Tuntutan dari otoritas perpajakan Inggris Raya dan otoritas pajak Prancis terhadap penggelapan pajak yang diduga dilakukan oleh perusahaan Google di tahun 2016 silam merupakan pukulan bagi legal perpajakan pada perusahaan Google. Dugaan karena Google dianggap membayar pajak lebih kecil di negara tempat mereka meraup untung (negara-negara Eropa) sementara melaporkan penjualan di negara yang tarif perpajakannya lebih rendah (Irlandia). Penghindaran pajak seperti ini adalah sesuatu celah (loophole) penghindaran pajak yang legal dalam perpajakan internasional, dimana perusahaan berbasis teknologi dan internet seperti perusahaan Google memusatkan administrasinya dikantor yang notabene tarif PPh Badan yang lebih rendah dibandingkan di negara dimana mereka meraup keuntungan.
Berkaca dari kasus tersebut, tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan bisnis bagi perusahaan yang berbasis teknologi dan internet atau sering disebut dengan istilah bisnis ekonomi digital berkembang dengan begitu cepatnya, lalu bagaimana kah institusi Direktorat Jenderal Pajak mengantisipasi potensi perpajakan yang adalah dalam ekonomi digital ini?
Dalam tulisan-tulisan terdahulu inovasi bisnis yang bersinggungan dengan teknologi dan internet (digital economy) dan aspek perpajakannya telah coba dibahas, diantaranya :
- Sekilas tentang pajak atas e-commerce (Part 1)
- Sekilas tentang pajak atas -e commerce (Part 2)
- Aspek perpajakan atas pemilik dan pebisnis pengguna kantor virtual
- Aspek perpajakan atas jasa titip
Ekonomi Digital
Tahun 2013, Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) mendefinisikan ekonomi digital sebagai hasil dari proses transformasi yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi dan komunikasi. Hal ini bermakna luas dan mencakup aktivitas mulai dari financial & technology (fintech), e-commerce, toko aplikasi, jasa periklanan online hingga pemanfaatan teknologi komputer dan pengembangan berbasis internet atau sering disebut komputasi awan (cloud computing).
Ekonomi digital sendiri bukan merupakan area yang terpisah dari sektor ekonomi pada umumnya. Selama ini penggunaan kata “digital” seolah menganjurkan adanya perbedaan (Stewart, 2015). Padahal, permasalahannya bukan terletak pada perbedaan antara “digital” dan “nyata” melainkan bahwa banyak ekonomi “nyata” telah berkembang menjadi “digital” dalam derajat tertentu.
Perpajakan Atas Ekonomi Digital
Fenomena digitalisasi bisnis ini tidak membutuhkan perlakuan pajak yang berbeda atau khusus. Karena ketentuan khusus akan berpotensi menimbulkan diskriminasi antar model bisnis yang justru mengurangi prinsip netralitas pajak dan mendistorsi keputusan ekonomi.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan transformasi model dan strategi bisnis yang perlu ditegaskan aspek perpajakannya. Pada prinsipnya, transaksi perdagangan barang dan/atau jasa melalui sistem elektronik, yang selanjutnya disebut e-commerce sama dengan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa lainnya, tetapi berbeda dalam hal cara atau alat yang digunakan. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan perlakuan perpajakan antara transaksi e-commerce dan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa lainnya. Sehingga fenomena digitalisasi bisnis ini tidak membutuhkan perlakuan pajak yang berbeda atau khusus. Karena ketentuan khusus akan berpotensi menimbulkan diskriminasi antar model bisnis yang justru mengurangi prinsip netralitas pajak dan mendistorsi keputusan ekonomi.
Domestik
Jika kita melihat dan membaca dalam tulisan sebelumnya yang berjudul Sekilas tentang pajak atas e-commerce, ketentuan yang mengatur adalah SE-62/PJ/2013 ditetapkan tanggal 27 Desember 2013 tentang penegasan ketentuan perpajakan atas transaksi e-commerce.
Namun, ketentuan dalam SE-62/PJ/2013 lebih relevan untuk kontek domestik, yaitu jika pihak yang terlibat dalam transaksi digital merupakan subjek pajak dalam negeri dan transaksi dilakukan dalam yurisdiksi Indonesia.
Pengawasan administrasi dan kepatuhan pajak untuk model bisnis digital bisa dilakukan melalui berbagai terobosan administrasi, misalnya dengan menunjuk online marketplace sebagai pemungut pajak. Sementara untuk PPN, mekanisme wajib pungut (VAT reverse charge) beserta kewajiban registrasi pemain asing untuk mendapatkan nomor pengukuhan pengusaha kena pajak bisa menjadi solusi.
Internasional
Ekonomi digital menyimpan tantangan yang lebih besar. Dalam era globalisasi bisnis dan transaksi ekonomi digital sering melibatkan dua atau lebih yurisdiksi atau negara. Interaksi sistem pajak antarnegara membuat pemungutan pajak akan jauh lebih sulit, terutama dengan terbukanya peluang penghindaran pajak. Dalam rangka menangkal skema penghindaran pajak tersebut kehadiran aturan khusus untuk memastikan pengenaan pajak bisa dijustifikasi menjadi sangat diperlukan. Secara umum, terdapat dua jenis skema penghindaran pajak internasional yang digunakan dalam bisnis ekonomi digital yaitu :
- Menghindari kehadiran fisik atau fungsi signifikan di negara sumber penghasilan; Dalam konsensus internasional, disyaratkan adanya kehadiran fisik suatu perusahaan di negara sumber penghasilan dalam Bentuk Usaha Tetap (BUT) agar negara sumber penghasilan dapat mengenakan pajak telah ketinggalan jaman.
- Penggerusan basis pajak yang biasanya berkaitan dengan mobilitas harta tak berwujud. Berbeda dengan bisnis tradisional, aset-aset terbesar perusahaan digital adalah harta tak berwujud, mulai dari video digital hingga logaritma. Perusahaan ekonomi digital dapat memindahkan harta-harta tak berwujudnya ke negara lain dengan tarif pajak lebih rendah seperti kasus Google, Amazon, dan Apple adalah contoh sempurna.
Dalam Proyek Anti Penggerusan Basis Pajak dan Pengalihan Laba yang diinisiasi oleh OECD dan G20, persoalan pajak atas ekonomi digital turut dibahas. Sayangnya, laporan resmi proyek yang diluncurkan pada 2015 tersebut tidak memberikan konklusi yang bisa dijadikan konsensus global dalam menangkal skema penghindaran pajak perusahaan digital. Saat ini, perumusannya masih berlanjut dan ditargetkan rampung pada 2020.
Belum adanya kesepakatan global dalam mengatasi penghindaran pajak dari ekonomi digital telah mendorong banyak negara bereaksi dengan membuat aturan pajak secara sepihak atau unilateral. Sebut saja, google tax atau diverted profit tax di Inggris, netflix tax di Argentina, web tax di Italia, dan sebagainya.
Dalam keterangan resmi sebuah organisasi Amerika yang mempunyai komitmen dalam meningkatkan kualitas hidup seperti akses sosial dan teknologi yang bernama The Information Technology Industry Council (ITIC) menyebutkan berbagai strategi kebijakan sepihak untuk memajaki ekonomi digital harus ditentang.
Model Pajak dalam Lingkup Internasional
Pada umumnya, aksi sepihak ini berada di luar cakupan UU PPh sehingga tidak terjadi benturan hukum dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Aturan pajak dibuat atas dasar jumlah penghasilan yang berasal dari negara sumber penghasilan serta adanya ambang batas tertentu yang menyasar kepada perusahaan raksasa digital saja. terdapat dua model aksi sepihak yang sering diperbincangkan yaitu :
a. Diverted Profit Tax (DPT)
Model DPT ini dilakukan di Inggris, yaitu mengenakan tarif terbesar sebesar 25% atas penghasilan neto yang dialihkan oleh perusahaan yang memperoleh penghasilan di Inggris. Tarif yang lebih tinggi dari ketentuan umum tersebut akan dikenakan terhadap perusahaan digital yang bermaksud menghindar beban pajak di Inggris.
b. Equalization Levy (EQL)
Model EQL ini dilakukan di India, yaitu mengatur tarif 6% atas penghasilan bruto yang dibayarkan oleh subjek pajak dalam negeri atau BUT di India kepada subjek pajak luar negeri. Model EQL hanya berlaku untuk transaksi jasa yang berhubungan dengan iklan online dengan nilai tertentu.
Masing-masing model memiliki keunggulan dan kelemahan. Walau demikian, model EQL dianggap lebih unggul dalam hal kepastian hukum, lebih sederhana secara administrasi, mudah dimodifikasi, serta memiliki nilai penegakan hukum yang efektif. Tidak mengherankan, pada September 2017 lalu, 10 Menteri Keuangan dari negara anggota Uni Eropa menandatangani suatu kesepakatan politik kepada Komisi Uni Eropa tentang prospek penerapan EQL.
Ekonomi Digital Indonesia Lingkup Internasional
Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia dengan pengakses internet yang mencapai 132,7 juta orang (Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII)). Maka sangat beralasan jika Direktorat Jenderal Pajak menaruh atensi dan mengejar pajak perusahaan berbasis ekonomi digital.
Bagi Indonesia, aksi sepihak patut untuk dikaji agar potensi pajak tidak menguap atau tidak terjadi penggerusan basis pajak di tengah belum adanya konsensus internasional. Model EQL sebagaimana yang dilakukan di negara India bisa menjadi solusi karena sesuai dengan kondisi Indonesia. Kendati demikian, usulan pengenaan model EQL haruslah bersifat sementara dan jangka pendek sambil menunggu konsensus internasional dalam memajaki bisnis digital lintas yurisdiksi.
…
Dari berbagai sumber, diantaranya https://kalimantan.bisnis.com/read/20171127/244/712771/perspektif-pemajakan-ekonomi-digital
Trackbacks/Pingbacks