Man holding arms up in praise against golden sunset

“O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Roma 11 : 33-36)

Alkitab dengan jelas berkata bahwa Allah adalah Allah yang transenden. Allah yang melampaui segala keberadaan di dalam dunia dan yang juga melampaui waktu dan ruang. Dalam penciptaan, Allah menciptakan segala sesuatu. Tetapi sebelum menciptakan segala sesuatu, Allah terlebih dahulu menciptakan wadah untuk menaruh segala sesuatu yang bersifat materi. Ia juga menciptakan hal-hal yang melampaui benda-benda. Allah juga menciptakan dunia roh dan juga dunia materi. Penciptaan materi ini diletakkan dalam wadah waktu dan ruang.

Waktu  dan ruang ini pun adalah ciptaan Tuhan. Allah yang menciptakan segala sesuatu ini dengan sendirinya melampaui segala yang Ia ciptakan itu. Hal ini disebut sebagai sifat transenden Allah. Allah yang melampaui segala sesuatu tidak terikat oleh segala sesuatu, dan tidak terbelenggu di dalam segala sesuatu. Ia adalah Allah yang menjadi sumber dan sasaran dari segala sesuatu.

“Segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia” (Roma 11:36). Di sini kita melihat bahwa Dia adalah sumber, penopang, dan sasaran dari segala sesuatu. Kalau kita mau mengerti kehendak Allah sampai tuntas dan melalui sifat transenden Allah melihat segala sesuatu, maka kita tidak akan pernah merasa sebagai sesuatu yang terhilang di tengah-tengah alam semesta. Kita melihat adanya satu kemungkinan kesalahmengertian yang ditimbulkan oleh theologi tradisional yang hanya menekankan tentang Allah sebagai Pencipta, tetapi tidak menghargai Dia sebagai Yang menopang segala sesuatu.

Bukankah Allah Pencipta Alam Semesta?

Lebih dari dua ratus tahun yang lalu di Inggris terbentuklah semacam pemikiran yang dipelopori oleh seorang bernama Herbert dari satu kota kecil bernama Cherbury. Ia memulai suatu teori Deisme yang memikirkan bahwa Allah ada dan menciptakan segala sesuatu. Tetapi setelah Allah menciptakan segala sesuatu. Allah membiarkan segala sesuatu itu hidup dan mati sendiri. Allah hanya dipakai sebagai satu titik permulaan keberadaan segala sesuatu, dan sesudah itu Allah tidak lagi campur tangan dan tidak lagi memelihara segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya.

Teori ini sangat populer dan diterima baik, khususnya oleh kaum intelektual abad lalu. Mereka tidak mau lagi terikat pada gereja yang masih percaya bahwa Allah yang Mahakuasa dan yang telah menciptakan segala sesuatu, memelihara apa yang telah Ia ciptakan itu, campur tangan dalam hidup yang nyata dan dalam kehidupan secara pribadi. Mereka tetap percaya bahwa Allah ada dan percaya bahwa Allah adalah Pencipta, tetapi mereka tidak percaya bahwa Allah yang telah mencipta tetap campur tangan dalam apa yang telah Ia ciptakan.

Mengapa hal seperti ini dapat diterima baik oleh kaum intelektual? Karena ada banyak hal yang tidak kita mengerti! Kalau Allah ada, mengapa Ia membiarkan bencana bencana alam terjadi? Kalau Allah ada, mengapa Ia membiarkan orang baik menderita dan orang jahat bertambah kaya? Mengapa banyak ketidakadilan terjadi? Hal-hal seperti ini sulit dimengerti manusia, dan akibatnya pikiran manusia yang terbatas menerima pikiran deisme, yang percaya bahwa sesudah menciptakan segala sesuatu, kemudian Allah membiarkan ciptaan-Nya berjalan sendiri.

Jikala kita percaya bahwa Allah campur tangan dalam kehidupan manusia dan jikalau memang sulit untuk menjelaskan semua fenomena yang ada, lalu mengapa kita harus tetap memelihara kepercayaan bahwa Allah itu ada dan Ia adalah Pencipta? Bukankah orang-orang atheis dan komunis lebih jujur dengan pendapat mereka yang mengatakan  bahwa Allah tidak ada? Sementara itu orang Deisme tidak bisa tidak mengatakan bahwa Allah itu ada dan mencipta. Mereka jujur dalam banyak hal, sebab kalau Allah tidak ada, maka banyak hal dalam kehidupan manusia yang tidak dapat diselesaikan oleh pengertian manusia.

Kaum intelektual yang mendewakan rasio mungkin hanya karena terlalu sulit untuk menjelaskan banyak hal melalui pikiran manusia yang terbatas. Tetapi mereka yang menganggap diri jujur tidak mau mengakui hal ini, akhirnya menjadi atheis dan komunis. Kedua kelompok ini tidak pernah mungkin menyelesaikan begitu banyak masalah yang timbul di dalam hidup manusia.

Berbicarakah Allah Kepada Manusia Ciptaan-Nya?

Kalau kita mau mengetahui, mengakui, dan tunduk kepada Firman Tuhan, maka kita harus mengakui bahwa Allah bukan saja ada dan mencipta, tetapi kita juga harus mengakui bahwa Allah menjalankan kehendak-Nya dalam dunia ciptaan-Nya. Pengertian tentang kehendak Allah bukan hanya sekedar pengetahuan sepele, misalnya karena takut salah dalam mencari pacar, baru mencari kehendak Allah; atau karena khawatir salah memilih pekerjaan, sehingga mencari kehendak Allah.

Saya banyak menerima pertanyaan semacam ini baik di Amerika, Asia, Australia, maupun Eropa. Begitu banyak pemuda-pemudi yang menanyakan tentang kehendak Allah yang kalau mau ditelusuri lebih jauh, pertanyaan-pertanyaan mereka itu kebanyakan hanya tergolong dalam dua kategori, yaitu kalau mereka mau menikah dan waktu mencari pekerjaan atau sekolah. Sebagai orang Kristen yang mau mengerti tentang theologi Reformed, kita harus mengerti kehendak Allah itu sebagai satu tema yang besar sekali, jauh lebih besar dari apa yang dapat kita pikirkan. Itulah sebabnya Paulus mengatakan, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya.” Itu karena Allah adalah Allah yang transenden.

Akan tetapi kalau kita hanya berpegang pada sifat transenden Allah dan menolak sifat imanen Allah, maka berarti kita tidak tahu bahwa Allah yang mencipta adalah juga Allah yang ikut campur tangan dan mengerti segala pergumulan kita di dalam keberadaan kita masing-masing, Itulah sebabnya orang Kristen harus memiliki pengertian secara total, sehingga kita menjadi orang-orang yang bertanggung jawab.

Pada bab pertama kita membicarakan tentang kemungkinan untuk mengetahui kehendak Allah. Orang Agnostik mengatakan bahwa kita tidak mungkin mengetahui kehendak Allah karena hal-hal seperti itu terlalu mendasar dan mempunyai kesulitan yang sangat ekstrem, sehingga “realitas ultimat” itu tak akan mungkin dimengerti. Pikiran itu adalah pikiran dari Sir Herbet Spencer dan Thomas Henry Huxley dari Inggris.

Sebagai orang Kristen kita berpegang pada ajaran bahwa kita mungkin mengetahui kehendak Allah. Kehendak Allah akan dinyatakan kepada mereka yang rela menundukkan diri kepada Allah. Calvin mengatakan, “Nothing is greater than the will of God except God Himselft” (Tidak ada yang lebih besar daripada kehendak Allah kecuali Allah sendiri). Kehendak Allah bukan sesuatu yang sepele dan dapat ditemukan dalam sudut-sudut pengalaman hidup kita yang kecil-kecil. Tetapi, kehendak Allah merupakan suatu ekspansi dari apa yang ada di dalam rencana kekal Allah, sehingga kehendak Allah merupakan yang terbesar dibandingkan dengan segala sesuatu, kecuali dibandingkan dengan diri Allah yang menjadi dasar dari kehendak Allah itu sendiri. Allah begitu besar dan begitu agung, dan kehendak Allah ini mengakibatkan tindakan Allah terwujud.

Yang dikehendaki oleh Tuhan dikerjakan oleh-Nya, apa yang dikehendaki-Nya dari dalam diri-Nya kemudian diwujudkan keluar. Di dalam penciptaan, penebusan, pemeliharaan, penopangan, dan penghakiman Tuhan, kita melihat kehendak Tuhan itu dinyatakan. Semua itu merupakan karya Tuhan. Karya itu merupakan tindakan Allah yang berwujud. Kehendak Allah dinyatakan melalui Firman-Nya dan kuasa Allah menggenapi apa yang dikehendaki-Nya.

Kehendak Allah Atas Penciptaan Alam Semesta

Perkataan Tuhan merupakan ekspresi dari kehendak-Nya dan kuasa Tuhan menggenapi kehendak-Nya. Di dalam penciptaan, orang Kristen percaya bahwa ada kehendak Allah. Kita mengerti bahwa alam semesta mempunyai sumber yang merencanakannya. Sementara itu kita berada dalam satu wadah yang telah disediakan oleh Tuhan.

Ketika kita masuk ke dalam gedung ini (Granadha- ed.), kita melihat kursinya disusun makin lama makin ke atas, sementara yang ditengah tidak, kecuali di tempat mimbar. Gedung ini disusun dengan sebuah rencana yang tidak kita lihat, tetapi pembuat gedung ini merancang agar setiap orang yang duduk di kursi mana pun bisa melihat orang yang di atas mimbar dengan jelas. Jadi dengan membuat rencana ruangan ini, si pembuatnya sudah menyatakan satu rencana kegunaan gedung ini.

Demikian juga, cara kita melihat alam semesta ini berbeda dengan cara orang yang tidak mengenal Tuhan. Orang yang tidak mengenal Tuhan hidup dalam satu alam semesta ibarat sebuah pasar yang besar, yang banyak orangnya tetapi tidak tahu mau kemana. Berbeda dengan orang Kristen. Orang Kristen yang sejati mengetahui dengan pengertian yang jelas dan sungguh-sungguh, bahwa ia berada di dalam alam semesta yang telah direncanakan menurut bijaksana Allah. Meskipun sulit dimengerti, namun hal ini menyatakan kebesaran Tuhan. Alangkah besarnya hikmat dan pengetahuan Allah, tetapi Tuhan rela menyatakannya bagi kita.

Karena percaya adanya kehendak Allah, maka kita tahu bahwa alam semesta memiliki sumber yang merencanakannya. Ketika kita menyelidiki sesuatu dengan rasa ingin tahu yang besar dan sungguh-sungguh, maka makin lama kita akan menemukan dengan rasa yang kagum tentang bagaimana rencana-rencana yang agung itu bisa diwujudkan.

Mobil yang baru, tidak lagi memakai karburator model lama, tetapi memakai sistem injection dan itu akan menghemat bahan bakar. Terlebih lagi mobil yang bermesin turbo. Pada waktu mobil itu berjalan dengan kecepatan yang tinggi, mesin turbonya akan bekerja sehingga akan sangat menghemat bahan bakar dan mobil itu akan berlari cepat dengan stabil.

Semua itu merupakan rancangan dari orang-orang yang memiliki kreativitas. Orang-orang kreatif menemukan hal-hal yang mengubah kerutinan proses sejarah. Daya kreativitas mereka itu menjadikan kita terkagum-kagum. Demikian juga ketika kita melihat alam semesta. Adakah sesuatu di dalam alam semesta yang tidak membuat kita kagum? Jikalau kita menyelidiki sehelai daun dan melihatnya di bawah mikroskop, maka kita akan kagum melihat hikmat dan bijaksana Allah dalam merencanakan semua itu. Di bawah mikroskop elektron kita bisa melihat bagaimana  satu sel itu begitu rumit dan kompleks,  tetapi tidak ada satu kesalahan pun padanya. Alam semesta mempunyai sumber yang merencanakan segala sesuatu.

Pada suatu malam kira-kira seribu lima ratus tahun yang lalu, terjadi satu peristiwa besar pada diri seorang pemuda yang mengalami perubahan di dalam pengertiannya tentang rencana Allah di dalam alam, sehingga sejarah dunia pun ikut berubah. Pada malam itu, anak muda yang berusia sekitar dua puluh sembilan tahun dan bernama Augustinus itu sedang bergumul.

Selama hampir sepuluh tahun Augustinus telah mengikuti satu kepercayaan yang disebut Manichaesme. Di dalam Manichaeisme diajarkan satu sistem interpretasi untuk menjelaskan mengapa di dalam dunia ini selalu ada konflik antara baik dan jahat sehingga manusia tidak bisa hidup dalam ketenangan yang sesungguhnya. Manichaeisme berkata bahwa manusia selalu hidup dalam pertentangan antara yang baik dan yang jahat dan menjadi korban di antara keduanya. Selama sepuluh tahun ia mengira Manichaeisme dapat menjawab pergumulannya. Augustinus memang sangat pandai, tetapi hidup seksnya tidak beres. Ia adalah seorang intelek tetapi hidup bersama dengan seorang wanita tanpa menikah. Ia menjadi profesor yang mengajar orang-orang yang berintelek tetapi tidak memiliki kekuatan untuk mengalahkan nafsu seksnya.

Augustinus merasa mendapatkan kepuasan dari agama Manichaeisme yang mengajarkan bahwa manusia ada di dalam kekuatan dari dua dewa yaitu dewa yang baik dan dewa yang jahat. Ia menganggap sistem interprestasi ini lebih cocok dengan dirinya dari pada iman orang Kristen yang ketika mengalami kejenuhan dan merasa imannya kering, mencari persekutuan di sana sini dan tidak memedulikan apakah yang berkhotbah itu mengkhotbahkan kebenaran atau tidak. Pokoknya yang cocok dengan perasaannya, itu lah yang dia sukai. Hal ini terjadi juga di dalam diri Augustinus dan selama sepuluh tahun ia hidup dalam agama yang rusak.

Tetapi malam itu Augustinus terbangun dari tidurnya dan memikirkan apakah ia dilahirkan hanya untuk menjadi rebutan di tengah-tengah yang baik dan jahat? Apakah benar ada dua dewa, dewa terang dan dewa gelap yang merebut dan mengacaukan segala sesuatu? Apakah benar peperangan ini tidak pernah berhenti dan tidak ada penyelesaiannya? Waktu ia menerawang langit yang jernih dan melihat bintang-bintang bercahaya, ia seolah-olah mendengar sesuatu berbicara kepadanya. Inilah bedanya antara manusia dan binatang!

Ketika manusia melihat ciptaan Allah, dia melihat ciptaan itu sedang berbicara tantang Allah. Waktu binatang melihat ciptaan Allah, binatang tidak bisa berfikir seperti itu. Apa yang dia rasakan hanyalah kebutuhannya apa dan makanannya di mana. Manusia diberi satu kemungkinan untuk berpenetrasi dan memikirkan tentang siapakah yang mengakibatkan hal tersebut. Tidak mengherankan jika di dalam buku Augustinus kita menjumpai perkataannya, “Coba tanya kepada burung, laut, ombak dan awan, mengapa mereka bisa bernyanyi, berbunyi, bergelombang, dan bergerak? Seluruh alam semesta serentak akan menjawab bahwa Allah telah menciptakan mereka untuk menyaksikan kemuliaan Allah.” Di sini kita melihat kepekaan dari seseorang yang mengobservasi sesuatu.

Kalau kita mengobservasi sesuatu, pemikiran kita harus berkontak dengan sesuatu yang ada di balik sesuatu yang kita observasi itu, yaitu Pencipta sebagai sumber dan perancang segala sesuatu. Kemungkinan seperti ini telah Tuhan berikan kepada kita. Waktu kita melihat satu karangan bunga, apa yang kita pikirkan? Apakah kita memikirkan tentang pemilik toko bunga itu yang pandai mengatur bunga itu? Tidak! Kita harus melihat bahwa Yang Mencipta telah menunjukkan bijaksana yang luar biasa. Kalau kita melihat sepuluh jari manusia yang dapat dipakai untuk melakukan banyak hal, itu adalah hasil karya Allah yang hebat. Kalau kita perhatikan, tubuh manusia lebih kecil daripada gajah, sapi atau binatang besar lainnya, tetapi dapat digerakkan dengan begitu rupa sehingga menghasilkan keindahan yang luar biasa. Jadi, ketika kita memikirkan dan melihat segala sesuatu dengan potensi yang Tuhan berikan kepada kita, biarlah kita bukan sekedar melihat, tetapi kita hendaknya melihat Tuhan yang ada di belakang segala sesuatu itu.

Kalau kita melihat Tuhan ada di belakang sesuatu hal, maka pada waktu problema terjadi, kita tidak perlu khawatir dan takut, sebab Tuhan yang menciptakan segala sesuatu itu tetap menyertai kita untuk menyelesaikan problema yang kita hadapi.

Pada waktu Augustinus melihat bintang-bintang itu pikirannya bergerak menuju kepada sesuatu yang lebih tinggi, Tuhan memberikan satu inspirasi dalam hati Augustinus dan selesailah sebuah konflik di dalam dirinya, selesailah semua kesulitan pemikiran agama, sosial, dosa, baik dan jahat. Ia sadar bahwa kalau memang alam semesta ini merupakan tempat perebutan antara baik dan jahat, dan kalau kedua dewa itu tidak berhenti berperang, mengapa alam semesta bisa teratur? Bintang-bintang yang teratur itu membuktikan bahwa ada penopang yang lebih tinggi daripada segala sesuatu.

Mengapa hanya manusia yang kacau? Mengapa bumi dan bintang tidak kacau? Manusia satu-satunya yang dicipta lebih tinggi daripada segala sesuatu, tetapi justru moralnya bisa rendah dan bisa berbuat dosa serta memiliki pemikiran yang jahat. Ini terjadi karena ada kekacauan dalam diri manusia. Kemudian Augustinus mulai memisahkan kategori-kategori, lalu memikirkan rencana kehendak Allah.

Dalam satu bagian Doa Bapa Kami, Tuhan Yesus mengajarkan, “Jadilah Kehendak-Mu di bumi seperti  di Sorga.” Kalimat ini sangat penting, Kehendak Allah dalam seluruh alam semesta dan di Sorga tidak ada rintangan.

Tetapi kehendak Allah di bumi ini seolah-olah sulit bisa dituntaskan dan karena itu anak-anak Tuhan diajar untuk berdoa, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di Sorga.” Kalimat itu merefleksikan bahwa kehendak Allah, sebagaimana hamba-hamba Tuhan di Sorga yang tidak merintangi kehendak Allah. Manusia yang begitu kecil remeh, dan hina itu justru merupakan satu-satunya makhluk yang berani melawan Allah.

Augustinus menemukan bagaimana cara mengerti semua ini. Segala sesuatu yang dicipta oleh Tuhan menjalankan kehendak Tuhan, tetapi justru manusialah yang sering tidak menjalankan kehendak Tuhan karena itu manusia perlu bertobat. Allah tidak memanggil langit untuk bertobat, tetapi Ia memanggil manusia untuk bertobat. Sebab manusialah satu-satunya makhluk yang diberi potensi untuk menjalankan kehendak Allah, tetapi justru melawan kehendak Allah.

Sumber : Buku Stephen Tong, Judul Mengetahui Kehendak Allah. Penerbit Momentum. (Halaman 21 s.d 31).

 

Artikel Terkait