God and ManFirman : Ayub 23

1. Tetapi Ayub menjawab: 2. “Sekarang ini keluh kesahku menjadi pemberontakan, tangan-Nya menekan aku, sehingga aku mengaduh. 3. Ah, semoga aku tahu mendapatkan Dia, dan boleh datang ke tempat Ia bersemayam. 4. Maka akan kupaparkan perkaraku di hadapan-Nya, dan kupenuhi mulutku dengan kata-kata pembelaan. 5. Maka aku akan mengetahui jawaban-jawaban yang diberikan-Nya kepadaku dan aku akan mengerti, apa yang difirmankan-Nya kepadaku. 6. Sudikah Ia mengadakan perkara dengan aku dalam kemahakuasaan-Nya? Tidak, Ia akan menaruh perhatian kepadaku. 7. Orang jujurlah yang akan membela diri di hadapan-Nya, dan aku akan bebas dari Hakimku untuk selama-lamanya. 8. Sesungguhnya, kalau aku berjalan ke timur, Ia tidak di sana; atau ke barat, tidak kudapati Dia; 9. di utara kucari Dia, Ia tidak tampak, aku berpaling ke selatan, aku tidak melihat Dia. 10. Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas. 11. Kakiku tetap mengikuti jejak-Nya, aku menuruti jalan-Nya dan tidak menyimpang. 12. Perintah dari bibir-Nya tidak kulanggar, dalam sanubariku kusimpan ucapan mulut-Nya.

—————————————

Allah menghendaki manusia menjadi makhluk yang mempunyai kelebihan dari makhluk yang lain dalam dunia. Itulah sebabnya Allah menciptakan satu sifat yang disebut sebagai sifat relativitas dengan Allah. Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang bisa bereaksi kepada tindakan Allah, firman Allah, sifat-sifat perkataan Allah, pekerjaan Allah dan keberadaan-Nya. Ini semua termasuk dalam satu kategori yang besar yaitu pewahyuan Allah.

Kita mengenal Allah karena Allah mewahyukan diri. Melalui Allah yang mewahyukan diri kita mengenal Allah yang berkarya dan mendengar perkataan-perkataan Allah. Potensi ini unik dan hanya dimiliki oleh manusia. Inilah kebenaran yang sudah digali oleh teolog-teolog Reformed selama ratusan tahun. Warisan teologi ini harus kita hargai.

Respons manusia kepada Pencipta adalah satu keunikan dan satu potensi yang tidak ada pada makhluk-makhluk lain dalam dunia. Itu sebabnya pada waktu manusia bereaksi kepada Tuhan, akan timbullah satu sistem penilaian. Waktu kita menilai sesuatu, maka sebenarnya kita sedang bereaksi kepada Yang Bernilai. Dan nilai itu berdiri di dalam Dirinya Nilai itu sendiri.

SISTEM NILAI YANG TIDAK SESUAI DENGAN KEHENDAK ALLAH.

Zaman ini adalah zaman di mana manusia sudah meleset ke dalam sistem penilaian yang salah. Kita menganggap bahwa apa yang tidak disetujui oleh seseorang adalah sesuatu yang tidak bernilai dan jika seseorang setuju, maka apa yang disetujuinya itu adalah sesuatu yang bernilai. Apakah penilaian dengan sistem seperti ini benar? Tidak benar! Allah adalah sumber dari nilai! Tidak peduli apakah dunia ini menerima, menghargai atau menolak penilaian Allah. Standar penilaian Allah tidak akan menjadi berubah hanya karena manusia salah menilai. Nilai yang murni dari Allah tidak akan berkurang hanya karena manusia tidak mengenal atau salah mengenal nilai itu.

Berlian adalah berlian. Walaupun ada orang yang menganggap bahwa mutiara lebih bernilai dari berlian, namun berlian tetap memiliki sifatnya sendiri yaitu daya tahannya terhadap kerusakan akibat kekerasannya. Demikian pula kita percaya bahwa iman kepercayaan yang sesuatu dari Alkitab dan bobotnya betul-betul dari Tuhan, tidak akan gugur atau berkurang nilainya hanya karena manusia tidak mengerti.

Kita juga menolak penilaian yang dinilai berdasarkan banyaknya orang yang menilai dengan penilaian yang salah. Jadi, kuantitas dari orang yang memberikan respons penilaian, tidak menentukan nilai itu sendiri! Walaupun ada lebih banyak orang yang memberikan penilaian yang rendah kepada sesuatu hal yang bernilai tinggi, tidak berarti bahwa nilai yang tinggi itu bisa menjadi rendah oleh karena banyak orang menilainya rendah. Demikian pula sebaliknya. Kuantitas tidak memainkan peranan yang paling penting, tetapi kualitas-lah yang memegang peranan yang paling penting.

SISTEM NILAI YANG SESUAI DENGAN KEHENDAK ALLAH.

Pada waktu manusia bereaksi kepada Tuhan, Tuhan tidak peduli apakah kuantitas manusia yang bereaksi secara tidak benar itu banyak ataupun sedikit. Tetapi, Tuhan lebih menghargai mereka yang bereaksi secara benar kepada-Nya. Tuhan sebagai Harga yang asli, menghargai penghargaan dari nilai penghargaan yang diberikan oleh Tuhan dengan potensi penghargaan.

Pada zaman nabi Nuh, hanya ada satu orang yang berteriak kepada dunia ini dan memberitakan firman Tuhan dengan sungguh-sungguh. Tetapi akhirnya, selain keluarga Nuh yang terdiri dari delapan orang, semua orang sezamannya yang tidak berespons dan yang tidak menghargai perkataan Tuhan, akhirnya dihakimi dan mendapatkan hukuman. Tetapi Tuhan menyelamatkan Nuh dan keluarganya.

Dengan menyelamatkan delapan orang ini, memberikan arti bahwa Tuhan menghargai mereka yang memberikan penilaian yang sah dan benar kepada wahyu-Nya. Waktu Tuhan memberikan pewahyuan atau suatu pemaparan kebenaran tentang diri-Nya sendiri dan ada orang-orang yang bereaksi dengan benar terhadap-Nya, maka orang itu akan dihargai oleh Tuhan. Nuh telah menjatuhkan hukuman atas seluruh zaman itu (Ibrani 11:7). Orang yang menilai dan bereaksi dengan benar terhadap wahyu Allah, akan menjadi kunci pengadilan Tuhan terhadap dunia.

SISTEM NILAI DAN KEBUDAYAAN

Di dalam berespons terhadap penilaian wahyu Allah secara luar, manusia menghasilkan seluruh sistem kebudayaan. Seluruh sistem kebudayaan adalah human reaction toward God’s general revelation outwardly. Di dalam hidup sehari-hari, manusia memerlukan penilaian dan dari penilaian itu maka sistem kebudayaan dibangun. Sistem kebudayaan dapat kita temukan misalnya dalam seni lukis, musik, drama, opera, syair, arsitektur, dan lain-lain. Semua ini merupakan reaksi penilaian manusia kepada wahyu Allah yang terdapat dalam alam.

SISTEM NILAI DAN AGAMA.

Kebudayaan adalah dasar hidup manusia yang penting, tetapi tetap bukan merupakan dasar hidup yang paling dasar. Dasar yang lebih mendasar dari kebudayaan, yaitu yang paling dasar dalam hidup manusia adalah agama.

Segala hal yang paling hebat dalam kebudayaan, sering ditemukan oleh orang-orang jenius yang masih muda sekali. Mozart pada waktu berumur lima belas tahun menggubah lagu yang bermutu dan bertahan sampai ratusan tahun. Bernini membuat ukiran-ukiran dari marmer yang selama ratusan tahun dinilai amat jenius. Demikian juga orang-orang lain seperti Mendelssohn, maupun banyak jenius-jenius muda yang lain dapat mencapai keberhasilan yang besar dalam bidang kebudayaan meskipun umur mereka masih muda. Tetapi tidak ada jenius muda dalam bidang agama. Sebab bidang ini merupakan satu hal yang paling dalam.

Ada berapa banyak orang yang sejak muda pandai mencari uang dan pandai dalam ilmu pengetahuan, tetapi sampai pada waktu tua sekali baru mereka sadar akan pentingnya agama? Hal yang paling mendasar, mendalam, kontroversiil, paradoksikal dan paling bersifat konflik adalah agama.

Pada waktu orang belum mengenal agama dan keaslian atau inti dari satu agama, mereka menghina, mengejek dan meremehkan agama. Tetapi pada waktu mereka menemukan fokus, nuklir atau penting hanya agama yang sejati, maka sampai mati bagi agama pun mereka mau. Apa sebabnya? Apakah agama bersifat kontroversiil? Ya! Paradoksikal? Ya! Berkonflik? Ya! Justru agama merupakan satu hal yang tidak mungkin dihapus di dalam seluruh sejarah manusia. Orang yang berusaha menggeser agama, akhirnya akan digeser oleh agama. Ini kita saksikan dalam akhir abad dua puluh ini. Sistem politik yang menganiaya dan membenci agama, akan digeser dan digugurkan di dalam satu signifikansi agama yang memang adalah dasar hidup manusia.

Siapakah manusia? Manusia adalah ciptaan Tuhan yang diperlengkapi dengan suatu kehendak mutlak-Nya. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang beragama! Sifat keagamaan diberikan kepada manusia pada waktu manusia dicipta oleh Tuhan.

Orang-orang Ateis mengajukan satu teori berikut: Manusia menciptakan agama untuk sesuatu motivasi politik. Agama diciptakan oleh penguasa bagi rakyat dan dari dalam agama itu diciptakanlah Allah, dengan tujuan rakyat taat kepada penguasa. Tetapi wahyu Allah tidak mengajarkan demikian. Bagi Alkitab, manusia diciptakan Allah dengan sifat agama sebagai satu potensi di dalam dirinya. Baru kemudian manusia menemukan sistem-sistem agama yang merupakan hasil dari sifat dan potensi agama yang ada dalam diri manusia.

Di manakah posisi Saudara? Banyak orang yang mengikuti kebaktian di gereja, tetapi mereka belum mengerti bagaimana mendapatkan suatu dasar yang benar, sehingga seluruh sistem agama yang ada dalam diri mereka bisa menemukan poros yang benar.

Sifat agama muncul dengan jelas dalam diri manusia, pada waktu mereka mengalami bahwa ketidak-adilan itu sunggguh-sungguh ada. Pada waktu Saudara merasakan hal yang tidak beres terjadi dan Saudara ingin menemukan jawaban atas masalah tersebut, maka itu semua merupakan satu reaksi terhadap Allah. Allah mengizinkan hal-hal yang tidak beres terjadi sementara di dalam dunia.

Ayat-ayat di atas persis melukiskan akan apa yang terjadi pada seorang yang penting dan yang secara klasik melukiskan sifat keagamaan, yaitu Ayub. Ayub mengatakan bahwa banyak hal yang tidak beres dan perkara yang tidak adil menimpa dirinya. Ayub yang merasa dirinya baik dan bermoral, mempertanyakan mengapa dirinya tertimpa kesulitan-kesulitan yang besar dan penyakit yang berat. Seolah-olah Allah tidak menyembuhkan dirinya. Tetapi Ayub mau datang kepada Allah untuk mencari penyelesaian.

Penyelesaian total ingin dicari oleh manusia yang sedang dalam keadaan kesusahan. Tetapi sayang, pada waktu segala sesuatu berjalan dengan lancar, manusia tidak mau mencari Allah. Justru jika tidak ada kematian dan penyakit yang melanda, manusia belum pernah mau datang kepada Tuhan. Tidak mudah bagi orang yang berada dalam kelancaran, ingin mengetahui mengapa hidup mereka lancar. Tetapi mudah juga untuk mengerti mengapa hidup kita lancar dan mengapa hidup orang lain tidak selancar kita, apalagi memikirkan keadilan bagi seluruh umat manusia dan bukan hanya untuk diri sendiri. Dan, orang Kristen yang tidak mempedulikan kesulitan orang lain adalah orang Kristen yang mempunyai hati nurani yang tidak beres.

Di dalam kesulitan, mengalami ketidak adilan dan penderitaan, Ayub mengeluarkan satu pertanyaan: “Mengapa ini terjadi? Siapa yang mengakibatkan hal ini? Aku mau datang kepada Allah.” Datang kepada Allah untuk mendapatkan satu jawaban yang tuntas, membuktikan bahwa satu wahyu umum sudah berada di dalam setiap orang!

Tak pernah ada seorang pun yang tidak memiliki konsep tentang Allah dan keberadaan-Nya. Biasanya orang tidak merasakan hal ini sampai suatu ketika mereka terjepit dalam keadaan kepicikan yang luar biasa atau waktu tertimpa penyakit yang berat, barulah hal-hal ini menggugah sifat agama mereka.

Ayub mau datang kepada Hakim yang terakhir dan Ayub mengucapkan satu perkataan yang luar biasa: “…dan aku akan dibebaskan dari Hakimku untuk selama-lamanya.” Di sini terdapat satu konsep bahwa di dalam dunia yang tidak beres dan tidak adil ini ada Yang Adil yang menjadi Hakim, dan Ayub percaya bahwa dirinya akan lolos dari penghakiman Tuhan karena dirinya cukup baik.

Tetapi pada waktu Ayub mempunyai ketegasan semacam demikian, Ayub melukiskan sifat agama yang paradoksikal dengan kalimat-kalimat ini: ”Sesungguhnya, kalau aku berjalan ke timur, Ia tidak ada di sana; atau ke barat, tidak kudapati Dia; di utara kucari Dia, Dia tidak nampak, aku berpaling ke selatan, aku tidak melihat Dia. Karena Dia tahu jalan hidupku….” Waktu mau menjamah Allah, Allah tidak nampak. Tetapi Allah ada. Keberadaan-Nya tidak terlihat dan yang tidak terjamah. Inilah sifat paradoks yang paling jelas dari keberagaman manusia di dalam seluruh kitab suci.

Allah yang menguasai di sekeliling Ayub, seolah-olah tidak memelihara dia. Seolah-olah Allah tidak mau tahu apa-apa tentang Ayub. Tetapi Ayub mengatakan lagi: “Dia mengetahui segala langkahku.”

… Bersambung
Sumber:
Nama Buku : Mengetahui Kehendak Allah
Sub Judul : Bab VI : Kehendak Allah Dalam Kebudayaan
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2010
Halaman : 83 – 100
https://www.facebook.com/Sola-Scriptura-354987984549661/