keluarga-bahagiaBAB IV :
MENGHORMATI PERKAWINAN

Hendaklah kamu semua pernuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah.” (Ibrani 13:4)

Kitab Suci mengharuskan setiap orang untuk menghormati pernikahan. Tidak ada pengecualian. Baik orang yang sudah menikah, maupun yang belum menikah, yang belum mempunyai kesempatan menikah maupun yang tidak menikah, harus menghormati pernikahan. Jangan Saudara memandang pernikahan sebagai hal yang najis. Menganggap seks adalah kejahatan merupakan pikiran yang tidak benar. Seks merupakan suatu kebahagiaan besar yang Tuhan ciptakan di dalam diri manusia. Jangan pula berpikir bahwa hidup tidak menikah itu lebih suci daripada orang yang menikah. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa tidak menikah lebih suci daripada menikah.

Kalau Alkitab mau mengajarkan bahwa tidak menikah itu lebih suci, tentunya Alkitab akan menuliskan: “Hormatilah mereka yang tidak menikah karena mereka lebih suci.” Tetapi tidak ada tulisan demikian, yang dituliskan adalah setiap orang harus menghormati pernikahan. Berarti pernikahan tidak najis, bukan bersifat dosa. Melakukan hubungan seks dalam jalur yang resmi, yaitu lembaga pernikahan, bukan suatu kesengsaraan dan dosa. Pernikahan adalah suatu kehormatan. Dalam Kejadian 1, Allah menciptakan Adam dan Hawa, lalu Allah mempersatukan Adam dan Hawa dalam pernikahan, Allah menciptakan sistem keluarga dalam masyarakat.

PERBEDAAN PERNIKAHAN KRISTEN DAN NON-KRISTEN

Pernikahan Kristen dan non-Kristen mempunyai perbedaan nilai kualitatif yaitu pernikahan Kristen didasarkan pada Allah sebagai Sumber Cinta sehingga kita hidup dalam cinta seperti Allah. Inilah hidup orang Kristen. Orang non-Kristen juga mengatakan cinta, namun artinya sama sekali berbeda.

Satu hal paradoks dalam dunia ini adalah istilah yang sama seringkali mempunyai pengertian yang berbeda. Itu sebabnya Socrates dalam hidupnya selalu mencari definisi yang paling akurat. Ketika bertemu dengan seorang hakim, dia bertanya, Siapakah engkau?” dan dijawab oleh orang itu, “Saya seorang hakim.” “Mengapa bekerja sebagai hakim?” “Untuk mencari makan.” Lalu Socrates melanjutkan terus, “Kalau demikian ada kesamaan dengan anjing, karena anjing juga mencari makan.” “Oh berbeda. Makna mencari makannya berbeda.” “Apa bedanya?” “Karena saya melakukan suatu kebaikan untuk masyarakat.” “Kebaikan apa?” “Kebaikan dalam bentuk keadilan.” “Apa itu keadilan?” “Keadilan adalah sama rata.” “Berarti bila engkau menjadi hakim, seluruh dunia akan menjadi sama?” “Oh tidak mungkin. Keadilan berarti kebaikan dipuji, kesalahan dihukum.” “Kalau demikian, keadilan moral seperti apa?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus diajukan untuk memojokkan sampai hakim itu harus sungguh-sunggguh bertanggung jawab akan pengertian keadilan.

Filasafat Socrates berusaha memakai definisi paling tepat untuk melukiskan setiap istilah. Ini menjadi pola dari kebudayaan Barat. Misalnya dalam bidang bahasa dituntut untuk dengan tepat dan teliti menggunakan istilah. Kata “makan” baik kemarin, sekarang, dan besok dalam bahasa Indonesia menggunakan bentuk yang sama. Dalam bahasa Inggris waktu dibedakan dalam tense, sampai memiliki belasan tense. Tetapi dalam bahasa Yunani lebih banyak lagi, sampai 54 tense. Begitu tepat, tidak mungkin dikacaukan. Dalam menjalankan hukum perlu ketepatan seperti itu.

Orang Kristen harus hidup di dalam kasih. Apa definisi “kasih” atau “cinta” menurut orang Kristen dan non-Kristen? Setiap kali seorang non-Kristen berkata, “Saya mencintai kamu,” konsepnya adalah “Saya memerlukan kamu. Dan emosiku sekarang merasa memerlukan kamu, itu berarti cintaku untukmu.” Tetapi ketika orang Kristen mengatakan “cinta,” beberapa konsep besar langsung terpapar. “Allah itu kasih. Kristus mati di kayu salib menyatakan kasih. Kasih itu harus saya teladani sehingga saya menjalankan hal yang sesuai dengan yang diteladankan Kristus.” Istilah “kasih” dari orang Kristen dilatar-belakangi oleh wawasan luas dari Kristologi.

Sumber orang non-Kristen untuk menikah ada dua, sedangkan sumber orang Kristen hanya satu. Orang non-Kristen mencintai sesuatu pasti ada sebabnya. Sebab itu terletak bukan di luar diri yang lebih besar, tetapi di luar diri yang lebih kecil. Saya mencintai gelas ini karena gelas ini elok. Saya menyukai kamu karena kamu menarik bagi saya. Obyek menjadi sebab saya mengasihi. Dengan demikian, kasihku digugah karena di luar diriku ada sesuatu yang mengisi kebutuhan emosi dalam diriku. Inilah kasih orang non-Kristen.

Saya tidak mengatakan orang Kristen adalah orang supra-normal sehingga tidak ada kesamaannya dengan orang non-Kristen. Tetapi satu perbedaan penting adalah cinta orang non-Kristen bersumber dua, sedangkan orang Kristen bersumber satu.

Mengapa kasih non-Kristen bersumber dua? Karena pria mencintai wanita, dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai sumber cinta. Wanita mencintai pria karena wanita itu sendiri menjadi sumber cinta. Tetapi orang Kristen tidak berani demikian. Orang Kristen harus mengakui, “Saya bukan sumber cinta. Allah-lah sumber cinta. Maka Allah memberikan cinta dalam diriku untuk mencintaimu. Dan Allah memberikan cinta kepadamu untuk mencintaiku.” Dalam aspek lain, “Saya mencintai kamu demi Tuhan; engkau mencintai saya demi Tuhan,” sehingga dalam pernikahan itu ada campur tangan Tuhan bukan inisiatif sendiri saja. Jika seorang pria mencintai seorang wanita hanya karena wanita itu begitu cantik, dan wanita mencintai seorang pria hanya karena pria itu begitu gagah, berarti saya mencintai kamu karena ada sesuatu yang menarik dalam dirimu. Bagaimana kalau suatu hari nanti terjadi kesulitan fisik melalui penyakit dan kecelakaan mengakibatkan kecantikan dan kegagahan hilang? Kamu menjadi sumber daya tarik yang menggugah sumber cintaku. Aku pun menjadi sumber daya tarik yang menggugah sumber cintamu. Dua sumber ini lalu saling berbenturan, tidak harmonis.

Orang Kristen harus mengerti bahwa mencintai harus berdasarkan satu sumber, yaitu cinta Allah. Dari cinta Allah saya mencintai engkau. Dari cinta Allah engkau mencintai saya. Itu sebabnya jika dalam satu keluarga terjadi benturan karena beda pendapat, beda latar-belakang sehingga sulit harmonis, mereka harus berlutut dan kembali kepada Sumber satu-satunya. Allah adalah sumber satu-satunya. Dengan demikian, demi Allah saya mengoreksi cintaku kepadamu. Demi Allah, engkau mengoreksi cintamu kepadaku. Pada waktu saya tidak lagi seindah dan secantik dulu, cinta yang kekal akan tetap mengoreksi saya sehingga kesementaraan cinta saya diubah menjadi lebih bersifat kekal. Inilah keindahan keluarga Kristen yang bersumber tunggal.

Kita harus menyadari dan bertanggung jawab akan pengenalan Allah sebagai sumber satu-satunya sehingga corak hidup keluarga kita pasti berubah. Ketika kita mengatakan “saya mengasihi engkau”, apa sebenarnya kasih itu? Kasih bukan menyenangi sesuatu dengan kehendakku. Senang-senang bukan kasih. Kasih bukan senang-senang.

Ketika Saudara mengatakan, “Makanan ini enak sekali. Saya menyukainya. I love it.” Ini cinta yang berbahaya. Ketika Saudara mencintai kepiting, maka kepiting itu akan mati. Ketika Saudara mencintai udang, udang itu akan mati. Ketika Saudara mencintai sapi, sapi itu harus mati. Ketika Saudara mencintai bebek, bebak akan disembelih. Kalau dengan cara demikian Saudara mencintai isteri Saudara, maka isteri Saudara akan jadi korban.

Karena engkau begitu baik, maka saya mencintai engkau, saya mencaplok engkau, saya memiliki engkau. Cinta yang menjajah selalu mengganggu yang dicinta. Memang ada semacam orang yang mau diganggu, tetapi itu abnormal. Cinta yang posesif (bersifat terlalu ingin memiliki), selalu mengganggu. Ada seorang pria yang sangat mencintai seorang wanita dengan cara yang posesif. Wanita itu menolak karena ia tidak merasa dicintai dengan cinta seperti itu. Di sini sifat mutual perlu dihargai, yaitu biarlah yang dicintai merasa bahwa ia dicintai.

APAKAH ITU CINTA ?

Cinta bukan sekadar “saya senang!” lalu orang lain melayani kesenangan kita. Kalau orang lain hanya melayani nafsu keinginan dan kesenangan kita, maka kita telah memakai cinta menjadi pembunuh emosi. Itu tidak mungkin menghasilkan kebahagiaan.

Cinta sejati adalah cinta yang memberikan kasih dan sekaligus membiarkan pihak yang dicintai merasakan kasih. Dalam hal ini tidak mutlak stabil dan tidak mutlak sama waktunya. Maksudnya, ada orang yang pada permulaan merasa tidak dikasihi tetapi kemudian baru merasakannya, sehingga memerlukan waktu. Apalagi jika perbedaan umur antara suami dan istri cukup besar. Seorang yang berusia 20 tahun sulit mengerti orang yang berusia 25 atau 30 tahun. Perlu waktu untuk penyesuaian. Berarti kasih perlu dibubuhi kesabaran untuk mencapai penyesuaian diri.

Saling menyesuaikan diri sangat dibutuhkan. Penyesuaian diri memerlukan pengorbanan, tahan nafsu, waktu yang panjang. Inilah kunci kebahagiaan. Banyak orang tidak berbahagia dalam kehidupan berkeluarga hanya karena kurang sabar. Kalau sabar menunggu setengah atau satu tahun saja, keluarga itu akan menjadi baik, tetapi karena tidak mau menunggu waktu, segalanya menjadi rusak. Perlu kesabaran dan menunggu untuk mendapatkan penyesuaian yang akan menghasilkan keindahan.

Penyesuaian dari dua pribadi yang berbeda wawasan, latar belakang, pendidikan seks, akhirnya bisa mencapai keharmonisan. Orang yang bisa mencapainya adalah seorang seniman. Seorang pria harus mengerti seni sebagai seorang pria. Seorang wanita harus mengerti seni sebagai seorang wanita. Seni pria dan seni wanita digabungkan sehingga mencapai keharmonisan melalui penyesuaian diri. Suami istri berjanji hidup dari tidak sama menjadi sama. Lalu mengerti dan mengaku tidak sama. Harus menghadapi fakta tidak sama antara pria dan wanita. Tetapi di sinilah kasih menjadi besar artinya jika bisa harmonis dengan yang berbeda.

Kasih yang hanya untuk menyenangkan diri merupakan emosi yang sangat rendah, kasar dan biadab. Tetapi kasih yang anggun adalah kasih yang mau menyesuaikan diri dengan yang berbeda. Banyak keluarga perlu saling menyesuaikan diri dalam kasih. Tidak ada keluarga yang tidak pernah cekcok. Cekcok kecil mendatangkan bahagia, cekcok besar mendatangkan bahaya. Tidak ada lidah yang tidak pernah digigit oleh gigi sendiri. Kita kadang bisa salah, terjadi percekcokan dan perselisihan. Itu perlu sekali dalam proses penyesuaian diri. Pada waktu itulah Saudara jujur. Tetapi jangan lupa, jujur jangan sampai kekurangan kasih, karena dapat menjadi jujur yang dingin dan kejam. Sementara kasih yang kurang jujur dapat menjadi kompromi dan berdosa.

Jadi dalam kejujuran berselisih sedikit tidak apa-apa. Itu berarti mengakui ketidak-cocokan. Pelan-pelan mau menerima bahwa ia berbeda dan menerima apa adanya. Tetapi tidak berarti terus-menerus begitu, harus ada perubahan. Setiap orang dalam kasih harus mempunyai pengharapan bahwa ia semakin berubah dan saya juga semakin berubah. Tetapi juga bukan memaksa dia berubah menjadi seperti saya seluruhnya, juga tidak mungkin saya menjadi seperti dia seluruhnya. Itu tidak mungkin. Tetapi berubah untuk menjadi semakin seperti Sumber satu-satunya, dengan demikian keluarga bisa bahagia.

Saya dan istri mempunyai banyak sekali perbedaan. Satu hal yang sama adalah sama-sama suka musik. Tetapi masing-masing dalam latar belakang, pendidikan, keluarga yang sangat berbeda. Waktu menikah, memang kami merasa sangat mencintai tetapi juga merasa sangat berbeda. Lalu yang dibesarkan perbedaannya atau cintanya? Cinta menutupi perbedaan, bukan perbedaan menyingkirkan cinta. Penyesuaian dibutuhkan. Semakin lama kami semakin bersatu, semakin harmonis, dan semakin baik. Tetapi itu perlu waktu dan kesabaran. Bila tidak sabar, lalu ganti pasangan, itu lebih gawat. Keluarga menjadi tidak beres. Penyesuaian yang putus di tengah jalan mengakibatkan broken-home, anak-anak remaja yang merusak masyarakat. Kita harus mengakui perbedaan itu perlu dan patut dihargai. Cinta bukan hanya mau menyenangi yang sama dengan saya, tetapi cinta berusaha menghargai yang berbeda dengan saya.

Cinta berarti mau belajar dari yang berbeda dengan saya dan menghargai. Seorang misionaris pertama kali pergi ke Hokkaido. Ia menderita sakit maag dan tidak bisa makan makanan mentah. Tetapi ia dikirim ke satu kampung di mana makanannya selalu serba mentah, sayur dan ikan mentah. Tetapi misionaris ini sudah berjanji untuk melayani di sana. Setiap kali ia makan makanan mentah, langsung muntah. Di hadapan umum ia tetap menelannya. Setelah makan, ia pergi ke belakang dan muntah. Kemudian ia kembali lagi dan melanjutkan makan bersama. Setelah beberapa tahun ia bisa beradaptasi dengan baik. Try to respect others, try to respect those you love.

Dengan seleksi yang natural (bukan natural seleksi) kita melihat pria yang ribut, keras, suka sekali menikah dengan perempuan yang lembut. Perbedaan itu yang sangat menarik baginya. Tetapi setelah menikah, perbedaan itu menjadi kesulitan. Seorang pria yang tenang, senang dengan perempuan yang super-aktif. Sesudah menikah, istrinyalah yang senang pidato dan suaminya mengangguk-anggukkan kepala saja. Orang lain bingung, yang mana suami atau istrinya? Ini gejala umum.

Bertanggung-jawablah setelah Saudara memilih. Hadapilah fakta bahwa Saudara mengambil seseorang yang berbeda dengan Saudara dan terus menghadapi resiko sampai mati untuk berusaah menyesuaikan diri dengan orang yang Saudara kasihi tetapi yang juga berbeda dengan Saudara. Dengan demikian, jangan ada pikiran mau cerai. Waktu menikah, Saudara sudah ambil keputusaan ini untuk selama-lamanya. Kecuali kematian, tidak ada perpisahan antara suami dan istri. Kecuali kematian, tidak ada pemikiran untuk bercerai. Selalu ditanam dengan kasih, dikaitkan dengan kekekalan. Sumber dari Allah, dan bertanggung jawab kembali kepada Allah dalam kekekalan. Dengan kerangka pikir seperti ini, pandanglah istrimu atau suamimu. Semakin lama semakin indah. Setiap orang memiliki keindahan masing-masing yang bisa dikoreksi, dihormati, dan bisa hidup bersama-sama.

Keluarga adalah satu unit yang paling mendasar dan fundamental dalam pembentukan masyarakat dan gereja. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa kita harus penuh hormat terhadap perkawinan (Ibrani 13:4). Di dalam istilah yang begitu penting ini Alkitrab mengajarkan bahwa kita harus penuh hormat kepada perkawinan karena perkawinan adalah suatu unsur yang sangat penting di dalam hidup di dunia ini, yaitu dalam bentuk keluarga.

Belakangan ini kita melihat gejala banyak orang Kristen yang tidak mau menikah di dalam gereja. Ini merupakan suatu gejala yang kurang baik, yang tidak seharusnya terjadi. Pemuda-pemudi Kristen seharusnya memulai pernikahan dengan pemberkatan, kesaksian, dan pemberitaan firman. Dengan pembacaan Alkitab, pemberkatan oleh hamba Tuhan yang diurapi, dan kesaksian oleh jemaat Tuhan, mereka memulai hidup baru di dunia untuk menyaksikan bahwa diri kita tidak sama seperti mereka yang dari dunia. Kita adalah orang-orang yang sudah diberkati dan dipilih oleh Tuhan. Kita melihat kebaktian pernikahan begitu sepi, tetapi pesta perjamuan begitu ramai. Apakah kita lebih mementingkan makan daripada menghormati Tuhan? Biarlah kita kembali kepada prinsip firman Tuhan, di sini kita diajar untuk bersikap penuh hormat kepada perkawinan.

MENGAPA KITA HARUS PENUH HORMAT TERHADAP PERKAWINAN ?

1. Penetapan Tuhan

Pernikahan pertama dijodohkan oleh Tuhan sendiri. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan sesuai dengan peta dan teladan-Nya sendiri. Tuhan menciptakan laki-laki untuk perempuan dan menciptakan perempuan untuk laki-laki. Tuhan, Pencipta yang telah menetapkan sistem pernikahan ini adalah Allah sendiri. Itu alasan pertama mengapa kita harus sepenuhnya menghormati pernikahan.

Sebagai seorang Kristen kita harus melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah terlebih dahulu. Psikologi tidak pernah memberikan dasar yang kuat karena mereka hanya melihat manusia dari sudut pandang manusia. Tetapi Kitab Suci mengajar kita untuk melihat segala sesuatu dari as atau poros-nya, yaitu Tuhan. Maka kita akan melihat segala sesuatu dengan jelas dan tidak salah melihat segala sesuatu yang rumit di dunia ini. Karena pernikahan ditetapkan oleh Tuhan, dan orang-orang yang berpotensi untuk menikah diciptakan oleh Tuhan, maka pernikahan pertama dijodohkan oleh Tuhan sendiri, sehingga kita perlu penuh hormat dengan pernikahan itu sendiri.

2. Pertemuan antara Pribadi yang Paling Intim dan Resmi

Tidak ada hubungan lain yang mungkin lebih erat, lebih resmi dan lebih panjang artinya, dan lebih indah daripada pernikahan. Ini merupakan suatu “I-Thou Relationship”. Pada permulaan abad ke dua puluh, seorang profesor besar bangsa Yahudi dari Hebrew University, bernama Martin Buber (1878-1965) telah menulis sebuah buku yang tidak terlalu tebal, tetapi kalimatnya begitu kental sehingga orang biasa perlu berjam-jam untuk memikirkan satu kalimatnya. Bukunya itu diberi judul I and Thou” (Aku dan Engkau). Di dalam istilah ini, ia sudah mempunyai satu kerangka filsafat yang menganggap bahwa relasi menjadi rusak karena pertemuan pribadi dengan pribadi sudah dirusakkan oleh presuposisi yang tidak benar. Hubungan saya dengan kacamata saya, gelas, dan materi lainnya bukanlah “I and Thou” tetapi “I and it”. Tetapi hubungan saya dengan orang lain haruslah demikian intim, begitu saling menghargai, sehingga hubungan itu menjadi “I and Thou”. Perlu kesadaran yang luar biasa untuk bisa beralih dari “I and it” menuju kepada “I and Thou”. Sayangnya, dan celakanya, begitu banyak orang yang menghadapi orang lain seperti menghadapi benda. Manusia lain dipermainkan seperti barang di tangannya. Ketika manusia dipersamakan dengan materi, bukankah kita akan melihat manipulasi dan kepura-puraan terjadi di masyarakat? Maka tidak mungkin keadilan di antara manusia dan manusia dapat tercapai.

Pada waktu manusia memperlakukan manusia lain sebagai binatang dan materi, maka yang diinginkan di dalam motivasi yang tidak beres itu adalah keuntungan melalui memperalat manusia. Kalau manusia hanya dijadikan satu alat untuk mendapat keuntungan manusia yang lain dengan ambisi yang tidak menghargai manusia sesamanya, maka dunia tidak pernah mungkin mencapai perdamaian. Tidak mungkin tercapai keadilan dan kemakmuran, sehingga itu hanya merupakan slogan yang kosong belaka. Jikalau Saudara diperlakukan sebagai alat, Saudara akan merasa diri dan kehormatan Saudara sudah diinjak-injak orang lain. Jikalau pacar Saudara mempermainkan Saudara hanya untuk memuaskan dirinya, Saudara akan merasa hidup sangat tidak berarti, karena diri kita adalah seorang yang berpribadi. Pada waktu pernikahan itu terjadi, berarti pribadi dan pribadi itu bertemu dan berjanji bersatu. Ini merupakan hal yang begitu besar sehingga kalimat ini tidak salah, “penuh hormat terhadap pernikahan.” Ini adalah ajaran Alkitab yang jauh lebih baik daripada segala buku pedoman tentang seks, perkawinan, dan keluarga yang ditulis hanya dengan pikiran otak manusia.

Setiap orang yang mau menikah haruslah mengerti bahwa ini merupakan pertemuan antara pribadi yang satu dan pribadi yang lain, dengan perjanjian yang selamanya. Ini bukan permainan. Menikah bukan seperti membeli barang. Menikah dengan seseorang bukan seperti memilih benda-benda yang kita senangi. Menikah adalah suatu kehormatan yang Tuhan berikan kepada manusia, di mana pribadi tertarik dengan pribadi, di mana kedua pribadi berjanji untuk hidup bersama-sama selama-lamanya di dalam dunia ini.

3. Menyangkut Dasar dan Tanggung Jawab Keluarga

Kita harus menghormati pernikahan karena pernikahan menjadi dasar keluarga, dan memberikan pengaruh dan tanggung jawab yang paling panjang di dalam diri dan hidup kita. Mungkin kita berkawan dengan orang lain, tetapi kalau ia mau pergi meninggalkan kita, kita tidak berhak melarang, tetapi pernikahan tidak demikian. Pernikahan mengandung suatu unsur kemauan yang kekal untuk mengadakan pertemuan dengan pribadi yang lain. Antara kasih dan kekekalan ada satu kaitan yang khusus dan sangat bersifat rahasia. Karena itu para psikolog mengakui bahwa jika seseorang mengasihi orang lain dalam ikatan pernikahan, maka kasihnya akan berkonsentrasi pada orang lain itu. Tidak mungkin bercabang ke banyak orang. Jika kita mencintai seseorang, kita tidak mungkin lagi mencintai secara sama kepada orang lain. Jikalau seorang ayah mencintai lima orang anak, itu bisa sama rata dan adil, tetapi terhadap pasangannya dalam suatu pernikahan, tidak mungkin dia bisa mencintainya dengan cinta yang sama terhadap orang lain. Maksudnya, jika kita mencintai seseorang, cinta itu begitu mutlak, dan menuntut keseluruhan, tidak mungkin dicabangkan sehingga disama-ratakan dengan obyek cinta yang lain. Maka, ini menuntut kita menghargai pernikahan.

Bukan hanya itu, cinta tidak hanya terkait dengan keutuhan, tetapi juga dengan kekekalan. Kita pernah mendengar pemuda-pemudi yang belum tahu banyak tetapi bisa bicara seperti seorang filsuf. Pada waktu mereka jatuh cinta, mereka mengatakan, ”Bagaimanapun aku akan mencintaimu, sampai mati pun aku akan tetap mencintaimu.” Padahal belum pernah mati. Sepertinya mereka sudah tahu apa artinya hidup dan mati, bahkan ada yang mengatakan, “Biarlah bulan jatuh, gunung rontok, air laut di Samudera Pasifik kering, cintaku tidak akan berubah.” Kita belum pernah melihat bagaimana gunung rontok, air itu kering, mana mungkin secara riil kita mengatakan kalimat-kalimat seperti itu. Itu berarti ia ingin mencetuskan sesuatu, yaitu cinta dan kekekalan (immortality) dipersatukan, secara instingtif. Cinta yang sejati selalu mau mengaitkan cinta dengan keutuhan dan cinta dengan kekekalan. Allah itu kekal, dan Allah itu kasih. Itu sebabnya kekekalan adalah hakikat cinta dan cinta menuntut tanggung jawab yang kekal. Di sini kita harus menghargai pernikahan karena cinta yang ada di dalam pernikahan itu terkait dengan Allah, baru Saudara mungkin mengerti tanggung jawab yang sesungguhnya.

4. Sumber Prokreasi Terus-menerus

Pernikahan bukan sekedar mengisi waktu yang belum sampai, atau mengasihani seseorang, tetapi merupakan sesuatu yang akan menghasilkan keturunan yang terus-menerus. Jadi pada saat Saudara memilih pasangan, itu bukan memilih gelas atau mobil, tetapi memilih seseorang yang akan menjadi nenek moyang keturunan Saudara. Maka, tidak boleh sembarangan. Selain memilih dia, Saudara harus memikirkan bagaimana memupuk dan menyempurnakan pernikahan karena Saudara dan pasangan Saudara bersama akan menghasilkan keturunan yang turun-temurun. Maka, ”Hendaklah kamu penuh hormat terhadap pernikahan” adalah prinsip yang betul-betul perlu kita hargai. Bukan saja demikian, melalui pernikahan kita harus menjadi teladan di dalam hidup keluarga kita. Perkataan dan pengajaran yang diberikan kepada anak-anak tidak lebih kuat dibandingkan dengan hidup teladan, dan prinsip sehari-hari yang Saudara jalankan di dalam kehidupan sehari-hari.

Hidup pernikahan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan mengakibatkan mereka boleh menjadi wakil Tuhan di dalam rumah dan teladan yang memancarkan sinar cahaya Pencipta kepada anak-anak yang dilahirkan di dalam keluarga mereka. Telah dibahas bahwa dalam konsep Barat dikatakan, “A son is born into my family” (Seorang anak telah dilahirkan di dalam keluargaku), sehingga konsep anugerah itu jelas. Bahwa anak-anak dilahirkan di dalam keluarga kita melalui pernikahan menandakan Tuhan mempercayakan anak-anak ciptaan-Nya kepada kita. Kalau anak-anak itu dilahirkan di dalam keluarga kita, kita harus sadar bahwa itu bukan saja karena saya yang melahirkan, menciptakan dan memproduksi itu, tetapi karena kepercayaan Tuhan sehingga hidup-hidup yang masih kecil itu boleh diasuh oleh saya. Di sini perasan tanggung jawab harus mendahului tindakan pernikahan. Pengertian semacam ini menjamin kita bisa hidup baik-baik untuk menjadi wakil Tuhan di dalam keluarga.

5. Unit Masyarakat yang Menjadi Saksi

Pernikahan akan menghasilkan satu unit masyarakat yang harus menjadi saksi Kristus. Setiap keluarga Kristen adalah satu unit masyarakat. Di mana Saudara berada, di kampung Saudara, kecamatan Saudara, keluarga Saudara menjadi wakil dan saksi Tuhan. Biarlah keluarga kita boleh memancarkan cahaya Tuhan di dunia ini bagaikan mercu-suar yang memberikan cahaya terang bagi kapal yang sedang berada di tengah ombak yang besar.

Keluarga yang baik, indah, dan bahagia, memberikan ketukan kepada hati-hati yang tidak beres, hati nurani yang mulai menyeleweng, sehingga mereka ini melihat keadaan keluarga Kristen dan terpanggil untuk bertobat sebelum kita membuka mulut untuk menginjili mereka. Begitu banyak orang Kristen menginjili dengan mulut, tetapi tidak ditunjang oleh hidup keluarga mereka karena hidup mereka di lingkungan mereka sedemikian mempermalukan nama Tuhan, akibatnya daerah setempat sulit diinjili. Pernikahan perlu dihormati dengan pengertian semacam ini.

6. Pernikahan Merupakan Lambang Kristus dan Gereja-Nya

Ini merupakan butir yang penting. Kalau pada butir yang pertama dikatakan bahwa pernikahan ditetapkan oleh Allah, maka pada butir yang terakhir, pernikahan menjadi satu lambang yang paling rahasia (misteri), yaitu hubungan Kristus dan gereja-Nya. Seperti Kristus demikian mengasihi gereja-Nya sampai Ia mengorbankan diri-Nya untuk gereja-Nya, maka suami atau kepala keluarga harus belajar seperti Kristus. Ini berarti sebagai kepala ia bertanggung jawab mengambil segala resiko dalam mencintai keluarganya, berkorban sehingga seluruh keluarganya disempurnakan.

Kita telah membahas tentang definisi cinta. Cinta adalah mengorbankan diri demi menyempurnakan yang lain. Di mana ada pengorbanan, di situ ada tanda tindakan cinta. Di mana ada cinta kasih yang sesungguhnya, di sana ada kerelaan untuk mengorbankan diri. Sebagaimana Kristus menyerahkan diri untuk gereja-Nya, demikianlah suami rela mengorbankan diri untuk keluarganya. Dengan cara demikianlah keluarga didirikan.

Amin.

SUMBER :
Nama buku : Keluarga Bahagia
Sub Judul : Bab IV : Menghormati Perkawinan
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2014
Halaman : 37 – 51