif PPh Badan negara OECD  yang rata-rata 23,9%, namun wacana penurunan tarif di Indonesia,  seberapa perlukah?

Mendongkrak Investasi di Indonesia

Hasil rapat terbatas di kantor presiden (finance.detik.com) terkait  terobosan kebijakan investasi, ekspor, dan perpajakan serta beberapa masukan dari kalangan pengusaha nasional yang tergabung di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang meminta pemerintah menurunkan tarif dikisaran 17-18%.

Sri Mulyani menyampaikan bahwa sampai saat ini terkait penurunan tarif PPh Badan masih dilevel 20%, hal ini karena pemerintah juga telah melakukan pembebasan PPN untuk kegiatan sewa pesawat dan peningkatan batas harga properti mewah (Perubahan PPh atas Penjualan Barang Mewah).

Perluasan Basis Perpajakan

Jika dibandingkan dengan reformasi perpajakan berbagai negara, pelaksanaan penurunan tarif perpajakan selalu bersamaan dengan perluasan basis perpajakan. Terlebih bila yang dilakukan adalah yang memiliki peran dalam kontribusi penerimaan negara. Trend penurunan tarif yang dilakukan beberapa negara tidak lepas dari reformasi perpajakan yang dilakukan Amerika Serikat dibawah kepemimpinan presiden Donald Trump, hal ini  sebagai manifestasi dari peningkatan daya saing.

Indonesia, dalam upaya memperluas basis perpajakan telah berupaya melalui kerjasama dengan perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan kesadaran para karyawan sebagai wajib pajak. Menciptakan kemudahan wajib pajak orang pribadi dalam menjalankan kepatuhan pajak. Misalnya, lewat fasilitas online melalui e-filing dan e-billing yang memungkinkan WP melaporkan pembayaran pajaknya kapan saja dan di mana saja sehingga tak perlu menyambangi kantor pajak. Serta memperluas dan memperkuat pelayanan menggunakan teknologi agar WP individu tidak merasa terbeban untuk patuh.

Kebijakan Perpajakan

Basis perpajakan dan kebijakan perpajakan adalah hal yang sama pentingnya untuk dilakukan mengantisipasi kebijakan penurunan tarif PPh Badan yang sedang dirancang, misalkan 3 (tiga) langkah yang telah dan sedang dijalankan yaitu :

  • optimalisasi penerimaan perpajakan melalui penguatan kepatuhan, pengawasan dan penggalian potensi perpajakan dengan memanfaatkan data dan informasi melalui sinergi pertukaran informasi dan joint-audit antara DJP dan DJBC, ekstensifikasi barang kena cukai dan digital goods, dan melanjutkan program penertiban impor, ekspor, dan cukai berisiko tinggi;
  • kebijakan perpajakan untuk meningkatkan investasi dan daya saing ekspor antara lain melalui harmonisasi fasilitas pembebasan PPN untuk barang antara, fasilitasi industri dan perdagangan melalui Pusat Logistik Berikat Industri Kecil Menengah (IKM), dan pengembangan/perluasan fasilitas kawasan industri tujuan ekspor untuk IKM;
  • utilisasi data dan informasi untuk kepentingan perpajakan antara lain melalui implementaSi Automatic Exchange of Information (AEol), Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan Multilateral Instrument (MLI), Country by Country Reporting (CBCR), dan Authorized Economics Operator (AEO) untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Tiga hal kebijakan perpajakan yang sudah dan sedang dilakukan tersebut di atas, bila dilakukan dengan konsisten, ketat dan disiplin dan terlihat jelas hasilnya maka, babakan berikutnya adalah penurunan tarif. Sehingga wcana penurunan tarif saat-saat ini sabaiknya dikesampingkan dan fokus pada implementasi kebijakan di atas.

Resiko dan Pengalaman Penurunan tarif

Jika kita melihat buah dari penurunan tarif PPh Badan yang dilakukan beberapa negara diantaranya :

  • Rusia, tarif PPh Korporasi Rusia pada 2001 mencapai 43 persen, turun bertahap hingga mencapai 20 persen saat ini. Hasilnya, rasio pajak Rusia turun dari semula 16 persen menjadi 13 persen, berlanjut hingga menyentuh 10,2 persen pada 2017.
  • Thailand, pada tahun 2012 menurunkan tarif PPh Korporasi dari 30 persen menjadi 23 persen, tetapi rasio pajak turun dari 17,6 persen menjadi 16,5 persen, berlanjut hingga 14,8 persen pada 2017.

Menurut perspektif penulis, selain stabilitas nasional dan hukum yang baik wacana penurunan tarif bukanlah sebuah jawaban untuk mendongkrak peningkatan investasi dan penerimaan pajak di Indonesia melainkan kesadaran perpajakan yang belum sepenuhnya menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia. Memang diakui bahwasanya sekarang ini kantor-kantor pajak dipenuhi oleh calon pekerja baru yang datang  berbondong-bondong membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), ini bukan karena kesadaran pribadi akan pentingnya pajak bagi negara namun syarat berkas lamaran oleh perusahaan yang mewajibkan lampiran fotokopi NPWP, hal ini pun juga merupakan suatu kesalahan  yang sistemik. 

Karena seberapapun rendahnya tarif perpajakan diturunkan, sepanjang prilaku kesadaran akan pajak belum berubah atau seberapa keras pun petugas pajak mengejar Wajib Pajak untuk membayar tetap tidak akan mampu meningkatkan penerimaan pajak karena sesungguhnya aktifitas bisnis yang tidak terdeteksi sistem paling banyak dimiliki oleh wajib pajak jenis ini.